[caption id="attachment_185005" align="alignnone" width="576" caption="Kuil Pak Tai , bergantian orang sembangyang untuk berdoa dalam dalam acara Cheung Chau Bun Festival (Foto: Fera Nuraini)"][/caption] [caption id="attachment_185035" align="alignnone" width="576" caption="Banyak yang sembangyang di kuil. (Foto: Fera Nuraini)"]
Sabtu, 28 April 2012 atau bertepatan dengan hari ke delapan bulan empat dalam kalender China, di daerah Cheung Chau Hong Kong, setiap tahun ada sebuah festival yang cukup menarik baik bagi masyarakat lokal maupun wisatawan asing, Cheung Chau Bun Festival namanya.
Berkumpul di Central Fery Piers pukul 11 waktu Hong Kong, saya, mbak Dwi dan mbak Lexy siap-siap untuk menaiki kapal yang akan membawa kami ke Pulau Cheung Chau, sebuah pulau yang jaraknya sekitar 12 km dari kota Hong Kong. Perjalanan naik kapal sendiri membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan harga tiket sekitar Rp 30 ribu.
Antrian untuk naik kapal mengular, mungkin karena di Cheung Chau sedang ada acara besar, jadi kebanyakan orang Hong Kong   berbondong-bondong ingin pergi ke sana, melihat festival yang hanya ada satu tahun sekali ini.
[caption id="attachment_185011" align="aligncenter" width="576" caption="Ini kue yang asli. Keesokan paginya siap dibagi untuk warga yang setia mengantri dan berharap keselamatan setelah mendapatkan roti ini. (Foto: Fera Nuraini) "]
Asal usul dari Cheung Chau Bun Festival sendiri adalah, konon pada abad 19, pulau Cheung Chau ini hancur oleh bajak laut yang mengakibatkan banyak orang meninggal. Untuk mengusir roh-roh jahat supaya tidak kembali lagi ke pulau ini, maka diadakanlah Festival Bun sebagai tanda rasa syukur kepada para dewa dan juga untuk menyenangkan roh-roh yang telah tiada akibat peristiwa  tersebut.
Pukul 12 lebih sedikit kami sampai juga di pulau Cheung Chau. Ribuan orang telah berlalu lalang memadati jalanan di kawasan ini. Hampir semua restauran pinggir jalan yang menyediakan makanan laut penuh, pun juga dengan warung-warung kecil yang menjual minuman dingin dan makanan ringan. Ada juga penjual aksesoris, baju-baju pantai, baju batik tapi sayang made in Thailad bukan Indonesia dan masik banyak lagi aneka macam barang yang di pajang di pinggiran jalan.
Suhu di Hong Kong telah berganti ke musim panas, 27-30 derajat celsiul, namun tak menyurutkan para wisatawan lokal dan asing untuk setia menunggu festival dimulai.
Ritual selama satu Minggu digelar di kawasan ini untuk memperingati CheungChauBunFestival. Parade tari-tarian singa baik oleh orang dewasa maupun anak-anak digelar. Tepat di depan kuil Pak Tai, berdiri dengan kokoh menara setinggi 18 meter yang ditutup dengan roti manis berwarna putih dan dibungkus plastik , menara inilah yang menjadi daya tarik para wisatawan.
Pukul 2 waktu setempat, parade iring-iringan dari berbagai jenis kebudayaan lokal silih berganti memasuki lapangan dan mengitari menara roti. Parade Floating Children untuk menandai keberhasilan berbagai profesi yang menyumbangkan nama baik negara secara umum, Â anak-anak didandani dengan atribut yang melambangkan profesi yang bersangkutan. Sebagai rasa terima kasih kepada dewa sesembahan para balita juga didandani sebagai dewa (raja langit, kwan in dsb).
Setelah semuanya berkumpul, satu demi satu kelompok keluar lapangan lagi untuk berjalan keliling sambil beratraksi di sekitar daerah Cheung Chau. Banyak anak kecil yang ikut dalam parade ini ada yang terlihat begitu menikmati namun tak sedikit juga yang mengantuk dan kepanasan.
Puncaknya yaitu tepat pukul 12 malam, sebanyak 12 orang berlom-lomba naik ke menara tertinggi dan mengambil roti sebanyak-banyaknya lalu dimasukkan ke dalam kantong di punggung masing-masing dan siapa yang berhasil mendapatkan roti terbanyak, dialah yang keluar sebagai pemenang, tentu dengan batas waktu yang telah ditentukan. Karena pukul 9 malam kami bertiga sudah harus sampai rumah, kami tidak bisa menyaksikan acara lomba menaiki menara roti ini. Dengan alasan keselamatan pendaki menara, Beng On Pau (kue keselamatan)Â diganti kue imitasi karena roti asli akan menjadikan menara sangat licin ketika udara lembab.
Untuk tahun ini yang keluar sebagai pemenangnya kebetulan adalah perempuan. Dia berhasil membawa 939 bungkus roti, pemenang ke dua laki-laki dengan 873 bungkung roti. Perempuan pun tak kalah dengan laki-laki untuk urusan panjat-memanjat.
Minggu, 29 April atau keesokan harinya, roti-roti asli  dibagi-bagikan ke penduduk setempat yang sudah antri sejak pagi. Kebanyakan para nenek-nenek dan kakek-kakek ( kungkung bobo) antri untuk mendapatkan roti. Hanya 30 menit saja roti ini ludes.  Berharap  semoga keselamatan  atau dalam bahasa kantonis beng-beng on-on selalu menyertai.
[caption id="attachment_185014" align="aligncenter" width="432" caption="Gak takut jatuh ya mui? (Foto: Fera Nuraini)"]
[caption id="attachment_185017" align="aligncenter" width="470" caption="Meskipun panas namun tetap semangat (Foto: Fera Nuraini)"]
[caption id="attachment_185019" align="alignnone" width="432" caption="Kuenya ikut keliling sebelum dibagi-bagi esok hari (Foto: Fera Nuraini)"]
[caption id="attachment_185024" align="alignnone" width="538" caption="Para Fotografer setia menunggu setiap momen untuk dijepret (Foto: Fera Nuraini)"]
Festival Cheung Chau Bun sendiri pernah dihentikan setelah kecelakaan di tahun 1978, namun sekarang diadakan kembali tentu dengan persiapan dan pengamanan yang lebih matang lagi.
Nah bagi anda yang penasaran dengan festival ini, silahkan datang ke Hong Kong di setiap tanggal 8 bulan 4 kalender China, biasanya jatuh pada bulan April atau Awal Mei.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI