Jadi Bagaimana Penggambaran Teknisnya Sebuah Tayangan Itu?
Mungkin kamu seperti saya juga yang berpikir, memang seperti apa sih teknis sebuah tayangan untuk dilakukan penyensoran. Kurang lebihnya begini, sebut saja Bibiw adalah Movie Maker, dia membawa filmnya untuk dinilai kelayakannya ke LSF dari segi tema, judul, adegan visual, dialog monolog, dan teks terjemahan. Bila film Bibiw layak, maka akan diberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan penggolongan usia, apakah: semua umur, 13-16 tahun, 17 tahun -- 20, dan 21 tahun ke atas.
Jika film Bibiw tidak layak, maka LSF akan memberikan catatan. Lalu dikembalikan lagi kepada Bibiw sebagai pemilik film baik untuk mengganti scene atau syuting ulang, memotong adegan maupun apa saja agar bisa naik tayang dan publik yang menonton tidak terdampak negatif.Â
Misalnya Bibiw nakal bagaimana, tetap menayangkan filmnya tanpa ada STLS? maka sebagaimana UU perfilman no 33 tahun 2009 dan PP 18 tahun 2014, Bibiw, bisa kena sanksi pidana 10 tahun penjara, dan denda uang 4 Milyar.
Nah, film Bibiw yang sudah tayang tersebut, tetap diawasi dan ini menjadi kewenangannya KPI. Sebab KPI mengawasi dan mengurusi tayangan yang sudah ditayangkan. Kalau belum tayang adalah urusan LSF. Sampai sini udah jelas dong?
Bagaimana, Siapkah Kamu dengan Budaya Sensor Mandiri?
Pada pembahasan sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang "ketuaan", bukan seorang ketua dalam suatu organisasi ya, tetapi ini "ketuaan" yang kalau diibaratkan adalah buah yang matang sebelum waktunya, alias matang karbitan (kata mendiang mama saya).
Apa rasa buah yang matang sebelum waktunya? Asem, sepet, gak ada manis-manisnya. Seperti itu juga dengan usia, bila usia anak-anak/remaja menonton tayangan yang bukan sesuai usianya maka dia akan menjadi matang karbitan, dan tidak pas dengan sunatullah-NYA.
Dikutip dari laman Hello Sehat, bahwa anak-anak yang menonton hal yang berbau kekerasan maka akan cenderung tumbuh menjadi anak yang kurang konsentrasi, berbahaya dan menakutkan, kurang simpatik, dan kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Nah itu baru soal kekerasan. Bagaimana dengan tayangan dewasa alias ada unsur pornografi bila dilihat oleh yang belum pantas usianya?Â
Bersumber dari laman Kompas.com bahwa berdampak negatif untuk remaja (termasuk anak-anak) yang dapat:
- merusak otak sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang baik dan buruk,
- mengganggu kestabilan emosi dan mudah lupa.
E..tapi, bila budaya sensor mandiri ini ditegakkan, lantas bagaimana dengan orang dewasa yang ingin menonton sesuai usianya? Orang dewasa punya hak juga, dong?Â