Mohon tunggu...
Ferawaty Marlija Damanik
Ferawaty Marlija Damanik Mohon Tunggu... Lainnya - Perencana dan Pengkaji Sektor

Kebijakan SDA dan Finance

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Konflik Tanah Adat di Desa Seko Dalam Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA): Perspektif Ekonomi Kelembagaan

20 Desember 2024   23:41 Diperbarui: 20 Desember 2024   23:46 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Desa Seko (Sumber : https://blogger.googleusercontent.com)

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Konflik tanah adat merupakan isu yang kompleks dalam dinamika pembangunan ekonomi di Indonesia, terutama ketika proyek berskala besar berbenturan dengan hak-hak masyarakat adat. Salah satu contoh kasus yang relevan adalah konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Desa Seko merupakan wilayah adat yang kaya akan sumber daya alam, seperti hutan, tanah subur, dan aliran sungai yang menopang praktik agraris tradisional masyarakat setempat. Di sisi lain, pembangunan PLTA yang dirancang untuk mendukung pasokan listrik regional melalui investasi besar telah memicu konflik serius karena klaim tanah adat dilakukan tanpa melibatkan masyarakat sehingga menimbulkan resistensi masyarakat adat terhadap kebijakan formal pemerintah.

Dari perspektif ekonomi kelembagaan, konflik ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara institusi formal, seperti kebijakan pemerintah dan hukum negara, dengan institusi informal berupa norma dan hukum adat. Pemerintah memandang tanah sebagai aset strategis yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi, sedangkan masyarakat adat melihat tanah sebagai warisan leluhur yang memiliki nilai sosial, budaya, dan ekologis yang tidak dapat diukur secara ekonomi semata. Ketidaksejajaran ini menghasilkan transaction costs yang tinggi. Selain itu, ketiadaan pengakuan formal terhadap property rights masyarakat adat menciptakan ketidakadilan dalam distribusi manfaat proyek pembangunan, yang semakin memperburuk konflik.


Pertanyaan Penelitian 

Adapun pertanyaan penelitian yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana perspektif ekonomi kelembagaan memahami konflik tanah adat yang terjadi di Desa Seko dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA)?

Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif ekonomi kelembagaan dalam memahami konflik yang terjadi di Desa Seko serta memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat diimplementasikan untuk mengatasi konflik yang terjadi.


DESKRIPSI KASUS

Desa Seko yang terletak di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan merupakan desa yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki nilai historis serta budaya yang kuat. Di Desa ini terjadi konflik agraria terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Konflik ini mulai mencuat sekitar tahun 2014, ketika pemerintah memberikan izin untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Izin tersebut diberikan kepada PT Seko Power Prima untuk membangun PLTA dengan kapasitas 480 MW, yang bertujuan untuk mendukung kebutuhan energi di kawasan Sulawesi.

Konflik ini semakin memanas pada tahun 2016, ketika masyarakat adat di Seko, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), secara terbuka menolak proyek tersebut. Penolakan mereka didasarkan pada klaim bahwa tanah adat mereka digunakan tanpa melibatkan masyarakat, serta kekhawatiran bahwa proyek ini akan merusak ekosistem lokal dan mengganggu keberlangsungan kehidupan adat mereka. Pada saat yang sama, sejumlah masyarakat Seko melaporkan tindakan intimidasi dan kriminalisasi terhadap para pemimpin adat yang memprotes proyek tersebut.

Hingga saat ini, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Desa Seko, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, belum berhasil direalisasikan karena menghadapi berbagai hambatan, terutama resistensi kuat dari masyarakat adat setempat yang ditandai dengan adanya protes sosial dan konflik hukum yang terus berlanjut.

ANALISIS KASUS 

ANALISIS INSTITUSI FORMAL DAN INFORMAL 

Ekonomi kelembagaan, sebagaimana dijelaskan oleh North (1990), menegaskan bahwa institusi mencakup aturan formal (seperti hukum, kebijakan) dan aturan informal (seperti norma, nilai adat). Kedua jenis institusi ini saling memengaruhi, tetapi ketidaksejajaran di antaranya dapat menciptakan friksi yang meningkatkan biaya transaksi. Ostrom (1990) juga menjelaskan bahwa dalam pengelolaan sumber daya berbasis komunitas, kombinasi antara institusi formal dan informal cenderung lebih efektif dalam menjaga keberlanjutan sumber daya. Di Desa Seko, konflik yang terjadi merupakan cerminan dari:

Konflik Kepentingan

Institusi formal, yang digambarkan melalui kebijakan pemerintah seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, menganggap tanah adat sebagai hutan negara. Pandangan melihat tanah sebagai aset ekonomi yang dapat dimonetisasi melalui investasi. Sebaliknya, institusi informal masyarakat adat memandang tanah sebagai warisan leluhur dengan nilai intrinsik budaya, sosial, dan ekologis. Konflik ini memperlihatkan dualitas tujuan: efisiensi ekonomi dari perspektif negara versus keberlanjutan sosial-budaya dari perspektif adat. Tanpa jembatan antara dua paradigma ini, kebijakan yang didasarkan pada institusi formal cenderung menimbulkan resistensi dari masyarakat adat.

Absennya Mekanisme Kolaboratif

Ketiadaan mekanisme kolaborasi antara institusi formal dan informal memperparah ketegangan. Ketika pemerintah memutuskan pemberian izin tanpa melibatkan masyarakat, masyarakat adat merasa hak-haknya diabaikan. Hal ini mendorong masyarakat untuk memobilisasi perlawanan.

Ostrom (1990) menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya berbasis komunitas cenderung lebih efektif apabila didukung oleh pengakuan formal terhadap sistem pengelolaan lokal. Dalam kasus Seko, kegagalan mengintegrasikan sistem formal dan adat menciptakan hambatan institusional yang signifikan.

ISU PROPERTY RIGHTS

Dalam teori property rights (Alchian & Demsetz, 1973), kejelasan hak milik adalah syarat mutlak untuk meminimalkan konflik dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Ketidakjelasan atau tumpang tindih hak atas tanah menciptakan ketidakpastian hukum yang menghambat pengelolaan sumber daya. Property rights atau hak kepemilikan memainkan peran kunci dalam mengatur bagaimana sumber daya digunakan, dialokasikan, dan dilindungi.

Di Desa Seko, ketidakjelasan property rights menjadi akar utama konflik karena adanya dualitas hak kepemilikan. Sistem hukum formal sering kali mengabaikan kepemilikan komunal masyarakat adat. Tanah adat yang tidak diakui secara hukum dianggap sebagai bagian dari hutan negara. Hal ini menciptakan ketimpangan struktural, di mana hak masyarakat adat "diabaikan" oleh institusi formal.

Di sisi lain, masyarakat di Desa Seko merasa kehilangan kendali atas tanah yang menjadi pusat kehidupan dan identitas mereka. Selain pengakuan hak, distribusi manfaat dari proyek PLTA juga menjadi sumber ketegangan. Masyarakat adat merasa bahwa manfaat proyek tidak sebanding dengan kerugian ekologis, sosial, dan budaya yang harus mereka tanggung.

ANALISIS BIAYA TRANSAKSI

Dalam teori ekonomi kelembagaan, transaction cost mencakup berbagai biaya yang muncul dalam proses pencarian informasi, negosiasi, dan penegakan aturan atau kesepakatan. Transaction cost economics menekankan pentingnya pengurangan biaya negosiasi dan penyelesaian sengketa mel alui mekanisme partisipasi yang inklusif (Williamson, 1981). Konflik Pembangunan PLTA yang terjadi di Desa Seko mencerminkan beberapa jenis transaction cost yang relevan, antara lain:

Searching Costs

Searching costs terjadi karena kurangnya transparansi dan data yang akurat mengenai batas tanah adat dan status hukum tanah di Desa Seko. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya Searching Cost adalah ketiadaan data tanah yang akurat. Banyak wilayah adat di Seko belum terdaftar atau dipetakan dalam sistem formal pemerintah. Program One Map Policy, yang bertujuan untuk mengintegrasikan peta wilayah adat ke dalam peta resmi, belum sepenuhnya diterapkan di wilayah tersebut.

Negotiation Costs 

Negotiation costs mencakup biaya yang dikeluarkan untuk mencapai kesepakatan antara para pihak yangterlibat. Dalam kasus Desa Seko, Pemerintah memberikan izin kepada perusahaan tanpa melakukan "pendekatan" yang cukup dengan masyarakat adat. Hal ini memperbesar resistensi. Penolakan masyarakat terhadap proyek PLTA menghasilkan biaya tambahan bagi perusahaan dan pemerintah dalam bentuk penanganan protes, aksi massa, dan dampak negatif terhadap reputasi proyek. Dalam beberapa laporan, pemimpin adat yang menolak proyek PLTA menghadapi tindakan intimidasi, bahkan kriminalisasi. Tindakan ini tidak hanya meningkatkan ketegangan sosial tetapi juga menambah biaya sosial-politik bagi pemerintah. Akibat kegagalan negosiasi, proyek menghadapi protes sosial yang terus berlanjut sehingga proyek batal dilakukan.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 

KESIMPULAN 

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi di Desa Seko dipicu oleh kurangnya keterlibatan masyarakat adat pada tahap awal dan terabaikannya kepentingan lokal serta nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat adat, sehingga memicu resistensi terhadap proyek tersebut. Selain itu, ketidakseimbangan antara institusi formal dan informal serta ketidakjelasan hak atas tanah adat memperburuk konflik, di mana hukum formal mengabaikan hak komunal masyarakat adat, menciptakan ketimpangan kekuasaan dan hambatan dalam mencapai solusi yang adil.

REKOMENDASI KEBIJAKAN 

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, konflik yang terjadi di Desa Seko mencerminkan ketidakseimbangan antara institusi formal dan informal. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian konflik harus mengatasi gap institusional ini dengan langkah-langkah yang relevan secara kelembagaan yaitu:

Pengakuan Formal Hak atas Tanah Adat

Pemerintah harus mempercepat implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang mengembalikan pengelolaan tanah adat kepada masyarakat adat. Langkah ini dapat diintegrasikan dengan program One Map Policy untuk memetakan secara akurat batas wilayah adat di Desa Seko. Pengakuan formal ini akan memberikan kepastian hukum atas tanah adat dan mengurangi potensi konflik di masa depan.

Mekanisme Konsultasi dan Partisipasi yang Inklusif

Pemerintah dan perusahaan wajib melibatkan masyarakat adat dalam seluruh tahap perencanaan proyek melalui mekanisme konsultasi yang menghormati prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Konsultasi ini harus dilakukan secara transparan dengan menyediakan informasi yang lengkap, melibatkan tokoh adat, dan memastikan masyarakat memiliki ruang untuk menyatakan persetujuan atau keberatan mereka tanpa tekanan. Konsultasi yang berbasis FPIC tidak hanya dapat mengurangi resistensi masyarakat, tetapi juga membantu membangun kepercayaan antara institusi formal dan informal. Dengan melibatkan masyarakat sejak tahap awal perencanaan, transaction costs seperti litigasi dan protes sosial dapat diminimalkan. Selain itu, konsultasi inklusif dapat menciptakan credible commitments yang diperlukan untuk meningkatkan legitimasi proyek di mata masyarakat adat.

Penyusunan Skema Distribusi Manfaat yang Adil

Pemerintah harus merancang skema pembagian manfaat dari proyek PLTA yang melibatkan masyarakat adat secara langsung. Hal ini dapat berupa royalti dari proyek, pembangunan infrastruktur lokal, atau program pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat. Skema ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi juga mengurangi resistensi terhadap proyek pembangunan.

Kolaborasi Kelembagaan Formal dan Informal

Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme kelembagaan hybrid yang mengintegrasikan hukum formal dengan norma adat dalam pengelolaan tanah. Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui co-management, di mana pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk mengelola tanah sesuai nilai adat, sementara pemerintah memberikan dukungan teknis dan regulasi. Pendekatan ini tidak hanya menjaga ekosistem lokal tetapi juga mengurangi potensi kerusakan akibat eksploitasi sumber daya tanpa kontrol.

Penguatan Regulasi untuk Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Pemerintah perlu merevisi dan memperkuat regulasi yang melindungi hak masyarakat adat atas tanah, seperti revisi terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang sering menjadikan tanah adat sebagai bagian dari hutan negara. Regulasi yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat adat akan mengurangi potensi tumpang tindih klaim atas tanah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun