Representasi pertarungan politik global antara negara-negara maju memang bukan isapan jempol. Pertarungan politik yang diperlihatkan saat ini yakni berupa kecanggihan teknologi dan aplikasi ilmu pengetahuan secara modern, seperti menggunakan kecanggihan agen biologi,(Bakrie, 2007). Kecenderungan pemakaian senjata biologi akan merebak di masa mendatang dan berpotensi besar akan digunakan sebagai alat untuk meneror (bioterrorism).
Pemakaian senjata biologi memiliki tujuan destroying and treat. Akibat yang ditimbulkan dari senjata biologi ini destroying (menghancurkan). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan peristiwa di amerika serikat dengan modus pengiriman surat yang diisi oleh spora bakteri Bacillus anthracis. Kasus di Amerika itu telah memakan beberapa orang korban tewas, (Witarto, 2002). Atau mungkin di peristiwa lain ketika penggunaan senjata biologis oleh tentara Jepang dalam perang dunia ke-2 di Cina,Β (Witarto, 2002). Bahkan pemakaian senjata biologis itu pun juga dipakai untuk hewan dan tumbuhan pada tahun 1952 yang terjadi pembunuhan 33 ekor sapi dengan toksin African milk bush di Kenya.
Dalam perang Vietnam pun, amerika serikat telah menggunakan agent orange yang mengakibatkan pertanian rusak dan penduduk cacat sampai generasi ketiga. Arab Revolutionary Council meracuni jeruk Israel dengan merkuri dan mengakibatkan ekspor jeruk mengalami penurunan 40%. Israel pun juga tak mau kalah, Negara bersimbol bintang david itu pun juga menyemprotkan pestisida pada tanaman anggur di dua desa yang merusak 17 ribu mtrik ton anggur,(Bakrie, 2007).
Selanjutnya adalah treat (memberi vaksin). Vaksin merupakan upaya bersama atau kelompok tertentu yang bertujuan mencegah sebelum datangnya virus atau mengobati ketika virus telah menyerang. Misalnya saja yang pernah dialami Indonesia beberapa tahun silam;
Saya mempunyai pengalaman yang sangat menyedihkan perkara biological weapon ini, Mr. Lange. Di Indonesia, virus cacar (smallpox virus) pertama kali ditemukan oleh dr. Otten, orang Belanda yang bekerja di Lab Eijkman, Indonesia sekian puluh tahun lalu. Dan Biofarma Indonesia mampu membuat vaksin cacar. Maka pada tahun 1974, Indonesia dinyatakan bebas cacar. Pada tahun 1978, WHO menganjurkan kepada semua negara agar memusnahkan
virus cacar bila memilikinya. Tentu saja Biofarma segera mengindahkan perintah WHO. Maka dimusnahkanlah virus tersebut. Sejak saat itu Indonesia tidak memiliki virus smallpox lagi. Artinya tidak mampu memproduksi vaksin smallpox lagi. Namun pada tahun 2005, WHO mengumumkan tentang pentingnya bagi seluruh negara di dunia untuk memiliki vaksin (tentu saja harus membeli dengan harga mahal). Vaksinnya ternyata sudah diproduksi oleh Negara maju, karena dikhawatirkan ada senjata biologi yang dibuat dari virus smallpox. (Supari, 120:2008)
Indonesia melaksanakan instruksi yang diperintahkan WHO yakni memusnahkan Virus (cacar) tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apa motif dari WHO yang memberikan instruksi untuk menghilangkan Virus (cacar) tersebut yang pada akhirnya ia (WHO) mengumumkan kembali bahwa pentingnya memiliki vaksin?. Dilain sisi vaksin tersebut (virus cacar) telah diproduksi oleh negara-negara maju. Agenda tertentu mungkin bisa terjadi dibalik sikap inkosistensi WHO atas sikapnya tersebut.
Pengalaman ini membuat saya berpikir. Pertama; negara yang membuat vaksin pasti mempunyai virusnya. Kenapa bisa menyimpan virus, padahal sudah dilarang oleh WHO. Kedua; siapa yang membuat biological weapon? Ya pasti negara yang memiliki virus juga. Hal inilah yang sangat menakutkan saya pada saat saya mendengar, bahwa data sequencing DNA virus H5N1 strain Indonesia di suatu laboratorium bukan di bawah kepentingan kesehatan, (Supari, 120:2008)
Kekhawatiran adanya senjata biologi merupakan bentuk penyangkalan yang tidak bisa dibenarkan atau bisa jadi hal tersebut hanya dijadikan alasan untuk mewujudkan agenda yang lebih besar yakni menguasai Virus, mengembangkan Virus dan menggunakan Virus tersebut secara masif dan terstruktur.
Salah satu tuntutan saya terhadap WHO untuk mendapatkan virus yang pernah saya kirim ke WHO akan bisa diselesaikan oleh Peter tanpa MTA. (Dalam hati saya pendekatan macam apa lagi ini). Saya tidak peduli. Bahkan saya katakan padanya bagaimana mungkin virus orang kok direkayasa dengan teknologi Medimmune, terus menjadi milik Medimmune? Dia mengatakan karena teknologi Medimmune-lah yg menjadikan wild virus strain Indonesia menjadi seed virus strain Indonesia. Dan teknologi itu sudah dipatenkan sehingga seed virus-nya menjadi milik Medimmune, (Supari, 116:2008)
Medimmune merupakan perusahaan bioteknologi asal Amerika Serikat. Melalui perusahaan tersebut seluruh jenis virus yang dirampas akan diolah dengan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan Bioteknologi asal Amerika tersebut. Pengolahannya tentu tidak akan diketahui oleh negara pengirim virus. Virus tersebut hendak diolah dan dicari vaksinnya ataukah virus tersebut dikembangkan dilaboratorium yang bertujuan untuk biological weapon?.
Berdasarkan undang-undang 1945 yang bertuliskan bahwa ikut melaksanakan ketertiban, keamanan dan kedamaian dunia maka mengetahui hal yang sifatnya ancaman harus segera ditanggapi dengan upaya yang responsif. Hal-hal yang sifatnya ancaman dan membuat kegaduhan seharusnya disikapi dengan tindakan yang represif agar tetap terpelihara kenyamanan dan keamanan dalam kehidupan bernegara yang tentu sesuai dengan pasal Undang-Undang Republik Indonesia no 6 tahun 1998 Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, Dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya.
Motif menghancurkan (Destroying) dan mengobati (Treat) yang diakibatkan virus COVID-19 saat ini pun telah dialami masyarakat umum. Menghancurkan interaksi sosial secara perlahan dan menghancurkan ketentraman. Mengobati? masih belum sampai pada motif tersebut. Karena mengobati (Treat) bukan hanya sekedar memberi vaksin dan pasien sembuh, tidak sesederhana itu; bahkan lebih dari itu.
Imbas terhadap masyarakat
Kondisi saat pandemik seperti ini tentu menimbulkan kepanikan dan ketakutan tersendiri. Kepanikan akan terpaparnya dengan virus COVID-19 tersebut. Kepanikan yang dirasakan masyarakat bukan tanpa sebab. Mereka (masyarakat) lebih banyak mendapatkan informasi yang parsial tidak menyeluruh. Informasi bersifat parsial justru membahayakan bagi penerima informasi maupun penyampai informasi. Justifikasi yang tidak mendasar menyebabkan konflik sosial, jika hal tersebut tidak diimbangi penyampaian berita menyeluruh maka yang terjadi adalah disorientasi. Disorientasi akan terjadi jika masyarakat tidak kritis terhadap situasi yang timbul. Analisis yang gagap terhadap media penyedia informasi tentu menjadi dalang utama, ditambah dengan media massa yang cenderung hiperbola dalam menyampaikan berita dan menciptakan paranoid tersendiri adalah setali tiga uang disaat kondisi saat ini.Β
Mayoritas headline media massa mencantumkan kata "kematian" yang selalu disertakan dengan COVID-19. Kebiasaan masyarakat umum tak terlepas dari media massa yang tersedia bebas di gawai tentu menjadi ladang basah untuk menyampaikan berita. Alih-alih menyampaikan berita yang mengedukasi jusru malah membodohi masyarakat umum. Sudut pandang dan cara berpikir masyarakat tentu terpengaruh akan hal tersebut. Sehingga hantam kromo semua hal yang berkaitan dengan COVID-19 akan mati. Sebenarnya tidak sesederhana itu. Perlu analisis mendalam dan kritis terhadap situasi yang terjadi, misalnya Perawat meninggal dunia tangani pasien COVID-19. Rumusan masalah yang muncul adalah bagaimana perawat meninggal dunia tangani pasien COVID-19?. Hal tersebut tidak dapat dipastikan bahwa perawat tersebut meninggal akibat terpapar virus COVID-19 ataukah sebab lain.