"Fenni, kamu masuk kamar ya. Sambil baca buku gih di kamar," ujar tante Ani, adik mendiang mama yang masih terngiang oleh saya kala duduk di bangku kelas 7 SMP. Beliau memegang kepingan DVD film dengan cover Kate Winslet dan Leonardo Dicaprio, yang berencana untuk nonton bareng dengan kakak dan mendiang mama, walau filmnya sudah rilis beberapa tahun.
Saat itu antara menurut dan tidak juga sih, hehe. Manut karena orangtua yang meminta, sedangkan tidak manutnya karena saya berpikir,Â
Kenapa sih harus diminta masuk kamar? Memangnya film itu saya gak boleh nonton juga? Kok beda sih waktu nonton kartun Doraemon di televisi malah saya gak diminta masuk kamar?
Mungkin karena tahu apa yang saya pikirkan, mendiang mama langsung memberikan pemahaman saat itu,Â
"Filmnya ini gak cocok buat kamu, nanti ketuaan. Jadi mendingan kamu main di kamar aja ya."
Di sisi lain, kakak memberikan saya TTS biar gak suntuk. Soalnya mau kelayapan juga gak mungkin, karena mereka nontonnya pas malam hari. Jadilah, lepas itu saya masuk kamar dan sibuk mengerjakan TTS, hingga tak terpikirkan lagi untuk penasaran dengan film yang mereka tonton.
Dari kenangan masa kecil saya, dapat ditarik benang merahnya berarti ada tontonan yang patut disaksikan oleh siapa pun, dan ada pula batasan usianya. Sehingga tidak semua tayangan itu layak. Makanya, ketika KOMiK Kompasiana mengadakan Anjangsana ke Lembaga Sensor Film (LSF) pada Kamis 30 Juni 2022 lalu, saya bersemangat untuk ikutan acaranya, karena ingin tahu tentang hal penyensoran.
Ngobrol Berwawasan di Lembaga Sensor Film
"Asik". Satu kata yang bisa saya sampaikan kala pertama kali datang ke LSF ini. Dari awal masuk gerbangnya, petugas security-nya asik menyambut hingga diantarkan ke dalam Gedung F, Lantai 6, Kompleks Kemendikbud, Jakarta Pusat. Lanjut lagi sampai acara ngobrol berwawasan di sini, dengan para narasumbernya itu ada:
- Bapak Rommy Fibri Hardiyanto, Ketua LSF
- Bapak Ervan Ismail, Wakil Ketua LSF
- Bapak Nasrullah, Komisi I -- Bidang Penyensoran, Dialog, Komunikasi dan Data.
- Ibu Tri Widyastuti Setyaningsih (akrab dipanggil Wiwid Setia), Ketua Subkomisi Penyensoran Komisi I
- Bapak Andi Muslim, Ketua Subkomisi Media Baru, Komisi I
- Ibu Roseri Rosdy Putri, Sekretaris, Komisi II Bidang Pemantauan Hukum dan Advokasi
Kenapa sih bisa berwawasan ngobrolnya?
Karena saya jadi mengetahui bahwa LSF adalah lembaga independen dengan setiap keputusan LSF itu bebas dari intervensi, dengan dasar hukumnya adalah Undang-Undang Perfilman Nomor 33 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film. Nah untuk strukturnya itu terdiri dari 17 anggota yaitu 12 unsur masyarakat dan 5 unsur pemerintah.
Tugasnya LSF mulia karena menyensor tayangan (misalnya: film, sinetron, dan iklan) yang dipertunjukkan, dan menilai serta meneliti kelayakan film agar tidak mengandung 5 hal sensitif yaitu tidak mengandung kekerasan yang sadis, tidak mengandung pornografi, tidak mengganggu ideologi Pancasila, tidak SARA dan tidak menjatuhkan harkat dan martabat seseorang.
Bila layak maka tayangan akan mendapat STLS atau Surat Tanda Lulus Sensor. Sebab, semua film, iklan, tayangan televisi harus mendapatkan STLS dari lembaga yang berwenang yaitu LSF, kecuali siaran langsung dan pemberitaan. Dengan begitu, saya dan juga kamu sebagai penonton bisa melihat tayangan yang memang sesuai umur. Bukan yang ketuaan, alias belum saatnya melihat udah nonton, kan gak asik ya.
Apaan tuh maksudnya ketuaan? Lanjut dulu baca artikelnya sampai kelar ya.
Apa Beda LSF dan BSF?
Mungkin pembaca artikel ini ada yang lebih dewasa usianya dari saya, dimana lebih familiar dengan nama BSF atau Badan Sensor Film, ketimbang LSF. Nah LSF ini sudah bergerak moving forward dari BSF artinya sudah banyak perubahan dari semenjak tahun 1992. Apalagi LSF adalah lembaga yang melihat dua pertimbangan dari perkembangan masa kini:
- Perkembangan teknologi dimana teknik penyensoran LSF sama seperti penonton bioskop pada umumnya yaitu menonton tayangannya, lalu mencatat pada menit dan detik ke berapa (bila ada) untuk disensor.
- Perkembangan demokrasi: LSF sangat memahami tentang hak kekayaan intelektual (copyright). Jadi film yang sudah mendapat catatan sensor, dikembalikan lagi kepada si pemilik film untuk mengolahnya lagi, entah itu untuk dipotong atau dikurangi adegannya, syuting ulang, atau apa saja kreasinya.
Kolaborasi Keren LSF dan KPI untuk Tayangan Sesuai Usia
Berbicara tentang tayangan, selain teringat dengan LSF maka akan terlintas pula tentang KPI atau Komisi Penyiaran Indonesia. Keduanya adalah lembaga yang berbeda, dimana KPI lahir dari UU nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sedangkan LSF berdasarkan UU nomor 33 tahun 2009 tentang Perfilman.
Begitu pula perbedaan dalam penetapan klasifikasi usia, LSF menetapkan usia 17 tahun itu dewasa, sedangkan KPI usia dewasa itu mulai dari 18 tahun. Namun, KPI dan LSF dapat saling melengkapi, agar tayangan yang kita tonton itu sesuai usia.
Ohh jadi keduanya hampir mirip ya, berarti yang urusan sensor dengan metode blur di televisi itu kerjaannya LSF atau KPI sih?Â
Jawabannya adalah bukan LSF maupun KPI. Namun dari pihak televisinya, yang turut mendukung agar tayangan bisa dikonsumsi pas dengan usianya, pasca mendapat catatan dari LSF.
Jadi Bagaimana Penggambaran Teknisnya Sebuah Tayangan Itu?
Mungkin kamu seperti saya juga yang berpikir, memang seperti apa sih teknis sebuah tayangan untuk dilakukan penyensoran. Kurang lebihnya begini, sebut saja Bibiw adalah Movie Maker, dia membawa filmnya untuk dinilai kelayakannya ke LSF dari segi tema, judul, adegan visual, dialog monolog, dan teks terjemahan. Bila film Bibiw layak, maka akan diberikan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan penggolongan usia, apakah: semua umur, 13-16 tahun, 17 tahun -- 20, dan 21 tahun ke atas.
Jika film Bibiw tidak layak, maka LSF akan memberikan catatan. Lalu dikembalikan lagi kepada Bibiw sebagai pemilik film baik untuk mengganti scene atau syuting ulang, memotong adegan maupun apa saja agar bisa naik tayang dan publik yang menonton tidak terdampak negatif.Â
Misalnya Bibiw nakal bagaimana, tetap menayangkan filmnya tanpa ada STLS? maka sebagaimana UU perfilman no 33 tahun 2009 dan PP 18 tahun 2014, Bibiw, bisa kena sanksi pidana 10 tahun penjara, dan denda uang 4 Milyar.
Nah, film Bibiw yang sudah tayang tersebut, tetap diawasi dan ini menjadi kewenangannya KPI. Sebab KPI mengawasi dan mengurusi tayangan yang sudah ditayangkan. Kalau belum tayang adalah urusan LSF. Sampai sini udah jelas dong?
Bagaimana, Siapkah Kamu dengan Budaya Sensor Mandiri?
Pada pembahasan sebelumnya, saya sempat menyinggung tentang "ketuaan", bukan seorang ketua dalam suatu organisasi ya, tetapi ini "ketuaan" yang kalau diibaratkan adalah buah yang matang sebelum waktunya, alias matang karbitan (kata mendiang mama saya).
Apa rasa buah yang matang sebelum waktunya? Asem, sepet, gak ada manis-manisnya. Seperti itu juga dengan usia, bila usia anak-anak/remaja menonton tayangan yang bukan sesuai usianya maka dia akan menjadi matang karbitan, dan tidak pas dengan sunatullah-NYA.
Dikutip dari laman Hello Sehat, bahwa anak-anak yang menonton hal yang berbau kekerasan maka akan cenderung tumbuh menjadi anak yang kurang konsentrasi, berbahaya dan menakutkan, kurang simpatik, dan kurang peduli dengan lingkungan sekitar. Nah itu baru soal kekerasan. Bagaimana dengan tayangan dewasa alias ada unsur pornografi bila dilihat oleh yang belum pantas usianya?Â
Bersumber dari laman Kompas.com bahwa berdampak negatif untuk remaja (termasuk anak-anak) yang dapat:
- merusak otak sehingga tidak lagi bisa membedakan mana yang baik dan buruk,
- mengganggu kestabilan emosi dan mudah lupa.
E..tapi, bila budaya sensor mandiri ini ditegakkan, lantas bagaimana dengan orang dewasa yang ingin menonton sesuai usianya? Orang dewasa punya hak juga, dong?Â
Mungkin bisa disesuaikan waktunya ketika anak/remaja sedang ada kesibukan sehingga mereka bisa fokus ke hal lain. Jika menontonnya di bioskop maka lihat dulu trailer-nya, lalu perhatikan kode batasan usia sebelum menonton bukan hanya memerhatikan judul dan nama cast-nya saja, agar tidak kebablasan bawa anak kecil sambil antre beli tiket, eh dibawa masuk pula ikut nonton yang jadinya pada teriak dan menangis, atau disuruh tutup mata saat melihat adegan yang belum pantas untuk mereka lihat maupun dengar.
Oleh karenanya LSF bersama-sama masyarakat berperan untuk mencerdaskan anak bangsa, mensejahterakan masyarakat Indonesia, terjaganya NKRI dan ideologi Pancasila, tidak ada yang terlecehkan, agama harmonis, serta berakhlakul karimah. Sebab kita pun bertanggung jawab dan akan berpengaruh pada masa depan generasi penerus nantinya.
Ketika saya beranjak remaja, bersyukur karena sudah diterapkan budaya sensor mandiri dari keluarga. Selain itu juga, alhamdulillah-nya punya teman-teman dan lingkungan yang mendukung agar sesuai dengan usia dalam melakukan apapun. Dan kini, menjadi tugas saya untuk meneruskan budaya sensor mandiri mengingat ada keponakan saya yang dalam masa usia emas.
Apalagi sudah sangat dengan mudahnya kita menemukan tayangan tidak hanya melalui bioskop, televisi, maupun DVD saja, tetapi juga layanan streaming. Maka sebisa mungkin untuk menegakkan budaya sensor mandiri, dengan kitanya sendiri berperan dapat memilah dan memilih tayangan yang bermanfaat untuk lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Â Bagaimana apa kamu juga siap dengan budaya sensor mandiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H