Setelah menaiki kereta kami pergi ke Candi Gedong Songo. Udaranya segar dan sangat dingin sekali. Banyak teman – temanku yang tidak ikut naik ke Candi karena kondisi fisiknya yang tidak kuat. Mereka yang tidak ikut naik menunggu di bawah. Aku memulai perjalananku di Candi Gedong Songo I. Perjalanan dari Candi satu ke Candi lainnya lumayan jauh sekali, kita harus menaiki bukit dan tangga yang ada. Jika kita tidak ingin lelah, kita bisa menunggangi kuda yang sudah disiapkan di tempat tersebut. Tetapi kita harus bayar untuk menunggangi kuda itu.
Walaupun namanya adalah Candi Gedong Songo yang artinya adalah sembilan candi. Tetapi candi yang ada disini hanya tinggal lima candi saja. Sepengelihatanku banyak candi yang sudah runtuh. Jadi candi yang tersisa hanya tinggal lima candi saja. Setelah sampai di candi yang ke IV, pemandangannya sangat indah sekali. Dari atas aku bisa melihat gunung merbabu yang sangat jelas, aku juga tidak lupa untuk mengambil gambar keindahan dan juga foto jurnalistikku. Ada hal yang menarik saat aku sampai di candi yang ke IV, seketika kabut tebal menghampiri kami yang sedang berjalan – jalan. Aku dan teman – teman yang melihat itu sangat terkejut dan panik sekali. Kabut tebal, dan diiringi dengan angin yang kencang. Ini pertama kalinya bagiku merasakan momen seperti ini. Tidak lama setelah kabut menghilang, hujan pun turun. Aku berteduh dengan teman – temanku, di sebuah saung yang ada di dekat candi IV.
Di saung tempat aku berteduh ada seseorang yang berjualan. Kami membeli minuman dan makanan yang hangat, yang bisa membuat kami tidak kedinginan. Aku mengobrol dengan ibu yang sedang berjualan. Ternyata rumah ibu yang berjualan itu ada di pedesaan di bawah Candi Gedong Songo. Saat aku mengobrol ternyata ibu itu ditemani dengan anaknya yang masih kecil. Anaknya seorang perempuan dan masih TK. Aku terkejut dan sangat bangga sekali. Anak ini mau menemani ibunya berjualan, dan harus menanjak jauh sekali sampai di tempat jualan ini. Aku hampir malu dengan anak yang kuat ini, aku selalu mengeluh saat menaiki bukit demi bukit. Anak ini saja bisa dan tidak terlihat kelelahan. Tetapi, kami yang sudah dewasa sangat kelelahan bahkan ada yang tidak melanjutkan perjalanan karena kelelahan.
Di Candi Gedong Songo juga ada tempat pemandian air panas. Para pengunjung bisa dimanjakan oleh panasnya air belerang setelah lelah menanjak. Di sini juga ada kawah belerang yang masih alami sekali. Kita harus berhati - hati jika dekat kawah tersebut. Karena airnya sangat panas dan membahayakan.
Aku mulai memfoto masyarakat yang berjualan di daerah ini, tetapi mereka selalu menutup muka ataupun memalingkan wajahnya dariku. Kebanyakan dari mereka banyak yang tidak ingin difoto oleh kami. Setelah dari Candi Gedong Songo kami semua istirahat di hotel Citra Dream di kota Semarang.
Keesokan paginya kita berangkat menuju kota lama Semarang dan Gereja Beledug pada pukul 7 pagi. Aku berpencar dengan teman – teman sekelompokku. Aku terus mencari momen yang bagus untuk aku foto. Di daerah kota lama ini banyak sekali pengemis dan gelandangan yang tidur - tiduran di sana, atau sekedar duduk – duduk.
Aku bertemu dengan seseorang yang ingin menyebrang jalan. Orang itu bilang kepadaku “mba, kalau mau cari foto yang bagus di sebelah sana ada rumah yang belum direnovasi dan masih kental keasliannya. Jika mba berjalan lurus ke arah sana, mba akan bertemu rel kereta api, setelah itu mba belok kiri dan tidak jauh dari sana, mba akan bertemu rumah itu”. Aku mengikuti perintah yang bapak itu kasih. Dan ternyata saat aku sampai di sana, aku sangat terkejut dan sangat berterimakasih pada bapak itu. Karena rumah yang aku temui itu masih asli, dan bagus sekali arsitekturnya jika difoto. Aku langsung mengambil gambar rumah itu, tapi aku tidak berani dekat – dekat. Karena rumah itu terlihat menyeramkan, jadi aku tidak berani mengambil gambar terlalu jauh.
Sudah hampir 2 jam aku berkeliling di daerah kota lama dan gereja Beledug ini. Aku kembali ke hotel untuk mengambil barang – barangku dan langsung berangkat lagi ke kuil Sam Po Kong. Sesampainya di kuil ini, ada sesuatu yang menarik penglihatanku yaitu ada sebuah kandang yang berisi ular sanca raksasa. Ular nya besar tetapi tidak banyak bergerak. Ular itu hanya diam melilit ke batang pohon.
Cuacanya sangat panas sekali, aku hampir tidak kuat. Aku sudah pasrah tidak mengambil gambar, karena panas yang terik sekali. Akhirnya aku hanya duduk di bawah pohon saja. Tetapi setelah duduk beberapa menit kemudian, aku baru tersadar ada seseorang yang sedang melukis kuil Sam Po Kong. Momen ini sangat bagus untuk menjadi foto jurnalistikku. Tanpa ragu – ragu aku langsung mengambil foto dan menunggu mba ini sampai selesai melukis. Setelah selesai melukis aku bertanya dan mengobrol sebentar, ternyata dia adalah seorang dosen desain arsitektur yang sedang melakukan hunting melukis di luar kampus bersama mahasiswanya. Tapi sayangnya, waktu sangat singkat sekali, aku harus melanjutkan perjalanan lagi, sehingga aku tidak bisa lama mengobrol degan pelukis itu.
Aku langsung melanjutkan perjalan ke Lawang Sewu. Perjalanan tidak lama hanya membutuhkan waktu 30 menit saja. Sesampainya di Lawang sewu, kita diajak berkeliling Lawang Sewu dengan ditemani tourguide. Bapak ini menjelaskan dengan detail sejarah Lawang Sewu pada masa penjajahan Belanda. Tidak lupa aku mencari momen foto jurnalistikku, tidak banyak yang aku dapat di Lawang Sewu ini, aku lebih banyak mengambil gambar arsitekturnya, karena memang bagus sekali arsitektur di setiap bagunan Lawang sewu ini. Bukan Cuma wisatawan lokal, ada juga wisatawan asing yang datang untuk melihat bagunan bersejarah ini.
Walaupun namanya Lawang Sewu, tetapi pintu yang ada di sini hanya 342 pintu saja. Karena masyarakat setempat menyebutnya banyak, jadi mereka sepakat untuk berkata Lawang Sewu atau seribu pintu.