Mohon tunggu...
feni setiorini
feni setiorini Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Resensi Buku "Cenderawasih: Cerita rakyat Papua" (2014)

6 Januari 2019   18:40 Diperbarui: 6 Januari 2019   19:09 1348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kariernya, kak Yudi dikenal sebagai seorang penulis cerita anak, pencipta lagu anak,  pendongeng, pengkhotbah, dan pembicara seminar. Sebagai seorang penulis, kak Yudi sangat aktif dalam menulis buku cerita anak-anak. Menurutnya anak pandai dan berkarakter tidak turun dari langit, tetapi harus di didik secara benar sejak usia dini. Oleh karena itu, melalui karya-karyanya ia ingin membantu anak-anak Indonesia agar memiliki karakter dan moral yang baik. Karena pada zaman modernisasi ini memiliki arus modernisasi yang akan berdampak pada krisisnya moral dan akhlak generasi bangsa.

Buku cerita anak yang berjudul Cenderawasih: cerita rakyat Papua ini merupakan dokumentasi dari sebuah cerita rakyat nusantara yang khususnya berada di daerah Papua. Buku ini termasuk ke dalam suatu karya sastra anak berupa karya fiksi. Buku ini mengangkat tema kekeluargaan, yang cocok sekali untuk dikonsumsi pada kalangan anak-anak dari usia 7-12 tahun. Pada buku ini, cerita yang disampaikan dikemas dengan gaya cerita yang menarik, sederhana dan mudah dipahami oleh anak-anak, hal tersebut juga didukung dengan penyampaian cerita yang menggunakan ilustrasi gambar yang menarik. Tidak hanya isinya saja yang dikemas menggunakan ilustrasi gambar yang bagus dan menarik, namun pada sampul bukunya juga sudah dikemas menggunakan ilustrasi gambar yang akan memikat anak-anak untuk membacanya. 

Dengan bantuan ilustrasi gambar dalam penyampaian cerita tersebut, anak-anak tidak akan merasa bosan dan dapat merubah paradigma anak-anak mengenai cerita rakyat yang tidak menarik atau membosankan ketika membacanya. Selain itu, dengan adanya ilustrasi gambar tersebut dapat membantu anak dalam proses mengembangkan imajinasinya.  Di dalam buku ini juga terkandung nilai-nilai moral kehidupan yang tentunya bertujuan agar nilai-nilai moral yang disampaikan dapat terealisasikan dikehidupan nyata.

Buku ini menceritakan kehidupan seorang perempuan setengah baya yang hidup bersama seekor anjing betinanya di pegunungan Bumberi, Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua Barat. Dalam kesehariannya, ia dan anjingnya mencari persediaan makanan di hutan, dan ketika sedang mencari persediaan makanan di hutan ia sampai di sebuah tempat yang dipenuhi oleh buah pandan yang berwarna merah, kemudian ia membawa pulang buah tersebut kerumahnya lalu memberikan buah tersebut ke anjing betinanya yang sedang kelaparan. Setelah anjing betina itu memakan buah pandan tersebut, tiba-tiba perut anjing betina tersebut membesar dan beberapa jam kemudian anjing betina itu melahirkan seekor anak anjing. Melihat kejadian itu, si perempuan setengah baya tertarik untuk mencoba memakan buah itu, ia berpikir bahwa jika ia memakan buah itu ia juga akan mengandung seorang anak. Setelah memakan buah tersebut, perut perempuan itupun membesar dan setelah beberapa jam berlalu ia melahirkan seorang anak yang berjenis kelamin laki-laki dan ia beri nama Kweiya.

Kweiya tumbuh sebagai seorang anak yang sayang dan patuh kepada ibunya. Kweiya berniat untuk membuat sebuah ladang sayuran, dan untuk membuat ladang sayuran itu ia harus menebang pohon dengan menggunakan alat sederhana yang ia buat sendiri yaitu berupa batu berbentuk pahat. Tentunya dengan menggunakan alat yang sederhana itu, dalam sehari Kweiya hanya mampu untuk menebang satu pohon saja. Suatu hari, ada seorang laki-laki paruh baya menghampiri Kweiya dan menanyakan alasan Kweiya menebang pohon-pohon. 

Setelah mendengarkan penjelasan Kweiya, laki-laki paruh baya itu tersentuh lalu memberikan sebuah kapak besi kepada Kweiya. Dengan menggunakan alat tersebut, pekerjaan Kweiya untuk menebang pohon dapat dilakukan dengan cepat. Bersyukur atas hal tersebut, Kweiya berniat untuk berterimakasih kepada laki-laki paruh baya itu dengan cara membawanya kerumah lalu mengenalkan laki-laki paruh baya itu kepada ibunya. Setelah mengenalkan laki-laki paruh baya itu kepada ibunya, Kweiya memohon kepada ibunya agar laki-laki itu menjadi bapaknya. Permintaan tersebut pun disetujui oleh ibu Kweiya.

Beberapa tahun kemudian, keduanya memiliki tiga anak yaitu dua anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Kweiya senang memiliki adik dan ia sangat menyayangi adik-adiknya, namun itu hanya sebentar. Beberapa tahun berikutnya, kedua adik laki-laki Kweiya iri kepadanya. Hal ini membuat ikatan persaudaraan di antara mereka sedikit renggang. Ketika orang tua mereka sedang dikebun, kedua adik laki-lakinya lantas berkomplot untuk mengeroyok Kweiya. Perkelahian tidak seimbang itu membuat tubuh Kweiya terluka. 

Untuk menghindarinya, Kweiya bersembunyi di atas sebuah pohon di dekat rumahnya. Di sana, ia memintal tali dari kulit binatang yang nantinya akan ia buat sebagai sayap. Ketika ibu Kweiya menyadari bahwa Kweiya tidak ada dirumah, ia langsung mencari dan memanggil Kweiya. Tiba-tiba dari sudut rumah terdengar suara, "ek ek ek ek ek ek". Suara itu adalah sebuah jawaban dari Kweiya yang menampakkan dirinya. Tanpa diduga saat itu, Kweiya sudah berubah menjadi seekor burung yang amat indah.

Semua hanya bisa bengong menyaksikan kejadian tersebut. Tapi, ibu Kweiya menangis sedih karenanya. Dia pun bertanya kepada Kweiya, adakah tali pintal tersisa untuknya. Kweiya yang telah berubah menjadi burung mengatakan bahwa tali itu ada pada koba-koba (payung tikar) di sudut rumah. Ibu Kweiya segera mencari tapi-tapi pintal itu. Setelah ketemu, tali pintal itu dibuat membentuk sayap lalu disisipkan di ketiaknya. Setelah itu ibu Kweiya pun berubah menjadi seekor burung juga. Lalu melompat ke atas pohon bersama Kweiya. Setelah berkicau, mereka berdua pergi jauh. Namun, tetap di tanah Papua. Karena, di tanah itulah mereka lahir dan dibesarkan. 

Tidak berakhir disitu, kedua adik laki-laki Kweiya saling menyalahkan atas kejadian yang terjadi, hingga mereka saling melemparkan abu tungku. Dan seketika itu pula, mereka berubah menjadi burung yang kurang menarik warnanya, tidak seindah seperti warna pada Kweiya dan ibunya. Itulah sebabnya, hutan rimba di Kabupaten Fakfak, Papua Barat, juga banyak dihuni oleh beragam burung yang kurang menarik, selain burung Cenderawasih.  

Dalam buku ini, banyak sekali kelebihan yang ada. Yaitu sampulnya dapat membuat anak-anak tertarik untuk membacanya, karena pada sampul buku ini di desain sangat menarik. Tidak hanya itu, cerita yang dikandung dalam buku ini disajikan dengan menggunakan bahasa yang baku sehingga memudahkan pembacanya dalam memahami isi cerita tersebut dan memperoleh informasi maupun wawasan melalui cerita tersebut, dan juga pada buku cerita tersebut terdapat glosarium yang membantu anak-anak mengetahui arti dari kata asing yang tertera pada cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun