Oleh Fenny Fitriyaningsih
Indonesia adalah negara dengan sejuta keindahan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keindahan itu tersebar di seluruh Indonesia, keindahan yang ada daerah – daerah terpencil yang jauh dari ibukota. Bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di kota, jarang sekali bisa merasakan keindahan itu. Seperti aku yang ingin melihat keindahan Negara ini, aku harus menjadi seorang traveler.
Pada tanggal 26 bulan Mei kemarin, aku dan teman – temanku pergi ke Semarang. Kampusku yaitu Akademi Televisi Indonesia (ATVI), membuat Tour Hunting Fotografi yang dilaksanakan untuk mahasiswa/mahasiswi semester II jurusan Produksi dan Jurnalistik. Hunting Fotografi ini dilakukan untuk menyelesaikan tugas Ujian Akhir Semester (UAS) matakuliah Fotografi.
Sebelum kita semua berangkat ke tempat tujuan. Kita harus mempunyai konsep yang matang bagi masing – masing kelompok. Karena aku mengambil jurusan Jurnalis, aku dan teman jurnalis harus mengambil Foto Jurnalistik. Yaitu Foto yang ada sisi Human Interst bila jika diartikan Foto Jurnalistik adalah foto yang berbicara. Foto yang tidak terfokus pada estetika dan aturan – aturan fotografi pada umumnya, lebih terfokus pada konten atau isi foto tersebut.
Aku dan teman – teman sekelompokku sepakat untuk membuat konsep yang berjudul “Fact and Act In The Central Java Place”. Konsep ini dibuat bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat lainnya bagaimana fakta dan aksi masyarakat Jawa Tengah dengan hasil foto kita.
Tempat pertama yang kita kunjungi adalah Masjid Agung Jawa Tengah. SubhanaAllah, Masjidnya ini indah sekali, dan memiliki menara Asmahul Husnah. Masjid Agung Jawa Tengah ini juga memiliki payung – payung besar seperti di masjid Nabawi. Tetapi sayangnya payung – payung ini hanya digunakan pada saat hari – hari besar. Yaitu pada saat sholat Idul Adha dan sholat Idul Fitri. Waktu kita sampai disana payung – payung itu tidak dibuka. Sayang sekali ya, padahal jika dibuka kita bisa melihat keindahan yang lebih dari Masjid Agung Jawa Tengah.
Tetapi, banyak yang harus disayangkan di sini. Terutama pada kesadaran masyarakat yang kurang. Terlihat masih banyak orang yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Ada juga yang tidak mengikuti aturan – aturan yang sudah ada di Masjid tersebut. Kondisi lingkungan sekitar Masjid menjadi tidak bagus. Terlebih dari kekurangan itu kita bisa melihat sisi positifnya. Yaitu lapangan yang luas disekitar Masjid sering digunaan oleh warga setempat untuk olahraga, bersepeda ataupun sekedar jalan – jalan bersama cucu tercinta. Karena memang udara di sana sangat segar sekali. Jadi banyak masyarakat yang berkumpul di Masjid itu pada pagi hari terutama pada hari libur.
Tempat kedua adalah Museum Kereta Api Ambarawa. Pada saat aku sampai di sana udara sangat dingin sekali, mungkin karena tempatnya sedikit menanjak. Di Museum Kereta Api ini, aku melihat orang – orang yang unik sekali. Setelah memasuki gerbang aku dan teman – teman disambut oleh anak – anak TK yang juga sedang mengunjungi Museum ini. Mereka terlihat sangat senang sekali, mereka berlari – lari menaiki kereta yang sudah tidak terpakai itu. Bahkan ada yang sampai tidur – tiduran di rel kereta api. Mereka sangat senang sekali pada saat aku dan teman – temanku mengabadikan foto mereka. Mereka tertawa dan mengobrol dengan teman – temannya menggunakan bahasa Jawa. Bagi kami yang tinggal di Jakarta kejadian seperti ini sangat unik dan menarik sekali. Sayangnya aku tidak bisa menggunakan bahasa Jawa, jika aku bisa pasti aku sudah mengajak mereka berbicara.
Aku dan teman – temanku memiliki kesempatan untuk naik Kereta Api Uap ini. Kejadian seperti ini sangat langka. Karena Kereta Uap ini sudah lama sekali ada, kereta Ini dibuat pada masa penjajahan Belanda. Waw, sudah lama sekali ya. Kereta ini juga masih dioprasikan menggunakan kayu bakar. Dan aku beruntung sekali bisa turut serta dalam menaiki kereta yang sangat langka ini.
Sepanjang perjalanan dari Museum Ambarawa menuju Stasiun Tuntang kita semua dimanjakan dengan keindahan alam yang jarang sekali terlihat di Jakarta. Pemandangan kanan dan kiri ada sawah yang masih hijau sekali dan danau yang dipenuhi tanaman eceng gondok. Banyak orang – orang yang melambaikan tangan kepada kita pada saat kereta melewatinya. Kita yang di atas kereta pun menjadi senang. Karena disambut baik oleh warga sekitar.
Setelah asik menaiki Kereta Api Uap ini. Kami pun kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan. Tetapi di samping kanan dan kiri bus kami banyak sekali pengemis, mereka menunggu untuk diberikan uang. Anehnya jika kita tidak memberikan mereka uang, mereka akan marah dan kesal. Mereka marah menggunakakn bahasa Jawa yang tidak dimengerti oleh kami. Tidak jarang dari kami juga yang memberikan uang kepada pengemis itu.
Setelah menaiki kereta kami pergi ke Candi Gedong Songo. Udaranya segar dan sangat dingin sekali. Banyak teman – temanku yang tidak ikut naik ke Candi karena kondisi fisiknya yang tidak kuat. Mereka yang tidak ikut naik menunggu di bawah. Aku memulai perjalananku di Candi Gedong Songo I. Perjalanan dari Candi satu ke Candi lainnya lumayan jauh sekali, kita harus menaiki bukit dan tangga yang ada. Jika kita tidak ingin lelah, kita bisa menunggangi kuda yang sudah disiapkan di tempat tersebut. Tetapi kita harus bayar untuk menunggangi kuda itu.
Walaupun namanya adalah Candi Gedong Songo yang artinya adalah sembilan candi. Tetapi candi yang ada disini hanya tinggal lima candi saja. Sepengelihatanku banyak candi yang sudah runtuh. Jadi candi yang tersisa hanya tinggal lima candi saja. Setelah sampai di candi yang ke IV, pemandangannya sangat indah sekali. Dari atas aku bisa melihat gunung merbabu yang sangat jelas, aku juga tidak lupa untuk mengambil gambar keindahan dan juga foto jurnalistikku. Ada hal yang menarik saat aku sampai di candi yang ke IV, seketika kabut tebal menghampiri kami yang sedang berjalan – jalan. Aku dan teman – teman yang melihat itu sangat terkejut dan panik sekali. Kabut tebal, dan diiringi dengan angin yang kencang. Ini pertama kalinya bagiku merasakan momen seperti ini. Tidak lama setelah kabut menghilang, hujan pun turun. Aku berteduh dengan teman – temanku, di sebuah saung yang ada di dekat candi IV.
Di saung tempat aku berteduh ada seseorang yang berjualan. Kami membeli minuman dan makanan yang hangat, yang bisa membuat kami tidak kedinginan. Aku mengobrol dengan ibu yang sedang berjualan. Ternyata rumah ibu yang berjualan itu ada di pedesaan di bawah Candi Gedong Songo. Saat aku mengobrol ternyata ibu itu ditemani dengan anaknya yang masih kecil. Anaknya seorang perempuan dan masih TK. Aku terkejut dan sangat bangga sekali. Anak ini mau menemani ibunya berjualan, dan harus menanjak jauh sekali sampai di tempat jualan ini. Aku hampir malu dengan anak yang kuat ini, aku selalu mengeluh saat menaiki bukit demi bukit. Anak ini saja bisa dan tidak terlihat kelelahan. Tetapi, kami yang sudah dewasa sangat kelelahan bahkan ada yang tidak melanjutkan perjalanan karena kelelahan.
Di Candi Gedong Songo juga ada tempat pemandian air panas. Para pengunjung bisa dimanjakan oleh panasnya air belerang setelah lelah menanjak. Di sini juga ada kawah belerang yang masih alami sekali. Kita harus berhati - hati jika dekat kawah tersebut. Karena airnya sangat panas dan membahayakan.
Aku mulai memfoto masyarakat yang berjualan di daerah ini, tetapi mereka selalu menutup muka ataupun memalingkan wajahnya dariku. Kebanyakan dari mereka banyak yang tidak ingin difoto oleh kami. Setelah dari Candi Gedong Songo kami semua istirahat di hotel Citra Dream di kota Semarang.
Keesokan paginya kita berangkat menuju kota lama Semarang dan Gereja Beledug pada pukul 7 pagi. Aku berpencar dengan teman – teman sekelompokku. Aku terus mencari momen yang bagus untuk aku foto. Di daerah kota lama ini banyak sekali pengemis dan gelandangan yang tidur - tiduran di sana, atau sekedar duduk – duduk.
Aku bertemu dengan seseorang yang ingin menyebrang jalan. Orang itu bilang kepadaku “mba, kalau mau cari foto yang bagus di sebelah sana ada rumah yang belum direnovasi dan masih kental keasliannya. Jika mba berjalan lurus ke arah sana, mba akan bertemu rel kereta api, setelah itu mba belok kiri dan tidak jauh dari sana, mba akan bertemu rumah itu”. Aku mengikuti perintah yang bapak itu kasih. Dan ternyata saat aku sampai di sana, aku sangat terkejut dan sangat berterimakasih pada bapak itu. Karena rumah yang aku temui itu masih asli, dan bagus sekali arsitekturnya jika difoto. Aku langsung mengambil gambar rumah itu, tapi aku tidak berani dekat – dekat. Karena rumah itu terlihat menyeramkan, jadi aku tidak berani mengambil gambar terlalu jauh.
Sudah hampir 2 jam aku berkeliling di daerah kota lama dan gereja Beledug ini. Aku kembali ke hotel untuk mengambil barang – barangku dan langsung berangkat lagi ke kuil Sam Po Kong. Sesampainya di kuil ini, ada sesuatu yang menarik penglihatanku yaitu ada sebuah kandang yang berisi ular sanca raksasa. Ular nya besar tetapi tidak banyak bergerak. Ular itu hanya diam melilit ke batang pohon.
Cuacanya sangat panas sekali, aku hampir tidak kuat. Aku sudah pasrah tidak mengambil gambar, karena panas yang terik sekali. Akhirnya aku hanya duduk di bawah pohon saja. Tetapi setelah duduk beberapa menit kemudian, aku baru tersadar ada seseorang yang sedang melukis kuil Sam Po Kong. Momen ini sangat bagus untuk menjadi foto jurnalistikku. Tanpa ragu – ragu aku langsung mengambil foto dan menunggu mba ini sampai selesai melukis. Setelah selesai melukis aku bertanya dan mengobrol sebentar, ternyata dia adalah seorang dosen desain arsitektur yang sedang melakukan hunting melukis di luar kampus bersama mahasiswanya. Tapi sayangnya, waktu sangat singkat sekali, aku harus melanjutkan perjalanan lagi, sehingga aku tidak bisa lama mengobrol degan pelukis itu.
Aku langsung melanjutkan perjalan ke Lawang Sewu. Perjalanan tidak lama hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Sesampainya di Lawang sewu, kita diajak berkeliling Lawang Sewu dengan ditemani tourguide. Bapak ini menjelaskan dengan detail sejarah Lawang Sewu pada masa penjajahan Belanda. Tidak lupa aku mencari momen foto jurnalistikku, tidak banyak yang aku dapat di Lawang Sewu ini, aku lebih banyak mengambil gambar arsitekturnya, karena memang bagus sekali arsitektur di setiap bagunan Lawang sewu ini. Bukan Cuma wisatawan lokal, ada juga wisatawan asing yang datang untuk melihat bagunan bersejarah ini.
Walaupun namanya Lawang Sewu, tetapi pintu yang ada di sini hanya 342 pintu saja. Karena masyarakat setempat menyebutnya banyak, jadi mereka sepakat untuk berkata Lawang Sewu atau seribu pintu.
Setelah kami dimanjakan dengan bangunan yang indah seperti lawang sewu, kami melanjutkan perjalanan ke kota Batang, dan menginap di hotel. Kami harus istirahat total karena besok pagi harus melanjutkan perjalan ke Pekalongan, dan setelah itu pulang menuju Jakarta.
Kami bangun jam 7 pagi, sarapan dan langsung packing, pada pukul 10 kami langsung melanjutkan perjalanan ke kota batik Pekalongan. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 3 jam. Sesampainya di pasar batik Pekalongan, kami berbelanja oleh – oleh untuk keluarga di rumah. Di pasar batik ini memiliki 3 bagian tempat, yaitu : tempat menengah ke atas, dengan harga – harga batik yang menjulang tinggi, tempat pertengahan yaitu harga – harga yang standar, dan menengah ke bawah yaitu harga – harga yang murah. Tentu saja tempat – tempat itu sesuai dengan kualitas dan kuantitas bahan yang bagus. Sangat disayangkan sekali, ternyata tempat pembuatan batik di pasar ini sudah tutup. Kami anak - anak jurusan jurnalistik kecewa karena kita tidak bisa mengambil foto pembuatan batik. Karena pembuatannya sudah tutup, jika kita mencari di sekitar pasar, ada pembuatan batiknya. Tetapi, kita harus berjalan jauh dari pasar. Karena waktu kami sudah tidak banyak kami harus segera kembali ke Jakarta sehingga kami tidak bisa mencari tempat pembuatan batik tersebut.
Setelah kami membeli oleh – oleh dan lelah mengambil foto yang ada di pasar batik Pekalongan, kami langsung kembali pulang ke Jakarta. Kami tidak ingin menghabiskan momen berharga ini dengan begitu saja, aku dan teman – teman sebusku menghabiskan malam terakhir dengan saling bercanda ataupun nyanyi bareng, bahkan sampai joget – joget bareng di bus yang kami tumpangi itu. Kami ingin membuat kenangan yang tidak akan pernah terlupakan. Tawa, canda dan keseruan yang sudah kita habiskan selama hampir 5 hari ini, akan selalu kita kenang di dalam memori kita. Terimakasih teman – temanku sudah membuat memori yang indah. Terimakasih juga dosen – dosen beserta staf kampus yang sudah membuat hunting fotografi ini menjadi lebih berkesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H