Mohon tunggu...
Fendy Sa is Nayogi
Fendy Sa is Nayogi Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Aktif menulis di status WA dan feed Instagram. Menyukai topik tentang sosial, lingkungan hidup dan pertanian. Memiliki hobi membaca, jalan kaki dan sekedar mendengarkan diskusi melalui YouTube. Cangkru'an juga saya jadikan media menguji pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Folklor Jangan Dilupakan, Sebagai Media Membentuk Karakter Bangsa

27 September 2020   00:37 Diperbarui: 27 September 2020   00:51 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejak dahulu, yang diinformasikan bahwa Indonesia terkenal dengan keramahannya. Banyak negara yang mengakui bahkan wisatawan-wisatawan yang datang ke Indonesia dan pulang ke negaranya mengaku senang berkunjung ke Indonesia karena keramahan masyarakatnya. 

Dan itu dulu, sepertinya pada saat ini kita tidak menemui itu, bahkan saya sendiri tidak sepakat bahwa Indonesia terkenal dengan keramahannya.

Pada saat dulu mungkin untuk membuktikan bahwa Indonesia memiliki keramahan yang luar biasa dapat digambarkan pada situasi sejarah VOC yang dapat diterima di Nusantara sebagai pedagang dan berlangsung selama ratusan tahun, bahkan seandainya tidak terjadi penindasan mungkin masyarakat Nusantara pada saat itu tidak akan melakukan perlawanan.

Saat sekarang, hal tersebut tidak ditemukan bahkan kasus terakhir di Bali wisatawan yang di tilang 1 juta oleh oknum penindak hukum Indonesia dengan alasan tidak memiliki surat-surat lengkap pada kendaraannya. Bagi saya, contoh tersebut sudah cukup mengindikasikan bahwa karakter bangsa kita mulai terkikis.

Tentunya, ada penyebabnya dari pengikisan karakter bangsa ini, salah satu yang sarat adalah kemajuan teknologi di era globalisasi ini. Mengapa? Karena mau tidak mau dan bisa tidak bisa nilai-nilai sosial dan agama perlu usaha besar untuk masuk menjadi prinsip pribadi bangsa yang bersaing dengan mudahnya informasi digital di Internet.  

Selain tidak melupakan sejarah, bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki karakter. Lalu, bagaiamana karakter bangsa Indonesia? Untuk melihat ini, perlu kita melihat kebelakang melihat artefak-artefak yang usang menjadi cerita, dongeng atau hanya tampak di film-film yang mengangkat nilai bangsa Indonesia.

Bukan menjadi informasi tertutup lagi bahwa gotong royong, berkebudayaan tinggi, nasionalisme, patriotisme dan tata krama serta sopan santun melekat pada bangsa Indonesia.

Tentunya kita pernah melihat atau bahkan melakukan ini pada dahulu, di desa-desa ketika ingin membangun kandang, mushollah atau memperbaiki jalan tidak lah perlu waktu lama hanya mengandalkan masyarakat sekitar pekerjaan itupun cepat diselesaikan penuh kebahagiaan dan kekompakan.

Ketika 17 Agustus perayaan hari kemerdekaan pun disambut dengan meriah tidak melupakan esensi perjuangan tentunya, namun masyarakat cukup andil dalam meramaikan itu.

Bukan juga korona menjadi penghalang, melihat kasus terbaru ibu-ibu menggunting bahkan membakar bendera merah putih, bendera sebagai wujud juang dan kesucian mengambarkan bagaiamana keikhlasan pahlawan kita berjuang pun dilecehkan.

Harus bagaimana kah sekarang, tentunya bukan hanya urusan pemerintah Indonesia, kita sebagai anak bangsa pun tentunya perlu ambil andil dan menyadari pengikisan karakter bangsa, mengembangkan dan tidak meninggalkan tradisi berbentuk foklor misalnya.

Penanaman karakter suku, budaya dan Nusantara melalui foklor terbentuk sejak dulu, pada suku Jawa yang pendidikan karakter melalui pitutur atau lisan teraplikasikan dengan wujud puisi, pantun, pribahasa, mitos, dongeng dll.

Begitupun juga dengan suku yang lain, misalnya pada suku Minangkabau tradisi lisan yang terkenal dengan ucapan "dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung" akan mempengaruhi tingkah laku, prinsip dan pemikiran masyarakat Minangkabau. Sehingga, nilai-nilai kebudayaan, tradisi dan prinsip terproyeksi dengan adanya foklor tersebut.

Tidak hanya itu, produk wayang dengan jalan cerita yang memberikan contoh atau timbal balik kehidupan, atau produk dongeng dan legenda yang memiliki nilai pendidikan karakter tinggi sangat mempengaruhi tindak laku masyarakat lokal atau secara umum Nusantara sebagai masyakarat yang berkarakter.

Foklor dengan produk legenda misalnya, di Nusantara yang terkenal adalah cerita Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena tidak mengakui, dari sisi moral Malin Kundang tergolong durhaka.

Tentunya, untuk menjelaskan atau mendidik secara gamblang dengan mudah mengatakan "tidak boleh durhaka kepada orang tua" akan sulit diterima oleh individu pribadi, dengan contoh legenda Malin Kundang tersebut cukup komplit dengan menggandeng situasi, kondisi, sebab dan akibat dengan narasi cerita yang mengambarkan situasi dapat diterima dan dimengerti oleh individu mengapa dan harus bagaimana ketika berhubungan dengan orang tua.

Sehingga yang terjadi terhadap individu memiliki pemahaman tentang pentingnya menghormati, mencintai, dan memperlakukan orang tua dari sudut pandang budaya di Nusantara/ Indonesia.

Secara agama pun, baik agama yang di akui atau keyakinan di Indonesia memiliki kesepakatan bahwa dalam orang tua adalah sosok yang perlu kita lindungi. Sehingga, legenda tersebut tidak merusak atau mengganggu nilai-nilai budaya, agama maupun sosial.

Lalu, bagaimana yang terjadi sekarang terhadap peran foklor di Nusantara? Yang terjadi sekarang menurut hemat saya, diskusi tentang foklor semua bentuk produknya di kritisi dengan sudut pandang logika sedangkan urgensi foklor sendiri terdapat pada nilai ataupun esensinya. Misal, legenda Malin Kundang ketika diceritakan yang dicari adalah bukti fisik terjadinya Malin Kundang.

Atau mitos "himbauan tidak boleh duduk di depan pintu dengan alasan suami atau istrinya bakalan jelek" secara logika tidak masuk akal memang, tentunya ada nilai yang ingin disampaikan dari mitos tersebut. Banyak sumber yang menjelaskan tentang makna dan tujuan mitos tersebut kenapa di gunakan orang tua-tua kita dijaman dahulu.

Seharusnya, tidak penting ada atau terjadi dan tidaknya legenda Malin Kundang atau mitos Tidak boleh duduk di depan pintu bukanlah pada logikanya tapi maknanya. Perlakuan kritik terhadap produk foklor tersebut saya rasa sebagai wujud atau manisfesto dari kemajuan jaman atau era globalisasi.

Dampaknya, saat ini untuk menyampaikan nilai budaya, sosial dan agama perlu orang khusus karena butuh dalil atau landasan yang dapat dipertanggung jawabkan ketika ditanya. Sehingga generasi saat ini, mendapat keterbatasan penanaman nilai budaya, sosial dan agama. Tentunya, hal tersebut mempengaruhi tindak perilaku individu pada saat ini.

Era sekarang, cukup sulit mencari tokoh yang memiliki karakter yang menjunjung nilai sosial, budaya dan agama. Begitu banyak tokoh masyarakat yang melanggar nilai sosial, budaya dan agama. Belum lagi tokoh atau artis media sosial, artis media konvensional atau tokoh pimpinan kepemerintahan.

Dengan alasan apapun perlu memang kesadaran diri terhadap posisi dengan tindak laku mereka. Tentu kita banyak melihat di media sosial misalnya, banyak tergambarkan karakter yang jauh sekali dengan gambaran karakter Nusantara.

Tidak perlu saya ambilkan contohnya, saya rasa keresahan itu perlu kita perhatikan bersama dan menjaga orang-orang sekitar kita atau minimal diri kita sendiri sebagai masyakarat yang berkarakter sesuai nilai-nilai sosial, budaya dan agama masing-masing. Tentunya kita kenal dengan sosok dengan karakter kuat di Indonesia.

Presiden pertama kita Soekarno, sebagai orang yang tumbuh di lingkungan Jawa dengan pemikiran maju dan memiliki peran penting bagi masyarakat Nusantara/Indonesia pada masa itu cukup menggambarkan karakter bangsa pada dirinya.

Tersorot dari beberapa kutipan biografi beliau tentang bagaimana saling bertukar rokok dengan pimpinan negara lain, atau memilih menggunakan tangan ketika makan saat bersama beberapa pimpinan negara lain, dan ber-orasi di hadapan rakyat Indonesia pada masa itu tentunya tidak langsung terbentuk secara langsung.

Peran besar terjadi begitu karena orang tuanya baik orang tua ideologis maupun biologis ditambah dengan literasi beliau yang bagus, sehingga mampu membentuk karakter presiden pertama kita sebagai sosok yang memiliki karakter yang kuat.

Pendidikan karakter di Indonesia kian kini semakin menurun, bukti dari itu kita berkaca pada diri sendiri, tindak laku kita terhadap sosial kita, budaya kita atau bahkan agama dan negara kita. Secara spesifik, kasus penganiayaan terhadap orang tua, pelecehan guru terhadap murit, pelecehan terhadap sesama teman atau hal lain semakin beragam.

Bukan masalah sepele dengan kita menganggap hal tersebut dengan kejadian biasa atau normal. Penanaman nilai-nilai sosial, budaya dan agama melalui foklor perlu kita galak-kan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya terhadap dunia pendidikan di Indonesia bahwa pendidikan karakter saat ini dapat dikatakan gagal.

Tantangan saat ini pun dengan berlangsungnya proses belajar secara online dapat menghambat berjalanya pendidikan karakter. Perlu dipikir dengan banyak orang untuk menentukan model pendidikan era modern ini supaya karakter penerus bangsa terjaga.

Mengandalkan orang tua dirumah tentunya sama artinya memaksa orang tua untuk banyak belajar, sedangkan orang tua siswa merupakan konsumen dari produk foklor masa lalu.

Perlu dukungan segala pihak dari media, praktisi bahkan pemerintah untuk menentukan sikap, langkah dan aplikasinya, karena disamakan fungsi pemerintah salah satunya. Sehingga kita tidak kehilangan karakter bangsa yang bermartabat ini.

Aktivis, pembahasan dan kajian tentang pendidikan karakter di Indonesia sangatlah banyak dan aktif mengadakan upaya-upaya penekanan terkikisnya karakter bangsa Indonesia. Baik secara kelompok maupun gerakan sosial individu. Secara langsung maupun tidak langsung melalui tulisan, novel, cerpen, puisi, film dll.

Sebagai pembaca tulisan ini, saya pribadi dan pembaca untuk mendiskusikan di kolom komentar dibawah tentang keresahan karakter bangsa ini. Secara tidak langsung, kesadaran saya tentang terkikisnya nilai karakter kita sebagai masyarakat Nusantara dari buku, diskusi dan pengamatan di sekitar saya.

Sebagai wujudnya selain berfikir lalu mengaplikasikan kepada lingkungan sekitar saya berharap juga pembaca tulisan saya sadar dan dengan kreatif mencari jalan keluar, minimal ada usaha membentuk, menanamkan nilai-nilai prinsip sosial, budaya dan agama pada lingkungan sekitar. Lebih sempit lagi, pada diri sendiri dan keluarga.

Apakah kita akan kehilangan kekayaan kita lagi? Saya rasa cukup kita kehilangannya sumber daya alam. Kekayaan emosional tentunya jangan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun