Bertemu Presiden Indonesia bukan hal yang mustahil lagi bagi kita, rakyat Indonesia. Salah satunya saya, kini menjadi mantan buruh migran, sudah tiga Minggu.
Sebelum acara Kompasianival ini, sudah ada beberapa Kompasianer yang merasakan bagaimana deg-degannya bertemu Presiden, rasa itu akhirnya saya alami sendiri setelah benar-benar bisa berhadapan langsung dengan Presiden.
Saat masuk Istana Negara dan duduk di kursi, memandang ruangan yang begitu besar yang didominasi warna putih, wajah-wajah sumringah terlihat, menunggu detik-detik melihat langsung orang nomor satu negeri ini.
Setelah duduk sekitar 20 menit, akhirnya yang ditunggu datang juga. Dengan kostum khasnya, kemeja warna putih, Presiden Jokowi memasuki ruangan dan semua Kompasianer pun berdiri di sisi kanan dan kiri tempat Pak Jokowi akan jalan. Sambil menyalami satu persatu, dengan senyum khasnya, Pak Jokowi menyapa dan sampailah giliran tangan saya yang bersalaman dengan beliau. Tangannya halus.
Setelah sampai di depan, Pak Jokowi mendekat ke mic, “santai saja, makan dulu.” lumayan mak plongo, saya kira akan dibuka dulu dengan pidato atau perkenalan, ternyata istana tak seseram yang saya bayangkan dan Pak Jokowi benar-benar Presiden yang sangat humble, tak berjarak dengan rakyatnya.
Beliau mengambil sendiri makanan lalu duduk di kursi sambil berbincang dengan Kompasianer yang duduk semeja dengannya. Sementara Kompasianer lain mengantri untuk mengambil makanan dan sekitar 15 menit kemudian, acara pun dibuka dengan moderator Mas Isjet.
Mas Isjet mengenalkan ke Pak Jokowi soal Kompasiana dan isinya, soal postingan yang jumlahnya 2 jutaan, Kompasianer yang gabung sekitar 300.000, penulis aktif sekitar 70.000 yang disambut dengan geleng-geleng kepala pertanda kagum dari Pak Jokowi.
Kemudian Mas Isjet memberitahu kalau ada sesi dialog, ada beberapa Kompasianer yang namanya sudah berada dalam catatannya yang akan dipanggil ke depan dan dipersilahkan menyampaikan unek-unek langsung kepada Pak Presiden.
“Mak Yul, harusnya aku tadi ngomong sama Mas Isjet, minta waktu buat menyampaikan unek-unek ya.” Bisik saya ke Mak Aulia Gurdi yang duduk di sebelah saya.
“Coba, Neng, ngomong ke Mas Isjet aja, kasih kode.” Jawab Mak Yul.
“Gak enak, Mak.” Jawab saya dan akhirnya nama pertama pun dipanggil, yakni Mas Junanto yang sudah bergabung dengan Kompasiana sejak awal berdiri yakni tahun 2008.
Nama kedua pun menyusul, Kompasianer dari Ambon, dipersilahkan maju dan menyampaikan unek-unek ke Presiden. Setelah selesai, Mas Isjet pun memanggil nama ketiga untuk maju.
Siapa yang mengira kalau nama itu adalah saya? Saya pun tidak berfikir sama sekali bakalan mendapatkan kesempatan langka ini.
“Berikutnya, akan saya panggil Kompasianer dari Hong Kong. Namanya Fera Nuraini, Pak. Baru saja pulang dari Hong Kong dan bekerja sebagai buruh migran. Silahkan maju, mbak.”
Jangan tanya bagaimana perasaan saya waktu nama saya disebut, langsung gemetar, kaget, gak nyangka Mas Isjet bakalan mencacat nama saya. Tapi saya percaya kalau semua ini sudah ada dalam skenario-Nya.
Saat jalan ke depan sekitar lima langkah dengan tepukan tangan para Kompasianer dan sempat memandang mas Arif Lukman yang ngasih jempol sambil tresenyum lebar, mata ini sudah hampir basah, begitu mendekat mic dan mengucap salam dengan suara bergetar, mata ini beneran basah.
“Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak buat Mas Is yang sudah memberi kesempatan ke saya, dan terima kasih buat teman-teman semua. Perkenalkan, Pak, saya mantan buruh migran, sudah 3 Minggu, sebelumnya saya bekerja di Hong Kong selama 10 tahun.” Saya tidak tahu raut muka saya seperti apa saat itu, setelah mulai bisa mengendalikan perasaan, saya meneruskan dengan kalimat selanjutnya.
Saya mengeluhkan soal pelayanan KJRI di Hong Kong yang masih kurang, masih terkesan ingin dilayani, bukan melayani. Di sisi lain, saya juga meminta pemerintah untuk meningkatkan perlindungan terhadap para buruh migran di luar negeri.
Waktu yang diberi dua menit rasanya sangat lama, mungkin karena di depan Presiden, tetapi apa yang sudah tersampaikan semoga benar-benar bisa mendapatkan perhatian dari Presiden.
Jangan ditanya perasaan saya bagaimana, bisa diajak ke Istana saja sudah senang, apalagi diberi kesempatan maju dan menyampaikan unek-unek langsung, pasti 100 blogger Kompasiana ingin juga merasakan hal yang sama :D
Berjuta terima kasih saya haturkan buat Kompasiana yang sudah memberi kesempatan buat saya. Saya berharap semakin banyak lagi buruh migran yang bersuara lewat tulisan, bisa jadi teman-teman yang akan diundang ke Istana berikutnya.
Selamat ulang tahun buat Kompasiana, senang menjadi bagian dari penulis-penulis hebat dari berbagai latar belakang. Doa selanjutnya, semoga mendapat kesempatan ikut pesawat kepresidenan saat kunjungan kerja dan bisa meliput langsung kegiatan Presiden menurut versi kita sebagai jurnalisme warga.