"Hei, kau pun jangan terlalu bangga dengan dirimu. Gelas kosong saja jika ditempelkan padamu, konon yang terdengar gemuruh angin. Berarti kau juga suka tertipu, kan? Jangan-jangan.... Kamu hanya mengada-ngada tentang penderitaan orang zaman sekarang."
"Sama sekali tidak. Yang kudengar bukan desis angin di gelas kosong. Aku mendengar tangisan nyata. Anak merengek-rengek pada ibunya, Kakak menelpon adiknya menumpahkan keluhan, adik menangis pada abangnya...."
"Aku akan ikuti saranmu jika kau bisa tunjukkan beberapa hal lain yang mengindikasikan bahwa aku mudah tertipu!" Tantang Mata.
"Baiklah. Coba pandangi tangan yang terkepal ke langit malam. Lebih besar mana, kepalan tangan, atau bintang di angkasa? Pasti dalam pandanganmu kepalan tangan yang lebih besar. Iya, kan?"
"Hmm... Iya, benar." Mata mengakui.
"Untungnya ada akal yang tidak terpedaya olehmu."
"Oke, aku akui itu. Apa lagi?"
"Di malam hari ketika bulan bercahaya, cobalah berjalan sambil melihat bulan. Pasti dalam pandanganmu, bulan berjalan sesuai langkahmu. Jika kau berhenti, bulan pun berhenti. Bukankah demikian?"
"Iya, benar." Mata mengakui khilafnya selama ini. "Memang benar yang kau katakan. Lalu apa saranmu?"
"Saranku, pandanglah mimik wajah orang-orang dengan baik. Cari sisa tangisan pada wajah-wajah yang tersenyum palsu dalam swafoto yang kau lihat. Air mata selalu meninggalkan jejak, sepandai apapun pemilik wajah itu menghapusnya."
"Baik, aku terima saranmu. Kalau aku juga boleh memberi pendapat, hendaknya kamu jangan fokus pada yang menangis dan mengeluh saja. Itu tidak baik untukmu, membuatmu skeptis memandang hidup ini. Dengarkan juga bisikan-bisikan penuh syukur, yang diucapkan oleh wajah-wajah teduh penuh ketulusan."