Mohon tunggu...
Felix Yohanes Andaria
Felix Yohanes Andaria Mohon Tunggu... Guru - Pendeta dan Guru Pendidikan Agama Kristen

Integrity, Respect, Discipline

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merencanakan Kepemimpinan Berkelanjutan dalam Gereja untuk Menghadapi Era Digital

5 April 2024   09:00 Diperbarui: 5 April 2024   09:06 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Tidak dapat dinafikan bahwa model kepemimpinan Paulus terhadap jemaat, yang satu mungkin saja berbeda dengan model kepemimpinan yang diterapkan terhadap jemaat lainnya. Satu hal yang pasti, setiap jemaat mempunyai konteks multidimensi dan kekhasan karakternya, sehingga masing-masing membutuhkan model kepemimpinan yang relevan dengannya. Berikut ini dijelaskan beberapa hal yang merupakan pembelajaran kepemimpinan secara teologis dari Paulus, guna memantapkan program kepemimpinan yang berkelanjutan pada gereja dewasa ini. Beberapa hal yang dimaksud antara lain :[6] 

  • Sebagai pemimpin umat, ia berusaha memperlengkapi diri dengan berbagai kecakapan, baik gramatika, korespondensi, retorika, maupun berbagai pemikiran filsafat dan teologi. Sehingga, ia terbekali dengan kecerdasan, hikmat dan kemampuaan retoris dan mampu menyampaikan gagasan-gagasan yang rumit dalam bahasa yang mudah dipahami. Sebagai pemimpin ia tidak malas untuk memperlengkapi diri dengan berbagai pengertian, pengetahuan dan keterampilan
  • Dengan sikap kritis, Paulus menghormati dan menghargai tradisi, ia berani melakukan interpretasi kreatif atas tradisi yang diwarisi, dan memberi makna baru yang lebih relevan dengan konteks pelayanannya
  • Paulus menyadari akan tugas panggilannya, oleh karenanya, ia pantang untuk menggadaikan panggilannya keuntungan keuangan dan material. Dalam pelayanannya ia berusaha untuk tidak membebani jemaat, namun demikian ia juga mengingatkan untuk mencukupkan kebutuhan hidup para pelayanNya (1 Timotius 5 : 18)
  • Dalam melayani jemaat, Paulus tidak membeda-bedakan jemaat mana yang harus dilayani lebih dahulu, orang Yahudi bukan Yahudi, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya atau miskin. Bagi Paulus, di hadapan Tuhan semua manusia sama kedudukannya
  • Sebagai pemimpin ia terbuka untuk autokritik. Ia tidak segan mengoreksi kesalahan yang pernah dibuatnya. Ia menerima ukuran-ukuran Allah yang tak terjangkau oleh pemikirannya itu bagi dirinya (Roma 11 : 33-36)
  • Sebagai seorang pemimpin, Paulus bertumbuh dalam iman, ia tidak merasa “sudah selesai” atau “sudah sampai” pada puncak pengertiannya. Sebaliknya, ia senantiasa mencari dan menghayati perjumpaannya dengan Allah secara sungguh. Iman yang hidup tidak dikurung dalam doktrin yang beku, melainkan dihayati dalam kehidupan bersama Allah
  • Sebagai pemimpin jemaat, Paulus menyadari keterbatasan dirinya bahwa, ia tidak mampu menangani segala hal sendiri, bahwa ia akan menjadi semakin tua. Karena itu, dalam melakukan tugas pelayanannya dengan sadar ia melibatkan anggota-anggota jemaat, melatih dan mempersiapkan kader penggantinya, serta memberdayakan semua potensi jemaat untuk mendinamisasi pertumbuhan dan perkembangan jemaat

            Di poin terakhir itulah yang merupakan penekanan terkait dengan pokok masalah makalah ini yaitu kaderisasi. Belajar dari Paulus di dalam proses kepemimpinannya, ia tidak melupakan keberlanjutan pelayanannya di dunia. Paulus secara sadar dan profesional mengkader orang-orang (muridnya) supaya meneruskan kegiatan pekabaran Injil, ketika ia nantinya sudah berusia lanjut. Hal ini menandakan bahwa program kaderisasi sudah sejak lama berlangsung, bahkan pada zaman Tuhan Yesus. Tuhan Yesus juga mengkader para muridNya agar mampu mengabarkan kebangkitanNya kepada semua orang, berikut ajaran-ajaran yang telah disampaikan pada saat masa pelayananNya di dunia ini.

            Karakter kepemimpinan seperti Paulus teladankan ini, seharusnya menjadi karakter bagi para pemimpin gereja dan para pejabat gerejawi sekarang ini. Di banyak gereja, spiritualitas para pejabat gerejawinya sering merosot, salah satu penyebabnya adalah kaburnya prinsip-prinsip dan karakter kepemimpinan Kristen seperti yang dilakukan Paulus. Godaan materialisme, individualisme, dan keinginan untuk memperoleh kekuasaan serta kehormatan sering menghambat para pejabat gerejawi dalam usaha pelayanannya. Dalam era zaman seperti ini, tepat rasanya jika gereja, para pemimpin gereja, dan seluruh umat Kristen merefleksikan dan mempelajari kembali sikap dan kepribadian Paulus sebagai sosok pemimpin jemaat yang setia terhadap tugas dan panggilannya.[7] Bagian selanjutnya akan dijelaskan tentang karakter utama bagi seorang pemimpin di masa sekarang ini.

Penyempurnaan Karakter Pemimpin yang Visioner dan Berintegritas Sebagai Pra Syarat Utama Dalam Rangka Kepemimpinan yang Berkelanjutan

            Karakter yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin adalah visioner. Namun sebelumnya akan dijelaskan sedikit tentang apa sebenarnya visi itu. Visi adalah kemampuan melihat lebih dari keadaan normal, yaitu suatu kemampuan mental untuk mengimajinasi dan kemampuan untuk melihat serta memahami sesuatu yang tidak terlihat oleh orang kebanyakan.[8] Jika dihubungkan dengan visi pemimpin Kristen, maka visi juga berarti kemampuan untuk melihat keinginan suci yang ditulis oleh Sang Pencipta di dalam batin (guna menjawab kebutuhan) yang berkaitan erat dengan pemenuhan hidup seseorang atau setiap individu bagi diri maupun organisasi yang dipimpinnya.[9]

            Selain itu, seorang pemimpin juga harus memahami tentang karakteristik visi tersebut. Beberapa karakteristik visi adalah sebagai berikut :[10]

  • Visi bersifat ilahiah, berasal dari Allah yang menuliskan keinginan suci di dalam batin setiap individu dan mendorong individu dimaksud untuk mencari isi hatiNya
  • Visi menjelaskan tentang mengapa kita berada dan apa tujuan keberadaan kita, serta ke arah mana hidup kita tertuju
  • Visi bersifat dulu, kini, dan besok, untuk itu kita harus menggali, memimpikannya dan melihatnya dengan jelas serta mengambilnya sebagai dasar bagi hidup dan kepemimpinan kita
  • Visi berkenaan dengan kebutuhan dasar dari kehidupan yang berhubungan dengan kepentingan pribadi serta kepemimpinan dalam suatu organisasi. Visi yang sejati juga harus bersifat obyektif, profitable dan pragmatis bagi banyak orang sekalipun visi dimaksud adalah visi pribadi untuk pribadi. Dengan demikian sesuatu yang disebut sebagai visi itu harus selalu membawa kebaikan dan kemanfaatan bagi banyak pihak, karena visi yang benar memiliki unsur altruistic, artinya visi tersebut membawa keuntungan bagi pemimpin, orang yang dipimpin dan situasi kepemimpinan
  • Visi membuka mata untuk melihat kekuatan saat ini dan hal-hal yang mungkin dicapai di masa depan, serta memberanikan untuk melompat ke air yang dalam. Visi yang sejati akan menolong setiap orang untuk memahami bahwa ia memiliki kekuatan dalam dirinya untuk melaksanakannya, dan ada kepastian tentang suatu yang akan terjadi karena ia dapat melakukannya dan ada keberanian untuk bertindak maju untuk memasuki masa depan

            Dengan mengetahui dan memahami pengertian serta karakteristik visi tersebut, maka seorang pemimpin yang visioner harus menerapkan seluruh aspek tersebut di dalam proses kepemimpinannya. Pemimpin yang visioner itulah yang mengarahkan serta mempengaruhi para pengikutnya untuk bersama-sama mencapai visi yang telah dirumuskan, digumulkan dan diperjuangkan. Melalui seni komunikasi yang baik, diharapkan seorang pemimpin yang memiliki penglihatan yang jauh dan mendalam terhadap prospek organisasinya dapat mengupayakan supaya orang-orang yang dipimpinnya berkeinginan dan bersedia secara sukarela dan sukacita untuk menyukseskan visi sang pemimpin.

            Karakter selanjutnya adalah berintegritas. Menjadi seorang yang berintegritas sangat sulit dan jarang ditemukan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mempertahankan integritasnya dalam situasi apapun. Menjadi pemimpin yang berintegritas, dasarnya adalah meniru pribadi Allah. Dia adalah Allah yang berjanji dan menepati semua janjiNya, sehingga Dia bisa dipercayai (Mzm 105 : 8). Integritas Alkitabiah bukan semata-mata masalah melakukan hal yang benar, masalahnya adalah memiliki hati yang benar dan mengizinkan pribadi yang ada di dalam untuk mencocokan perbuatannya dengan pribadi yang ada di luar.[11]     Karena Allah tidak mungkin berbohong (Ibr. 6 : 18), Dia adalah sumber pengharapan tertinggi, kata ya yang diucapkan Allah adalah tetap ya, tidak Nya selamanya tidak (Yak 5 : 12). Keterpercayaan Allah ini mengandung sisi negatif dan positif. Negatifnya adalah Allah tidak akan berubah pikiran karena disuap atau karena rengekan, sedangkan positifnya kalau Allah berjanji Dia pasti menepati janjiNya.[12] Allah adalah integritas, Dia tidak semata-mata bertindak dengan integritas, integritas adalah karakterNya. Kebajikan integritas alkitabiah menunjuk kepada konsistensi antara yang di dalam dan yang di luar, antara apa yang dipercaya dan perilaku antara ucapan-ucapan dan cara-cara kita, sikap dan nilai yang kita lakukan.[13]

            Apa yang kita lakukan pada saat kita merasa bahwa perbuatan kita tidak diketahui orang lain menunjukkan level integritas kita. Integritas diukur dari apa yang kita pikirkan, katakan, dan lakukan pada saat kita benar-benar sendirian. Orang yang memiliki integritas tidak memiliki sesuatu yang perlu disembunyikan atau ditakuti. Jalan menuju integritas begitu sulit dan berliku, begitu banyak pemimpin Kristen yang jatuh dalam area integritas, berkompromi dalam area kuasa, uang dan seks. Jangan berlaku seperti orang Farisi yang merasa diri lebih baik dari pemungut cukai, karena sikap tersebut dikutuk oleh Yesus. Jika sebagai seorang pemimpin kita merasa bahwa kita berdiri teguh, berhati-hatilah agar tidak jatuh.[14]

            Menjadi pemimpin yang berintegritas adalah ciri khas yang sangat langka, sulit untuk ditemukan, ketika berhasil ditemukan seringkali usianya sudah memasuki usia lanjut, mengapa demikian?. Hal itu karena untuk memiliki integritas yang otentik memerlukan suatu perjuangan yang tidak main-main, seluruh hidup kita merupakan perjuangan dalam mencapai otentisitas suatu intergritas. Banyak pemimpin di luar sana, yang memiliki integritas bergantung pada tempat di mana ia bekerja, situasi tertentu, jabatan tertentu, bahkan peranan tertentu. Hal-hal itu sering terjadi bahkan di gereja sekalipun. Ketika ia menjabat sebagai pendeta jemaat dan menjabat sebagai pendeta wilayah maupun menjabat sebagai pendeta sinode pusat, pasti otentisitas integritasnya akan berbeda. Artinya, sikap yang disebut sebagai “fleksibilitas” atau “kompromistis” terhadap berbagai hal akan semakin meninggi seiring dengan naiknya jabatan yang diembannya (pendeta aras lokal / jemaat sampai pendeta aras sinode pusat). Hal tersebut tidak dapat disangkal. Namun persoalannya adalah sampai berapa lama kondisi tersebut bertahan? Dengan demikian, pada tulisan ini, ditegaskan apabila ingin menjadi seorang pemimpin, faktor integritaslah yang harus dipegang teguh dan terus dikembangkan sampai kepada posisi tertinggi seorang pemimpin. Semakin tinggi posisi kepemimpinan seharusnya semakin kuat dan kokoh pula integritasnya.

Pentingnya Program-program Kepemimpinan yang Berkelanjutan Dalam Gereja Untuk Menghadapi Era Digital

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun