" Besok pas sudah menikah mau punya anak berapa Lestari "
" Mas tanya nya kok aneh-aneh " jawabnya
" Kalo Mas mau nya tiga "
" Kalo Lestari mau nya dua gimana, apa yang satu Mas mau ngelahirin sendiri? Â "
Itu jawaban dia yang sebenar nya tidak menjawab keinginanku.
8 Bulan berjalan sangat lambat, aku dan Lestari sama sekali tidak pernah bertemu karena aku bekerja dan dia ada di Desa. Meskipun begitu, kami sering berkirim surat. Dulu masih jarang ponsel, walau aku sudah punya tetapi Lestari belum. Empat hari sebelum pernikahan kami berlangsung, surat dari Lestari sampai di kantorku, kira - kira isinya demikian
" Mas, saya disini alhamdulillah sehat dan bahagia. Bagaimana dengan Mas disana. Sebentar lagi, akan ada perayaan yang tidak akan bisa Mas dan saya lupakan, saya sangat bersyukur dipertemukan dengan orang sebaik Mas. Mas tetap jaga kesehatan ya, makan nya teratur, jangan karena pekerjaan jadi lupa makan, istirahat yang cukup, Lestari berdoa dari sini semoga Mas selalu dalam lindungannya. Sampai bertemu disini Mas, saya harap tangisan bahagia akan menjadi warna dalam pernikahan kita. Oh ya, inshaallah saya akan ikut kemauan Mas untuk punya anak tiga. Hehe. Saya cinta Mas, dimanapun saya berada nanti nya. Sampai bertemu. Lestari "
Hari ini tepat tanggal 2 Januari, aku duduk disamping nya, bukan sebagai pengantin. Aku mengelus sebuah benda yang bertulis namanya, ,diatas gundukan pasir aku berusaha tegar menaburkan beberapa kelopak bunga segar yang dia sukai dulu. Kini enam tahun sudah Lestari pergi, enam tahun yang seharusnya adalah perjalanan rumah tangga kami, tapi dia pergi jauh sangat jauh dariku. Kita berada dalam dimensi yang berbeda meskipun aku tetap merasakan cintanya hadir dan selalu berada dihatiku.
- FemyYW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H