Mohon tunggu...
Ferameitha Sholicha
Ferameitha Sholicha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi UNS

Hallo!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Andaikan Saja Lebih Cepat

3 Agustus 2020   07:00 Diperbarui: 3 Agustus 2020   07:33 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semilir angin sore hari menemani seorang gadis di tengah taman yang cukup ramai, bersama sebuah pohon dan sekumpulan kertas di pangkuannya. Aya, begitulah ia dipanggil. Rambut hitam yang selalu dikuncir satu di belakang, riasan wajah yang hanya ala kadarnya, dan gaya pakaian yang biasa-biasa saja selalu menjadi tampilan andalannya. Cantik, namun sering terlihat menyendiri. Tidak sedikit dari temannya yang menganggapnya aneh karena sifatnya yang suka menyendiri.

Setiap sore jika tidak ada kelas, ia selalu duduk di bawah salah satu pohon di taman yang menjadi tempat favoritnya, dan tentunya ia sendirian. Tetapi, bukan berarti ia tidak punya teman sama sekali, ia mempunyai satu teman yang sangat baik kepadanya, Lea namanya, namun mereka tidak satu hobi dan Lea tidak menyukai taman, jadi Aya memang selalu sendiri jika ke taman. Tempat yang ia tempati strategis, di sana ia bisa mengamati berbagai banyak hal, seperti anak kecil yang sedang bermain bersama dan juga keindahan taman itu sendiri.

"Rasanya ingin sekali kembali ke masa kecil, hidup tanpa beban sedikitpun," ucapnya lirih.

Hatinya merasa puas melihat anak kecil yang tertawa bahagia tanpa tekanan sedikitpun. Dari situlah ia bisa menjernihkan pikirannya dan mulai untuk merangkai kalimat-kalimat yang indah. Aya pandai membuat puisi, sudah banyak puisi yang telah ia buat, namun ia tidak pernah mempublikasikannya karena terlalu tidak percaya diri. Padahal Lea sudah menyarankan beberapa kali agar ia mempublikasikannya setidaknya sekali, namun ia tetap tidak mau.

Ketika ia sedang membuat puisi ia tidak suka kebisingan, ia lebih menyukai kesunyian karena menurutnya suara bising hanya akan mengganggunya. Jika sesekali ia ingin mendengarkan sebuah lagu, maka ia akan memakai headsetnya dan menghentikan kegiatan cipta puisinya itu agar dapat menikmati lagu tersebut dengan leluasa.

Ada satu hal yang tidak Aya sadari ketika sedang membuat puisi di bawah pohon tersebut. Diam-diam ada yang selalu memperhatikannya. Aya menarik perhatian seorang laki-laki populer yang bahkan digemari oleh banyak gadis, namanya Bara. Setiap hari, ia selalu memperhatikan Aya, namun hanya sebatas memperhatikan tak berani untuk menyapanya. Bara takut jika kehadirannya justru akan mengganggunya dan berakhir dengan Aya yang membencinya, ia tidak mau hal itu terjadi. Biasanya Bara akan duduk di salah satu kursi di taman tersebut namun agak jauh agar Aya tidak mengetahuinya. Hingga suatu saat ia sudah bosan selalu sembunyi dan memberanikan diri untuk menghampirinya.

"Hai Aya, apa kabar?" ucapnya dengan canggung.

Aya yang terkejut pun hanya menjawab seadanya, " Hai."

Suasana menjadi hening, ia bingung harus menanggapinya bagaimana, sedangkan ia memang tidak terlalu pandai untuk berkomunikasi dengan orang baru. Walaupun ia tahu bahwa laki-laki itu teman seprodinya, namun mereka hnya sebtas tahu nama dan tidak pernah bertegur sapa sebelumnya.

"Aku sering melihatmu di sini sendirian sambil menulis, bolehkah aku duduk di sini?" ucap Bara dengan groginya.

"Silakan," balas Aya singkat walaupun sebenarnya Aya tidak suka jika ada orang lain karena menurutnya hanya akan mengganggunya. Namun, entah mengapa ia mempersilakan Bara untuk duduk bersamanya. Keheningan kembali terulang.

"Kenapa kamu tidak mengajak temanmu? Aku lihat kamu selalu sendirian di sini?" tanya Bara.

"Di prodiku hanya ada satu teman yang sangat akrab denganku, tetapi ia tidak suka jika harus berlama-lama di taman, jadi aku memilih sendiri saja," jawab Aya dengan sedikit sendu. Melihat Aya yang tiba-tiba terlihat sedikit sedih, Bara pun mencoba mengalihkan perhatian dengan mengganti topik pembicaraan.

"Kamu pandai membuat puisi ya? Bisa ajarin aku ga?" ucap Bara setelah melihat tulisan di kertasnya, berharap gadis tersebut akan mengiyakan. Dan ya, Aya mengiyakan permintaan Bara. Mendengar itu Bara sangat senang, itu artinya ia akan lebih lama bersama dengan gadis itu.

Aya mulai mengajari bara langkah-langkah membuat puisi, walaupun ia sedikit grogi. Bara mendengarkan dengan baik dan mengikuti instruksi dari Aya. Mereka mengabiskan waktu berdua di bawah pohon tersebut dan ketika Bara telah menyelesaikan satu puisinya, Aya meminta izin untuk pulang duluan. Sebagai laki-laki tidak mungkin bara membiarkan seorang perempuan pulang sendiri apalagi ini sudah terlalu sore dan itu karena dirinya. Bara pun menawarkan untuk mengantarnya pulang.

"Aya, aku antar kamu pulang ya? Ini sudah terlalu sore," pinta bara namun ditolak oleh Aya.

"Tidak usah Bara, aku bisa pulang sendiri, aku akan memesan ojek online,"

Bukan Bara namanya jika ia tidak bisa membujuk seorang seseorang. Bara tetap bersikeras untuk mengantarkannya pulang, "Ayolah Aya, bagaimana jika terjadi sesuatu padamu di jalan nanti, aku pasti akan merasa sangat bersalah. Boleh ya aku mengantarmu pulang, aku mohon?"

Sepertinya kini seorang Bara harus mengakui bahwa ia ditolak oleh seorang gadis. Aya tetap bersikeras menolak tawaran dari Bara. Mau tidak mau Bara pun harus menerima kenyataan pahit tersebut. Aya pulang dengan ojek online pesanannya.

Di dalam kamar, Aya tiba-tiba terpikirkan Bara. Menurutnya, Bara orang yang asik, ia nyaman berada si dekat Bara. Namun, ia tidak ingin terlalu dekat dengannya. Alasannya karena Bara itu laki-laki populer yang digemari oleh banyak gadis. Jika ada yang tahu bahwa ia dekat dengannya, maka tamatlah riwayatnya.

Keesokan harinya, di sore hari Bara sengaja menunggu di bangku di dekat pohon favorit Aya. Aya yang baru saja datang pun terkejut ketika melihat ada Bara di sana. Secepat mungkin ia berbalik arah dan pergi dari taman tersebut untuk menghindarinya. Namun, usahanya gagal, Bara ternyata sudah melihat Aya.

"Aya!" teriak Bara ketika melihat Aya akan meninggalkan area taman. Ia segera mengejarnya.

"Mau kemana?" tanya Bara ketika telah berhasil mengejar Aya.

"Mmm, i-itu mau balik ke kampus, kacamataku ketinggalan," jawab Aya dengan sedikit terbata-bata.

Tiba-tiba saja Bara tertawa dan membuat Aya kebingungan. Bara segera mengambil sesuatu di atas kepalanya Aya, ternyata itu adalah kacamatanya. Usaha Aya untuk menghindari Bara ternyata hanya sia-sia saja. Kini mereka berdua duduk di bawah pohon. Aya merasa tidak nyaman dengan kehadiran Bara, ia tidak bisa fokus untuk membuat puisi, sedangkan Bara ia hanya duduk sembari memainkan ponselnya tanpa ada rasa bersalah.

"Itu kumpulan puisi kamu?" tanya Bara ketika melihat tumpukan kertas yang cukup tebal di samping Aya.

"Iya," jawab Aya.

"Boleh aku pinjam? Hanya dibaca sebentar."

Aya memberikan kumpulan puisinya tersebut kepada Bara. Betapa terkejutnya Bara ketika membaca puisi tersebut, puisinya sangat indah persis seperti pembuatnya. Senyuman terlukis di bibirnya.

"Ini untuk kamu," ucap Aya sembari menyerahkan hasil puisinya yang baru saja ia buat.

"Perpisahan," ucap Bara ketika membaca judulnya.

Baru sempat bara membaca judulnya, Aya meminta izin untuk pulang terlebih dahulu dengan alasan acara keluarga. Masih seperti kemarin, Bara menawarkan untuk mengantarnya pulang, namun tetap saja ditolak olehnya.

"Besok, bertemu lagi ya di sini," ucap Bara dengan senyum yang merekah.

"Sepertinya tidak bisa," jawab Aya lalu langsung pergi meninggalkan Bara yang masih dilanda kebingungan karena jawabannya tersebut.

Keesokan harinya Bara tetap saja menunggu di taman tersebut dan memang benar adanya bahwa ia tidak datang. Setelah berhari-hari Bara selalu menunggu di taman tersebut, namun orang yang ditunggunya tak pernah datang lagi. Tanpa basa-basi ia menanyakannya kepada teman dekat Aya.

Betapa mengejutkan ketika ia mendengar bahwa Aya telah mengundurkan diri dari kampus. Untuk alasannya tidak ada yang tahu kecuali Aya, keluarganya, dan pihak akademik. Bara bahkan mencarinya ke rumahnya, namun rumahnya telah kosong.

Itulah akhir dari kisah seorang gadis dengan puisinya. Ia senang dapat mengenal teman baiknya dan juga Bara. Kini, Aya harus memulai hidupnya yang baru di tempat yang baru, tentunya dengan orang-orang yang baru pula. Bagaimana dengan Bara? Ia berusaha untuk mengikhkaskannya walaupun masih berharap untuk dipertemukan kembali dengannya di kemudian hari tentunya dengan nasib yang baik.

"Andai saja sedari dulu aku berani untuk menyapanya," --Bara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun