Laut tetap kaya takkan kurang, cuma hati dan budi manusia semakin dangkal dan miskin.
Pramoedya Ananta Toer - Gadis Pantai
Jangan lupa follow aku ya!. Kalimat imperatif ini sadar atau tidak selalu diawali dengan curhatan yang cenderung memplokamirkan dirinya si pemilik media sosial. Prihatin memang sekaligus miris.Β
Perkembangan sosial media salah satunyaΒ insetageram sekarang ini memang perlu diapresiasi minimal dipuji lah. Konten yang mengandung hal-hal positif bersifat nduduhi atau mungkin memberikan informasi yang berguna bagi khalayak sangatlah banyak. Tak ayal orang-orang bertransmigrasi atau bahkan memilih media sosial daripada kerja bakti.Β
Nah, jika yang model begini ini diteruskan maka konten negatif pun juga akan terlahir. Karena pemahaman yang keblinger inilah yang turut andil atas terciptanya konten negatif dan perlahan masyarakat menganggap hal tersebut lumrah.Β
Lumrah itu bentuk sikap yang memandang sesuatu hal yang seharusnya tak lazim secara nilai menjadi lazim. AkankahΒ insetageram ini akan menjadi liar di masa depan? jawabannya semua bergantung Tuan nya.
Visual Ngefek yang Memanipulasi Fakta
Kalau kata mas Rama Kertamukti, yang kebetulan sebagai dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga bahwa Instagram adalah sebuah aplikasi untuk berbagi foto yang dapat dilihat oleh pengikut dari pengunggah foto tersebut hingga dapat saling memberikan komentar antara sesamanya.Β
Nama Instagram sendiri berasal dari insta dan gram, "insta" yang berasal dari kata instant dan "gram" yang berasal dari telegram, dapat disimpulkan dari namanya yang berarti menginformasikan atau membagikan foto kepada orang lain dengan cepat.Β
Yah! Semakin cepat semakin baik. Kata salah seorang pemilik akun. Pemiliki akun bernama, sebut saja mawar ia selalu menginformasikan, menyebarkan bahkan kalau perlu dia tidur miring kemana pun semua orang harus tau.Β
Orang lain dibaiat yang ditandai dengan meng-klik accept ditampilan menunya merupakan pertanda kita sah menjadi pengikutnya. Segala macam hiruk pikuk kesibukanya setiap hari akan terpampang jelas atau bahkan kita bisa menghafal bentuk anatomi tubuhnya.
Tak ayal memang jaman sekarang ndak enak kalau ndak mentelengi medsos itu. Ada kegundahan yang amat sangat ketika jari tangan ndak ngumeki sosmed itu.Β
Tingkat kegundahan dapat dilihat Β ketika seseorang mendadak gupuh ketika melihat momentum penting kemudian tidak didukung dengan kondisi transmisi sinyal yang baik. Padahal bijaknya hal tersebut tidak perlu disambut dengan kegupuhan.Β
Disisi lain tawaran menggirukan datang dari fitur-fitur yang ditawarkan. Mulai dari mempercantik diri. merias waja secara auto bahkan mengganti wajah menjadi wajah hewan atau avatar yang dianggap mewakilinya.Β
Terkadang lucu melihat pengguna media sosial terkekeh sendiri, muka masam bahkan uring-uringan saat melihat gawainya. Gegara membuka media sosial banyak orang terpengaruh dengan informasi yang menyebabkan gagal pahamnya seseorang.Β
Lebih dari sebatas gagal paham, orang lebih sibuk dengan gawainya masing-masing. Muka mentelengi gawai seakan ia khusyuk bahkan tuma'ninahΒ disetiap gerakan mulai dari scroll keatas hingga kebawah.Β
Terkadang lebih sering terjadi ketika seseorang ketika berbicara dengan lawan bicara pada sebuah pertemuan dan topik telah selesai maka yang dilakukan adalah bukan menyudahi kegiatan tapi membuka gawai meskipun tidak ada notifikasi.
Kiblat Baru
Pemilik akun media sosial memang lebih suka berkehendak sesuai keinginan yang tentu berkiblat ke media sosial. Usum nya membuatΒ insetatoriΒ tentang kehidupan dengan pasangan maka banyak pula yang berondong-bondong mengunggah kegiatan atau aktivitas privat yang dibawa keranah publik.Β
Gaya hidup sering juga dipamer-pamerkan diΒ insetatori. Bagus memang kalau mengedukasi. Nah, kalau hanya sekadar mengungah foto ngopi dan gelas kopi yang bergenre lawas diunggah, maka apa nilai edukasi yang diterima?Β
Ataukah hanya sekadar pengakuan sosial bahwa,"ini loh saya mampu membeli ini". Hal tersebut tentu tidak berimbang jika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari terlebih si pemilik akun ndak doyan ngopi
Ironis memang. Kegiatan peribadahan pun juga tak luput dari aktivitas media sosial yang sebenarnya cukup rawan dengan riak. Ibadah, sepakat kita menyebutnya urusan kita dengan Tuhan.Β
Namun hal itu tidak terjadi dijagat setatus media sosial yang selalu ramai dihari-hari tertentu. Edukasi masih dapat diambil yakni memberitahukan bahwa ini adalah ibadah yang sejatinya harus dilakukan oleh setiap pengikutnya tapi yakinkah ketika menyerukan kegiatan ibadah pada sebuah setatus media sosial kemudian timbul rasa kepuasan tersendiri ketika tahu bahwa yang melihat setatus dan yang nge-like cukup banyak tidak jauh dari rasa riak? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.Β
Idealnya dalam hidup adalah kesesuaian. Kesesuaian antara tutur dan perilaku. Sembodo antara yang diunggah dengan wujud nyatanya. Kenyataannya tidak.Β
Masyarakat pengguna media sosial yang kerap tidak tau akan hal tersebut. Memandang nilai hanya pada unggahan yang disukai banyak orang terlebih dilihat banyak orang yang menghadirkan decak kagum.Β
Persetan atas apa yang terjadi sesungguhnya. Hal tersebut jika dibiarkan atau dianggap wajar-wajar saja, maka tak usah menunggu matahari terbit dari barat, sekarang saja sudah kentara perubahan kiblat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H