Nyai Sari tertawa kecil, tetapi nada kegetiran terdengar jelas. "Kau pikir aku ingin ini? Kutukan ini lahir dari pengkhianatan. Aku tidak bisa pergi sampai darah pengkhianatku mendapat balasannya."
Damar menatap Maya sejenak, lalu kembali menatap Nyai Sari. "Lelaki yang mengkhianatimu sudah tiada, begitu juga generasinya. Dendam ini hanya menyakiti keturunanmu sendiri. Jika kau tidak memutuskan kutukan ini, kau akan terus terperangkap dalam penderitaan."
Nyai Sari terdiam. Untuk sesaat, ruangan itu sunyi. Sosoknya perlahan berubah. Dari wujud menyeramkan, ia kini terlihat seperti wanita biasa dengan air mata mengalir di pipinya.
"Kau benar," katanya lirih. "Aku lelah... tapi aku takut pergi. Apa ada tempat untukku di sana?"
Damar mendekatinya dengan hati-hati. "Ada. Kau hanya perlu memaafkan dan memaafkan dirimu sendiri."
Perlahan, Nyai Sari tersenyum. Sosoknya memudar, meninggalkan aroma melati yang harum. Angin dingin menghilang, dan rumah itu kembali sunyi.
Maya menatap Damar dengan mata berkaca-kaca. "Apakah ini sudah selesai?" tanyanya pelan.
Damar mengangguk. "Dia sudah pergi. Tapi... aku rasa rumah ini menyimpan lebih banyak rahasia."
Bersambung .....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H