Mohon tunggu...
Cerpen

Impian yang Sirna

9 November 2016   19:28 Diperbarui: 9 November 2016   19:34 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap insan yang fana, pasti memiliki angan-angan. Orang menyebutnya mimpi. Seperti kata pepatah, memang mudah jiwa ini tuk bermimpi setinggi bintang di langit, namun pengorbanan yang besar harus dikerahkan untuk menggapai mimpi-mimpi tersebut

Sebagai seorang gadis yang tumbuh pada masa penjajahan, semua yang diketahui  nya hanyalah ketakutan, kegentaran, dan hampa yang menyelimuti masa mudanya. Melihat kakak laki-lakinya dipaksa bekerja tanpa dibayar, merupakan pemandangan yang sudah tak asing dimata gadis tersebut. Dalam doa nya setiap waktu, tak lupa ia memohon pada Sang Pencipta untuk mengabulkan mimpinya.

Suatu pagi yang cerah di tahun 1943, matahari bersinar terik dan berada tepat diatas kepala. Waktu menunjukan pukul 12 siang dan lonceng sekolah berdentang disusul oleh iringan seruan murid-murid SDN Cahaya yang bahagia untuk kembali kerumah.  “Ayo anak-anak, sudah tiba waktu kalian untuk pulang sekolah!” seru seorang gadis cantik yang merupakan guru dari murid-murid sekolah tersebut. Setelah murid-murid tersebut berdoa sesuai agama masing-maing, berserulah mereka dengan kompak, “Terima kasih Ibu Guru, sampai jumpa esok hari, kami sayang Ibu.” Walaupun perkataan tersebut selalu diucapkan setiap hari, namun, hal itu selalu membuat hati nya terenyuh dan terharu. Dimatanya, kata-kata tersebut lebih indah dari kata-kata mutiara apapun.  Karena baginya, tiada yang lebih berharga selain senyuman murid-muridnya. 

Umur yang masih belia tidak membuat Dewi berhenti bermimpi dan menguburkan mimpinya ke pusat bumi. Sejak masih belia, Dewi sudah bercita-cita menjadi guru. Pada masa kecilnya, pendidikan masih sangat minim. Terutama bagi seorang anak petani dimana dalam memenuhi kebutuhan primer saja sudah terseret-seret. Dewi teringat, saat ia berumur 8 tahun, diam-diam ia mencuri buku milik seorang tentara Belanda. Ia baru menyadari nya saat telah dewasa bahwa perbuatan tersebut dapat merenggut nyawanya. Dewi merupakan anak yang gemar membaca dan menulis. Setiap hari, ia menulis jurnal harian nya dalam sebuah buku. Setelah penantian nya selama kurang lebih 16 tahun, akhirnya mimpi Dewi terwujud untuk menjadi seorang guru. Walaupun pekerjaan nya hanyalah boneka dan alat bagi bangsa Jepang untuk mempropagandakan Jepang. Tidak hanya itu, upah yang diberikan sangatlah minim.

Namun, mimpi Dewi tidak berhenti sampai disana. Tanah kelahiran nya, Indonesia, telah dijajah oleh negeri kincir angin dan negeri sakura. Sebuah ingatan terbesit di pikiran nya. Sebuah tragedi yang membekas di hatinya, menorehkan sayatan dan goresan yang mendalam pada lubuk hatinya. dimana ayah Dewi , yang merupakan tulang punggung keluarga, dibunuh oleh tentara Jepang karena tidak menyerahkan sawah miliknya. Hal itu membuat Dewi benci dengan bangsa penjajah. Dalam catatan harian nya, ia menulis ketidaksetujuan nya mengenai penjajahan. Perlahan tetapi pasti, luka di hatinya itu bertumbuh menjadi sebuah mimpi. Ya, mimpi untuk memberantas dan menghapus penjajahan di tanah air nya.

Dewi terbangun dari tempat tidurnya yang terbuat dari bambu. Seperti biasa, ia langsung mempersiapkan diri untuk mengajar di sebuah sekolah yang dibangun oleh tentara Jepang. “Selamat pagi bu Dewi,” seru Dina, seorang murid nya ketika Dewi telah tiba di sekolah. “Pagi Dina, apakah kamu sudah mengerjakan pekerjaan rumah yang telah ibu berikan kemarin?” jawab Dewi sambil mengelus rambut Dina. “Sudah dong bu,” jawab Dina penuh semangat. Anak-anak lain pun berhamburan masuk kelas, sebab tak lama lagi lonceng akan berdentang. Pelajaran pun dimulai. Setiap anak sangat antusias belajar. Dewi tersenyum gembira melihat murid-muridnya yang pantang menyerah dalam mengerjakan soal. Walaupun tidak mengenakan seragam dan tidak beralas kaki, mereka tetap antusias menimba ilmu dan mengerjakan soal demi soal tanpa mengeluh. Ditengah keheningan kelas, tiba-tiba tanah dan gedung sekolah mulai bergetar. Sebuah geraman yang besar pun terdengar di telinga Dewi. anak-anak saling menatap satu sama lain dan terpampang wajah yang penuh tanda tanya. Seperti ada alarm yang berdering pada pikiran Dewi, ia langsung berseru kepada anak-anak. “Cepat kita keluar dari sekolah ini! Cepat!” Teror dan kegentaran melingkupi pikiran nya. Keringat membanjiri dahi dan telapat tangan Dewi.

“Ada apa bu?! Mengapa kami harus keluar?” seru seorang anak penuh kebingungan.

“Pokoknya kita keluar sekarang juga! Tentara Jepang akan datang!” seru Dewi setengah berteriak. Suara teriakan dan pekikan anak-anak mulai terdengar, ada yang menangis bahkan sampai meraung-raung. Wajah Dewi menjadi pucat. “Mungkinkah tentara itu datang untuk menghancurkan kami?” seru batin nya.

Sebuah suara letusan terdengar tak jauh dari sekolah tersebut. Suara yang memekakan telinga dan membuat jantung melonjak tak keruan.

“CEPAT KELUAR NAK! Tentara Jepang sudah datang!” teriak Dewi histeris.

“Lari! Semua lari! Tentara Jepang akan mengebom sekolah ini!” seru seseorang sambil berlari terbirit-birit menyelamatkan diri.

Bom pun dijatuhkan bertubi-tubi. Suara letusan dimana-mana. Api menyambar bangunan sekolah. Suara senapan pun tak luput dari pendengaran Dewi. Pandangan Dewi mulai kabur, dan napas nya tersengal. Api telah menjalar ke seluruh penjuru kelas dan asap membumbung ke udara. Dewi menyeret kakinya dan berusaha untuk berjalan.

Dor! Sebuah suara tembakan menyentak telinga Dewi. Dengan reflek, ia menoleh kearah sumber suara tersebut.

“TIDAK! JANGAN BUNUH DIA!” teriak Dewi ketika ia melihat kekasih nya, Anton, yang merupakan guru seperti dirinya, jatuh terjerembab ke tanah tak berdaya. Darah mengalir dari tubuh Anton. Napas Anton melemah dan dadanya sesak. Dewi menghampirinya dan memeluknya sambil berlinang air mata.

 “Tuhan! Aku mohon! Jangan tinggalkan aku, Anton! Kamu tidak bisa mati….” tangis Dewi terisak-isak. “Ma..afkan aku.. De..wi.. Cepat la..ri,” kata Anton dengan terbata-bata.

“Tidak! Aku tidak akan pernah meninggalkanmu Anton! Biarlah aku mati bersamamu. Biarlah jiwa kita selalu bersatu sampai akhir hayat,” kata Dewi dengan suara parau sambil bercucuran air mata. “Balas..kan perbuatan me..reka.. Jangan biar..kan mereka menjajah ki…” suara Anton melemah setiap kata demi kata yang ia ucapkan. Tak sempat ia menyelesaikan kalimatnya, sang pencabut nyawa telah merenggut nyawanya. Mata nya menutup dan terpejam. Jantungnya berhenti berdetak dan napasnya sudah tidak terdengar.  

“TIDAAAAAKKKKKK!” teriak Dewi histeris. Dewi mengguncangkan tubuh Anton tanpa harapan. “Aku akan membalas perbuatan kalian semua hai para penjajah!” teriak Dewi dalam batin nya. Ia bangkit berdiri dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berjalan. “Kalian akan menyesal telah menjajah kami!”

Dewi berjalan perlahan. Napasnya terengah, debu reruntuhan bangunan bertebaran dan menyelimuti paru-parunya. Kakinya seakan mati rasa, luka bakar pada kakinya seakan menusuk sampai ke sumsum tulang dan ototnya.

“Tolong aku…. Aku takut.. Siapapun aku mohon!” sayup-sayup terdengar isakan dari dalam salah satu kelas. “Suara siapa itu?” batin nya.

“Tunggu, ibu akan menolongmu!” seru Dewi  sambil berjalan menuju ruangan kelas tersebut dengan sekuat tenaga. Si jago merah berkobar seakan menelan dan melahap seluruh ruangan kelas tersebut. Dewi memutar pandangan nya ke sekeliling ruangan kelas tersebut. Ia menangkap sosok seorang anak kecil yang sedang menangis tersedu-sedu dengan luka bakar yang telah memenuhi kullit tubuhnya.

“Dedi! Jangan bergerak! Ibu akan membawamu keluar!” teriak Dewi ditengah api yang menyala-nyala. Atap bangunan mulai roboh, dan api semakin membesar. Asap menyeruak dan menutupi pandangan Dewi. Dewi terbatuk-batuk dan melangkah mendekati Dedi. Tanpa disadari Dedi, sebuah kayu reruntuhan atap kelas terjatuh dan menuju tubuh Dedi. Dengan reflek, Dewi langsung berlari menembus api dan memeluk Dedi.

Kayu yang dipenuhi api menghantam tubuh Dewi dengan keras. Darah mengalir dari tubuhnya dan menetes kelantai. Pantang menyerah, dengan sisa-sisa tenaga,  ia mengerahkan segenap kekuatan nya dan Dewi mengangkat Dedi dan menggendongnya dalam pelukan nya. Pandangan Dewi mulai kabur, matanya berkunang-kunang, bagai selaput yang perlahan menghalangi penglihatan nya. Kepalanya mulai berputar, seperti vertigo dan otaknya seakan membeku. Telinga nya menjadi tuli seketika. Dengan tergopoh-gopoh ia berjalan sambil membawa Dedi keluar dari kelas tersebut.

“Lari nak, jangan pedulikan ibu… Cepat lari! Tentara Jepang akan menangkapmu nanti,” ucap Dewi dengan suara parau. Dedi sangat takut dan ia berlari sekuat tenaga.

Dewi tak kuasa lagi menahan tubuhnya. Ia terkulai lemas di tanah. Tenggorokan nya terasa tercekik. Dewi pun tak kuat untuk mengambil napas. Cairan hangat berwarna merah pekat mengalir dari pelipisnya dan jatuh ke pipinya. Seperti tinta hitam pekat yang mengalir dimatanya, seluruh penglihatan nya menjadi gelap. Badan nya tak lagi merasakan perih dan panas pada belakang tubuhnya. Mata Dewi mulai terpejam dan tak lama, Dewi menghembuskan napas terakhirnya, jantungnya tidak lagi berdetak, tubuhnya menjadi kaku dan dingin seperti es, serta otaknya berhenti bekerja. Yang Dewi rasakan hanyalah ketenangan, kesunyian dan keheningan. Dewi pun merasakan kedamaian yang tak pernah ia alami sebelumnya. belum sempat ia gapai mimpi terakhirnya, belum sempat ia meraih kemerdekaan bangsanya, tak ada lagi harapan baginya untuk meraihnya. Impian itu hilang diterpa angin, melambai-lambai di udara, dan hilang dari pandangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun