Penanaman karakter suku, budaya dan Nusantara melalui foklor terbentuk sejak dulu, pada suku Jawa yang pendidikan karakter melalui pitutur atau lisan teraplikasikan dengan wujud puisi, pantun, pribahasa, mitos, dongeng dll.
Begitupun juga dengan suku yang lain, misalnya pada suku Minangkabau tradisi lisan yang terkenal dengan ucapan "dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung" akan mempengaruhi tingkah laku, prinsip dan pemikiran masyarakat Minangkabau. Sehingga, nilai-nilai kebudayaan, tradisi dan prinsip terproyeksi dengan adanya foklor tersebut.
Tidak hanya itu, produk wayang dengan jalan cerita yang memberikan contoh atau timbal balik kehidupan, atau produk dongeng dan legenda yang memiliki nilai pendidikan karakter tinggi sangat mempengaruhi tindak laku masyarakat lokal atau secara umum Nusantara sebagai masyakarat yang berkarakter.
Foklor dengan produk legenda misalnya, di Nusantara yang terkenal adalah cerita Malin Kundang yang dikutuk oleh ibunya karena tidak mengakui, dari sisi moral Malin Kundang tergolong durhaka.
Tentunya, untuk menjelaskan atau mendidik secara gamblang dengan mudah mengatakan "tidak boleh durhaka kepada orang tua" akan sulit diterima oleh individu pribadi, dengan contoh legenda Malin Kundang tersebut cukup komplit dengan menggandeng situasi, kondisi, sebab dan akibat dengan narasi cerita yang mengambarkan situasi dapat diterima dan dimengerti oleh individu mengapa dan harus bagaimana ketika berhubungan dengan orang tua.
Sehingga yang terjadi terhadap individu memiliki pemahaman tentang pentingnya menghormati, mencintai, dan memperlakukan orang tua dari sudut pandang budaya di Nusantara/ Indonesia.
Secara agama pun, baik agama yang di akui atau keyakinan di Indonesia memiliki kesepakatan bahwa dalam orang tua adalah sosok yang perlu kita lindungi. Sehingga, legenda tersebut tidak merusak atau mengganggu nilai-nilai budaya, agama maupun sosial.
Lalu, bagaimana yang terjadi sekarang terhadap peran foklor di Nusantara? Yang terjadi sekarang menurut hemat saya, diskusi tentang foklor semua bentuk produknya di kritisi dengan sudut pandang logika sedangkan urgensi foklor sendiri terdapat pada nilai ataupun esensinya. Misal, legenda Malin Kundang ketika diceritakan yang dicari adalah bukti fisik terjadinya Malin Kundang.
Atau mitos "himbauan tidak boleh duduk di depan pintu dengan alasan suami atau istrinya bakalan jelek" secara logika tidak masuk akal memang, tentunya ada nilai yang ingin disampaikan dari mitos tersebut. Banyak sumber yang menjelaskan tentang makna dan tujuan mitos tersebut kenapa di gunakan orang tua-tua kita dijaman dahulu.
Seharusnya, tidak penting ada atau terjadi dan tidaknya legenda Malin Kundang atau mitos Tidak boleh duduk di depan pintu bukanlah pada logikanya tapi maknanya. Perlakuan kritik terhadap produk foklor tersebut saya rasa sebagai wujud atau manisfesto dari kemajuan jaman atau era globalisasi.
Dampaknya, saat ini untuk menyampaikan nilai budaya, sosial dan agama perlu orang khusus karena butuh dalil atau landasan yang dapat dipertanggung jawabkan ketika ditanya. Sehingga generasi saat ini, mendapat keterbatasan penanaman nilai budaya, sosial dan agama. Tentunya, hal tersebut mempengaruhi tindak perilaku individu pada saat ini.