Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, konflik yang terjadi di Desa Seko mencerminkan ketidakseimbangan antara institusi formal dan informal. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian konflik harus mengatasi gap institusional ini dengan langkah-langkah yang relevan secara kelembagaan yaitu:
Pengakuan Formal Hak atas Tanah Adat
Pemerintah harus mempercepat implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang mengembalikan pengelolaan tanah adat kepada masyarakat adat. Langkah ini dapat diintegrasikan dengan program One Map Policy untuk memetakan secara akurat batas wilayah adat di Desa Seko. Pengakuan formal ini akan memberikan kepastian hukum atas tanah adat dan mengurangi potensi konflik di masa depan.
Mekanisme Konsultasi dan Partisipasi yang Inklusif
Pemerintah dan perusahaan wajib melibatkan masyarakat adat dalam seluruh tahap perencanaan proyek melalui mekanisme konsultasi yang menghormati prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Konsultasi ini harus dilakukan secara transparan dengan menyediakan informasi yang lengkap, melibatkan tokoh adat, dan memastikan masyarakat memiliki ruang untuk menyatakan persetujuan atau keberatan mereka tanpa tekanan. Konsultasi yang berbasis FPIC tidak hanya dapat mengurangi resistensi masyarakat, tetapi juga membantu membangun kepercayaan antara institusi formal dan informal. Dengan melibatkan masyarakat sejak tahap awal perencanaan, transaction costs seperti litigasi dan protes sosial dapat diminimalkan. Selain itu, konsultasi inklusif dapat menciptakan credible commitments yang diperlukan untuk meningkatkan legitimasi proyek di mata masyarakat adat.
Penyusunan Skema Distribusi Manfaat yang Adil
Pemerintah harus merancang skema pembagian manfaat dari proyek PLTA yang melibatkan masyarakat adat secara langsung. Hal ini dapat berupa royalti dari proyek, pembangunan infrastruktur lokal, atau program pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat. Skema ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tetapi juga mengurangi resistensi terhadap proyek pembangunan.
Kolaborasi Kelembagaan Formal dan Informal
Pemerintah perlu mengembangkan mekanisme kelembagaan hybrid yang mengintegrasikan hukum formal dengan norma adat dalam pengelolaan tanah. Kolaborasi ini bisa diwujudkan melalui co-management, di mana pemerintah memberikan kewenangan kepada masyarakat adat untuk mengelola tanah sesuai nilai adat, sementara pemerintah memberikan dukungan teknis dan regulasi. Pendekatan ini tidak hanya menjaga ekosistem lokal tetapi juga mengurangi potensi kerusakan akibat eksploitasi sumber daya tanpa kontrol.
Penguatan Regulasi untuk Perlindungan Hak Masyarakat Adat
Pemerintah perlu merevisi dan memperkuat regulasi yang melindungi hak masyarakat adat atas tanah, seperti revisi terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang sering menjadikan tanah adat sebagai bagian dari hutan negara. Regulasi yang adaptif terhadap kebutuhan masyarakat adat akan mengurangi potensi tumpang tindih klaim atas tanah.