Saya mendapat kabar bahwa begitu Los Alamos tutup, penyimpanan data sequencing-nya dipindahkan ke 2 tempat. Yaitu ke GISAID dan sebagian ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat, di Pentagon. Tentu saja virus-virus H5N1 kita juga berada disana. Hampir semua pegawai dan peneliti dari Los Alamos ditampung di BHS Pentagon. Artinya permainan masihΒ diteruskan sampai saat ini, meskipun namanya dan keberadaannya berganti (Supari, 19:2008).
Bencana inter-nasional
Masyarakat Β meyakini bahwa awal mula penyebaran virus Covid-19 bermula pada akhir 2019 ketika seseorang terjangkit virus corona dari hewan yang diperdagangkan di pasar seafood Huanan, kota Wuhan, provinsi Hubei, China.
Bencana tersebut menggemparkan dunia. Berjibun narasi media memberitakan terkait dampak virus COVID-19 yang cukup mengerikan. Mulai dari seseorang yang tiba-tiba ambruk ketika berdiri. Hingga penuhnya fasilitas kesehatan yang di penuhi penderita COVID-19. Narasi tersebut selalu terpelihara hingga membuat kepanikan dan ketakutan masyarakat. Mulai memborong vitamin C hingga membeli ratusan kotak masker. Naiknya harga vitamin C cukup menggila. Hal tersebut dipengaruhi dengan kepanikan yang tercipta di masyarakat.
Ketakutan akan bencana COVID-19 pun juga ditanggapi serius oleh pemerintah. Upaya baik yang dilakukan pemerintah mulai dibuat. Mulai dari Lockdown total hingga PSBB. Peraturan dibuat untuk melindungi masyarakat agar tidak terpapar virus COVID-19. Peraturan yang memiliki konsekuensi yang beragam. Mulai dari kurungan penjara dan sanksi sosial.
Seyogyanya, peraturan dibuat memiliki latar belakang yang terukur. Terukur secara keilmuan. Memiliki indikator yang jelas untuk menentukan seberapa efektif kebijakan tersebut dibuat. Sehingga, PSBB bisa dipertangung jawabkan. Adanya ketentuan larangan melakukan aktivitas di waktu tertentu merupakan salah satunya. Larangan melakukan aktivitas diwaktu tertentu dan diperbolehkan selain diwaktu tersebut sangat bertentangan dengan dasar teori tentang penyebaran virus. Mengingat virus tidak mengenal waktu tertentu ketika menyebar secara sporadis.
Momentum Politik yang Terencana
Migrasi dan mobilisasi manusia diseluruh dunia menjadi salah satu penyebab yang mendukung penyebaran virus lebih sporadis. Sejumlah negara segera melakukan tindakan preventif untuk menanggulangi virus tersebut. Sebagian justru oknum pejabat melemparkan candaan virus tersebut ke publik.
Beberapa negara, warganya menunjukkan sikap kooperatif terhadap protokol yang ditetapkan pemerintah. Di sebagian lainnya malah memanfaatkan momentum tersebut untuk kepentingan politik, menyerang pihak yang berseberangan.
Kemanusiaan kita diuji oleh virus ini (COVID-19). Virus ini menghadirkan dua hal sekaligus: kecemasan yang memunculkan solidaritas dan kepanikan yang memantik egoisme. Sebagian memilih menunjukkan dukungan untuk korban dan tenaga medis, sebagian memborong bahan makanan dan masker serta hand sanitizer,(Wirawan:2020).
The United States will be powerfully supporting those industries, like Airlines and others, that are particularly affected by the Chinese Virus. We will be stronger than ever before!,(Trump, 2020).
Pengucapan Chinese Virus yang disampaikan oleh Presiden Negara adidaya ini memicu kontroversi terhadap situasi saat ini. Terkesan sembrono dalam menyampaikan pernyataan tersebut. Sehingga, memicu ketegangan dengan Negara Cina yang melalui Juru bicara kementerian luar negeri (Kemenlu) China Zhao Lijian mengklaim bahwa militer Amerika Serikat membawa virus korona atau Covid-19 ke Kota Wuhan, (Utomo:2020).
Pada jurnal Virology yang berjudul Two-amino acids change in the nsp4 of SARS coronavirus abolishes viralΒ yang ditulis oleh Yusuke Sakai d.k.k menyampaikan bahwa kunci dariΒ Corona Virus adalah pada asam amino nya. Jika ingin membuat Corona Virus lemah adalah menghilangkan asam aminonya. Jika ingin membuat Corona VirusΒ menjadi lebih ganas adalah tambahkan asam aminonya.
Masyarakat awam lagi-lagi dipaksa untuk berpikir keras bahwa Covid-19 atau popular dengan nama Corona adalah virus politik. Virus yang "sengaja dibuat" untuk kepentingan dan agenda tertentu. Ekonomi terancam hancur, dan virus ini merepresentasikan pertarungan politik global antara negara-negara maju dan sudah tentu penontonya adalah negara berkembang yang bersiap dan rela menerima dampaknya.
Representasi pertarungan politik global antara negara-negara maju memang bukan isapan jempol. Pertarungan politik yang diperlihatkan saat ini yakni berupa kecanggihan teknologi dan aplikasi ilmu pengetahuan secara modern, seperti menggunakan kecanggihan agen biologi,(Bakrie, 2007). Kecenderungan pemakaian senjata biologi akan merebak di masa mendatang dan berpotensi besar akan digunakan sebagai alat untuk meneror (bioterrorism).
Pemakaian senjata biologi memiliki tujuan destroying and treat. Akibat yang ditimbulkan dari senjata biologi ini destroying (menghancurkan). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan peristiwa di amerika serikat dengan modus pengiriman surat yang diisi oleh spora bakteri Bacillus anthracis. Kasus di Amerika itu telah memakan beberapa orang korban tewas, (Witarto, 2002). Atau mungkin di peristiwa lain ketika penggunaan senjata biologis oleh tentara Jepang dalam perang dunia ke-2 di Cina,Β (Witarto, 2002). Bahkan pemakaian senjata biologis itu pun juga dipakai untuk hewan dan tumbuhan pada tahun 1952 yang terjadi pembunuhan 33 ekor sapi dengan toksin African milk bush di Kenya.
Dalam perang Vietnam pun, amerika serikat telah menggunakan agent orange yang mengakibatkan pertanian rusak dan penduduk cacat sampai generasi ketiga. Arab Revolutionary Council meracuni jeruk Israel dengan merkuri dan mengakibatkan ekspor jeruk mengalami penurunan 40%. Israel pun juga tak mau kalah, Negara bersimbol bintang david itu pun juga menyemprotkan pestisida pada tanaman anggur di dua desa yang merusak 17 ribu mtrik ton anggur,(Bakrie, 2007).
Selanjutnya adalah treat (memberi vaksin). Vaksin merupakan upaya bersama atau kelompok tertentu yang bertujuan mencegah sebelum datangnya virus atau mengobati ketika virus telah menyerang. Misalnya saja yang pernah dialami Indonesia beberapa tahun silam;
Saya mempunyai pengalaman yang sangat menyedihkan perkara biological weapon ini, Mr. Lange. Di Indonesia, virus cacar (smallpox virus) pertama kali ditemukan oleh dr. Otten, orang Belanda yang bekerja di Lab Eijkman, Indonesia sekian puluh tahun lalu. Dan Biofarma Indonesia mampu membuat vaksin cacar. Maka pada tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar. Pada tahun 1978, WHO menganjurkan kepada semua negara agar memusnahkan
virus cacar bila memilikinya. Tentu saja Biofarma segera mengindahkan perintah WHO. Maka dimusnahkanlah virus tersebut. Sejak saat itu Indonesia tidak memiliki virus smallpox lagi. Artinya tidak mampu memproduksi vaksin smallpox lagi. Namun pada tahun 2005, WHO mengumumkan tentang pentingnya bagi seluruh negara di dunia untuk memiliki vaksin (tentu saja harus membeli dengan harga mahal). Vaksinnya ternyata sudah diproduksi oleh Negara maju, karena dikhawatirkan ada senjata biologi yang dibuat dari virus smallpox. (Supari, 120:2008)
Indonesia melaksanakan instruksi yang diperintahkan WHO yakni memusnahkan Virus (cacar) tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa motif dari WHO yang memberikan instruksi untuk menghilangkan Virus (cacar) tersebut yang pada akhirnya ia (WHO) mengumumkan kembali bahwa pentingnya memiliki vaksin?. Dilain sisi vaksin tersebut (virus cacar) telah diproduksi oleh negara-negara maju. Agenda tertentu mungkin bisa terjadi dibalik sikap inkosistensi WHO atas sikapnya tersebut.
Pengalaman ini membuat saya berpikir. Pertama; negara yang membuat vaksin pasti mempunyai virusnya. Kenapa bisa menyimpan virus, padahal sudah dilarang oleh WHO. Kedua; siapa yang membuat biological weapon? Ya pasti negara yang memiliki virus juga. Hal inilah yang sangat menakutkan saya pada saat saya mendengar, bahwa data sequencing DNA virus H5N1 strain Indonesia di suatu laboratorium bukan di bawah kepentingan kesehatan, (Supari, 120:2008)
Kekhawatiran adanya senjata biologi merupakan bentuk penyangkalan yang tidak bisa dibenarkan atau bisa jadi hal tersebut hanya dijadikan alasan untuk mewujudkan agenda yang lebih besar yakni menguasai Virus, mengembangkan Virus dan menggunakan Virus tersebut secara masif dan terstruktur.
Salah satu tuntutan saya terhadap WHO untuk mendapatkan virus yang pernah saya kirim ke WHO akan bisa diselesaikan oleh Peter tanpa MTA. (Dalam hati saya pendekatan macam apa lagi ini). Saya tidak peduli. Bahkan saya katakan padanya bagaimana mungkin virus orang kok direkayasa dengan teknologi Medimmune, terus menjadi milik Medimmune? Dia mengatakan karena teknologi Medimmune-lah yg menjadikan wild virus strain Indonesia menjadi seed virus strain Indonesia. Dan teknologi itu sudah dipatenkan sehingga seed virus-nya menjadi milik Medimmune, (Supari, 116:2008)
Medimmune merupakan perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat. Melalui perusahaan tersebut seluruh jenis virus yang dirampas akan diolah dengan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan Bioteknologi asal Amerika tersebut. Pengolahannya tentu tidak akan diketahui oleh negara pengirim virus. Virus tersebut hendak diolah dan dicari vaksinnya ataukah virus tersebut dikembangkan dilaboratorium yang bertujuan untuk biological weapon?.
Berdasarkan undang-undang 1945 yang bertuliskan bahwa ikut melaksanakan ketertiban, keamanan dan kedamaian dunia maka mengetahui hal yang sifatnya ancaman harus segera ditanggapi dengan upaya yang responsif. Hal-hal yang sifatnya ancaman dan membuat kegaduhan seharusnya disikapi dengan tindakan yang represif agar tetap terpelihara kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan bernegara yang tentu sesuai dengan pasal Undang-Undang Republik Indonesia no 6 tahun 1998 Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya.
Motif menghancurkan (Destroying) dan mengobati (Treat) yang diakibatkan virus COVID-19 saat ini pun telah dialami masyarakat umum. Menghancurkan interaksi sosial secara perlahan dan menghancurkan ketentraman. Mengobati? masih belum sampai pada motif tersebut. Karena mengobati (Treat) bukan hanya sekedar memberi vaksin dan pasien sembuh, tidak sesederhana itu; bahkan lebih dari itu.
Imbas terhadap masyarakat
Kondisi saat pandemik seperti ini tentu menimbulkan kepanikan dan ketakutan tersendiri. Kepanikan akan terpaparnya dengan virus COVID-19 tersebut. Kepanikan yang dirasakan masyarakat bukan tanpa sebab. Mereka (masyarakat) lebih banyak mendapatkan informasi yang parsial tidak menyeluruh. Informasi bersifat parsial justru membahayakan bagi penerima informasi maupun penyampai informasi. Justifikasi yang tidak mendasar menyebabkan konflik sosial, jika hal tersebut tidak diimbangi penyampaian berita menyeluruh maka yang terjadi adalah disorientasi. Disorientasi akan terjadi jika masyarakat tidak kritis terhadap situasi yang timbul. Analisis yang gagap terhadap media penyedia informasi tentu menjadi dalang utama, ditambah dengan media massa yang cenderung hiperbola dalam menyampaikan berita dan menciptakan paranoid tersendiri adalah setali tiga uang disaat kondisi saat ini.Β
Mayoritas headline media massa mencantumkan kata "kematian" yang selalu disertakan dengan COVID-19. Kebiasaan masyarakat umum tak terlepas dari media massa yang tersedia bebas di gawai tentu menjadi ladang basah untuk menyampaikan berita. Alih-alih menyampaikan berita yang mengedukasi jusru malah membodohi masyarakat umum. Sudut pandang dan cara berpikir masyarakat tentu terpengaruh akan hal tersebut. Sehingga hantam kromo semua hal yang berkaitan dengan COVID-19 akan mati. Sebenarnya tidak sesederhana itu. Perlu analisis mendalam dan kritis terhadap situasi yang terjadi, misalnya Perawat meninggal dunia tangani pasien COVID-19. Rumusan masalah yang muncul adalah bagaimana perawat meninggal dunia tangani pasien COVID-19?. Hal tersebut tidak dapat dipastikan bahwa perawat tersebut meninggal akibat terpapar virus COVID-19 ataukah sebab lain.
Bisa jadi perawat tersebut meninggal akibat kelelahan yang melanda fisik sehingga menyebabkan tubuh lemas dan berakibat kematian atau mungkin perawat tersebut meninggal akibat human eror (kecelakaan kerja) yang ia lakukan sendiri tanpa sengaja sebelum menangani pasien COVID-19. Namun, konsep kritis tidak akan pernah muncul karena lebih dulu diracuni oleh headline berita yang sedikit nakal. Fenomena lainnya adalah penyemprotan cairan desinfektan langsung ke tubuh manusia.
Alih-alih membunuh virus COVID-19 justru tidak melihat dampak jangka panjang yang terjadi terhadap tubuh yang terpapar cairan kimia tersebut. Salah satu artikel yang disediakan oleh farmasi Universitas Gajah Mada bahwa desinfektan diperuntukkan pada benda mati (perabotan, lantai, lemari, permukaan meja, gagang pintu, dll) dan tidak dikenakan langsung pada manusia. Kemudian sisa disinfektan yang ada di tanah maupun air, akan dapat terserap oleh tanaman dan mengikuti rantai makanan yaitu ke hewan kecil pemakan tanaman, hewan besar dan ke manusia.
Bila disinfektan ini mampu berikatan dengan lemak pada tubuh pemangsanya, maka akan terjadi penumpukan dalam tubuh. Lantas yang terjadi saat ini dimasyarakat adalah fenomena gagap informasi menyebabkan bahaya baru jangka panjang yang disebabkan oleh penyemprotan desinfektan tidak terukur dan sporadis. Fenomena lain yang terbaru adalah otoritas karismatik. Meminjam istilah yang dipakai oleh Max Webber yakni
when the legitimacy of an old historical structure is exhausted, a charismatic leader emerges...and with his followers take over and build a new structure (based on charismatic authority) on the ruins of the old one.
Saat ini sadar atau tidak upaya penyampaian secara tersurat oleh pemerintah kepada masyarakat sangatlah masif, sehingga tercipta lakuran atau tagar "#dirumahaja". Bahkan, upaya Pembatasan Sosial Bersekala Besar atau PSBB yang disertai poster besar yang bertuliskan tagar tersebut menyertai disetiap pos pemeriksaan atau pos penjagaan di batas wilayah. Namun, sangatlah disayangkan ketika pelaksanaan tugas tersebut beberapa petugas terpantau melakukan penjagaan malam tanpa menggunakan alat pelindung diri bahkan segelas kopi berlima ketika menjaga dibeberapa batas wilayah. Sebagai masyarakat yang kritis, seyogyanya kita perlu memahami hal yang sangat bertentangan ini.
Bencana atau rencana
Rasa pesimis cukup terlihat mayoritas masyarakat satahun ini. Informasi yang diberikan oleh pihak yang berpentingan kepada masyarakat umum cukup sporadis. Informasi tersebut selalu berisikan bahaya yang luar biasa dan berdampak sistemik. Sehingga, logika masyarakat menganggap bencana COVID-19 ini merupakan aib. Aib yang melekat pada seseorang atau anggota kkeluarga tertentu yang terpapar positif COVID. Pelabelan terhadap keluarga yang sedang terkena COVID, bahkan sampai sembuh pun pelabelan tetap ada.
Pelabelan terhadap keluarga yang pernah terpapar bukan tanpa sebab. Stigma yang lahir dari narasi-narasi media yang brengsek memiliki andil akan pelabelan tersebut. Nilai-nilai kemanusiaan dibabat habis dengan stigma liar di kalangan masyarakat. Mulai dari budaya silaturahmi yang sudah perlahan hilang akibat dari narasi yang tidak bertanggung jawab. Dunia pendidikan pun juga demikian. Sekolah selalu gagal melaksanakan tatap muka. Ketika mengawali kegiatan tatap muka, selalu saja ada kasus-kasus baru varian COVID-19 yang bernarasi yang lebih menakutkan. Pola ini selalu ada setiap kali memulai aktivitas belajar tatap muka. Β
Ditambah lagi dengan kebijakan atau moratorium pemerintah yang terkesan diskriminasi kepada masyarakat. Pemerintah berupaya untuk menjaga masyarakat agar terhindar dari COVID-19 yang merebak cukup parah. Upaya tersebut tentu diikuti dengan peraturan yang mengikat dan harus dilaksanakan sebagai warga negara yang baik. Namun, hal tersebut justru tidak sejalan dengan aktivitas beberapa oknum pejabat pemerintahan. Banyak sekali kegiatan yang justru menabrak peraturan yang dibuat sendiri. Krisis ketauladanan diperlihatkan oleh para pejabat pemerintahan dapat memicu perdebatan di kalangan masyarakat. Ketika masyarakat melakukan kegiatan dan terindikasi bertentangan dengan peraturan yang ditetapkan pemerintah maka ada konsekuensi tersendiri. Namun, jika dari pemerintah tersebut yang bertentangan dengan peraturan; apakah ada konsekuensi yang diterima oleh oknum pejabat tersebut?.
Pola yang beraturan selalu terjadi. Ketika momentum idul fitri, budaya silaturahmi ke anggota keluarga dibatasi. Namun, setelahnya apakah menjamin keluarga tersebut tidak Β melakukan kunjungan keluarga diluar waktu Idul Fitri?. Peraturan seharusnya dilaksanakan secara menyeluruh tidak parsial. Seyogyanya juga diikuti dengan upaya pemerintah yang juga mendukung peraturan yang telah dibuatnya. Bukan malah merayakan ulang tahun di saat kondisi negara yang disibukkan dengan peraturan terkait pandemi tersebut. Jika hal tersebut tetap saja terus dilakukan akan membentuk kesimpulan bahwa sebenarnya bahaya atau tidaknya COVID-19 tersebut dapat dilihat dengan upaya masif yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat yang turut menjalankannya.
Daftar Pustaka
Bakrie, Connie Rahakundini. Siapkah Kita Menghadapi Bioterorisme Agustus 2007 Hal. 16
Sakai, Yusuke. d.k.k. Two-amino acids change in the nsp4 of SARS coronavirus abolishes viral replication. Journal Virology.2017. Hal. 165-174.
Supari, Siti Fadilah. 2008. Saatnya Dunia Berubah.Β PT. Sulaksana Watinsa Indonesia: Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1998 (6/1998) Tentang Pengesahan Convention On The Prohibition Of The Development, Production, Stockpiling And Use Of Chemical Weapons And On Their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya)
Utomo, Ardi Priyatno.2020. Sebut Virus Corona "Chinese Virus", Trump Buat China Marah.[Tersedia].Online.www.kompas.com/global/read/2020/03/17/203430670/sebut-virus-corona-chinese-virus-trump-buat-china-marah?page=all#page.
Witarto, Arief B. 2002. Bahaya Senjata Biologis. Jurnal LIPI November 2002. Hal. 1-3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H