Mohon tunggu...
Fera Andriani Djakfar
Fera Andriani Djakfar Mohon Tunggu... Dosen - Ibu rumah tangga, Dosen, Guru madrasah, Penulis Buku: Dari Luapan Sungai Nil, Surat Dari Alexandria, Kejutan Buat Malaikat, Arus Atap dan Cinta, Serial Addun dan Addin, Islam Lokal: Fenomena Ngabula di PEsantren Madura

Banyak-banyaklah membaca buku, hingga kenyang, sampai kebelet menulis tak tertahankan!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dialog Mata dan Telinga

5 Agustus 2021   08:02 Diperbarui: 5 Agustus 2021   08:03 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mata dan telinga dari intisari.grid.id

"Alhamdulillah, ya. Manusia sekarang pada makmur sejahtera," ujar Mata.

"Kok bisa kamu bilang begitu?" Protes Telinga.

"Itu yang aku lihat. Banyak orang mengendarai mobil baru, membeli rumah baru, jalan-jalan ke luar negeri, makan-makan dan menginap di hotel mewah. Itu 'kan bukti bahwa orang-orang sekarang hidupnya enak," ujar Mata lagi.

"Sayang sekali kamu tidak mendengar curhatan mereka. Betapa banyak orang mengeluh terlilit hutang, dikejar-kejar tagihan, diancam debt collector... "

"Ah, masa sih?  Kelihatannya mereka baik-baik saja, kok."

"Tampaknya demikian, tetapi kedengarannya tidak. Yang kudengar adalah keluhan, jeritan, tangis... "

"Mengapa mesti menangis?  Toh mereka mengendarai mobil mewah. Rumah-rumah baru bermunculan, dengan bangunan yang kokoh tinggi menjulang. Banyak pula orang-orang berbagi uang tunai di jalanan."

"Itu yang kau lihat, Mata! Hati-hati,  jangan sampai pandanganmu tertipu."

"Aku tidak akan tertipu. Pandanganku jelas, tanpa silinder, bebas minus dan plus. Jangan-jangan kamu yang iri, Telinga. Soalnya kamu berada di samping, dan seringkali tersembunyi."

"Kau tidak pernah tertipu, katamu? Bagaimana dengan pelangi yang tampak berwarna warni?  Pembiasan itu hanya membuatmu terlena. Padahal aslinya itu air bening belaka. Bagaimana pula dengan fatamorgana? Dari jauh yang kau lihat air berkilauan, padahal itu tanah yang kepanasan. Itu yang katanya tidak pernah tertipu?"

"Hei, kau pun jangan terlalu bangga dengan dirimu. Gelas kosong saja jika ditempelkan padamu, konon yang terdengar gemuruh angin. Berarti kau juga suka tertipu, kan? Jangan-jangan.... Kamu hanya mengada-ngada tentang penderitaan orang zaman sekarang."

"Sama sekali tidak. Yang kudengar bukan desis angin di gelas kosong. Aku mendengar tangisan nyata. Anak merengek-rengek pada ibunya, Kakak menelpon adiknya menumpahkan keluhan, adik menangis pada abangnya...."

"Aku akan ikuti saranmu jika kau bisa tunjukkan beberapa hal lain yang mengindikasikan bahwa aku mudah tertipu!" Tantang Mata.

"Baiklah. Coba pandangi tangan yang terkepal ke langit malam. Lebih besar mana, kepalan tangan, atau bintang di angkasa? Pasti dalam pandanganmu kepalan tangan yang lebih besar. Iya, kan?"

"Hmm... Iya, benar." Mata mengakui.

"Untungnya ada akal yang tidak terpedaya olehmu."

"Oke, aku akui itu. Apa lagi?"

"Di malam hari ketika bulan bercahaya, cobalah berjalan sambil melihat bulan. Pasti dalam pandanganmu, bulan berjalan sesuai langkahmu. Jika kau berhenti, bulan pun berhenti. Bukankah demikian?"

"Iya, benar." Mata mengakui khilafnya selama ini. "Memang benar yang kau katakan. Lalu apa saranmu?"

"Saranku, pandanglah mimik wajah orang-orang dengan baik. Cari sisa tangisan pada wajah-wajah yang tersenyum palsu dalam swafoto yang kau lihat. Air mata selalu meninggalkan jejak, sepandai apapun pemilik wajah itu menghapusnya."

"Baik, aku terima saranmu. Kalau aku juga boleh memberi pendapat, hendaknya kamu jangan fokus pada yang menangis dan mengeluh saja. Itu tidak baik untukmu, membuatmu skeptis memandang hidup ini. Dengarkan juga bisikan-bisikan penuh syukur, yang diucapkan oleh wajah-wajah teduh penuh ketulusan."

"Oke, siap. Terima kasih atas saranmu. Aku sendiri menyadari kekuranganku. Selalu saja kamu yang lebih dulu melihat kilat, baru kemudian aku yang mendengar guntur. Baiknya kita berkolaborasi melihat segala fenomena. Oke?"

"Ya, siap!"

Ah, indahnya hidup  berdampingan dengan damai....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun