Mohon tunggu...
Felix Juanardo Winata
Felix Juanardo Winata Mohon Tunggu... Ilustrator - Penulis

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kelembagaan KPK dalam Perubahan Kelima Undang-Undang Dasar

21 September 2019   00:50 Diperbarui: 21 September 2019   00:56 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehingga baru-baru ini, muncul respon janggal yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang di akhir masa jabatan 2014-2019 oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dimana DPR telah mengesahkan rancangan perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 yang disetujui dengan waktu yang sangat singkat. Bahkan RUU a quo telah banyak melemahkan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, hal ini tentunya membuat masyarakat resah terhadap perbuatan yang dilakukan oleh pembentuk RUU a quo. Adapun beberapa poin pelemahan KPK yang terdapat dalam RUU a quo antara lainnya adalah:

  • Menghilangkan kewenangan pimpinan KPK sebagai penanggung jawab tertinggi dalam penyidikan dan penuntutan, lalu menggeser kewenangan tersebut kepada Dewan Pengawas;
  • Mensyaratkan KPK untuk meminta izin kepada Dewan Pengawas dalam melakukan upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan;
  • Menghilangkan kewenangan KPK untuk merekrut penyelidik independen;
  • Penetapan status kepegawaian KPK sebagai ASN yang akan mengganggu independensi dalam melaksanakan tugasnya;
  • Peran Dewan Pengawas yang terlalu mendominasi, karena Dewan Pengawas juga memiliki kewenangan untuk mengintervensi KPK dalam melakukan kewenangannya sehari-hari dalam penanganan teknis perkara;
  • Dewan Pengawas dibentuk oleh DPR, padahal DPR menjadi salah satu lembaga yang terkorup di Indonesia;
  • Perkara yang mendapatkan perhatian dari masyarakat tidak lagi menjadi salah satu poin kriteria kasus yang dapat ditangani oleh KPK;
  • Kewenangan KPK untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3) dalam hal penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam jangka waktu 2 tahun; dan
  • Pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang tidak lagi dikelola oleh KPK.

Problematika Produk Hukum Pembentukan KPK

Menurut hemat penulis, pelemahan terhadap KPK dapat timbul karena produk hukum yang menaungi kelembagaan serta kewenangan KPK hanya dituangkan dalam bentuk undang-undang. Hal tersebut seakan-akan menjadikan KPK sebagai suatu lembaga negara yang harus tunduk semata-mata kepada pembentuk undang-undang. 

Sehingga, apapun yang dirumuskan dalam ketentuan undang-undang oleh DPR dan Presiden, harus dilaksanakan oleh KPK. Padahal, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang seringkali dilakukan oleh DPR dan juga jajaran eksekutif, yang mana juga merupakan pihak yang membentuk suatu undang-undang. 

Sehingga DPR dan Presiden cenderung akan melakukan abuse of power untuk mengamankan posisinya, yaitu dengan cara melemahkan pemberantasan korupsi lewat perubahan UU KPK.

Untuk mengatasi hal tersebut, menurut hemat penulis, perlu adanya suatu Amandemen Kelima Undang-Undang Dasar, yang menjadikan KPK sebagai lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya seperti Presiden dan Wakil Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Hal ini tentu harus dilakukan guna mewujudkan prinsip-prinsip konstitusionalisme menurut Ni'matul Huda, yang menyatakan bahwa konstitusionalisme adalah suatu prinsip yang mengatur megenai pembatasan kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. 

Dengan adanya konstitusionalisme diharapkan hak-hak warga negara maupun hak-hak lembaga negara akan lebih terlindungi oleh konstitusi. Sehingga terjadi pembatasan kewenangan yang dimiliki oleh KPK dan juga terdapat guideline yang dapat memandu pembentuk undang-undang dalam membentuk UU KPK itu sendiri. 

Sehingga KPK tidak lagi menjadi lembaga negara yang semata-mata hanya dibentuk berdasarkan produk hukum undang-undang, dan juga bukan merupakan suatu open legal policy yang sangat luas bagi pembentuk undang-undang dalam hal mengatur KPK, sehingga KPK tidak mudah untuk dilemahkan atau bahkan dibubarkan.

Hal ini juga diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Denny Indrayana, yang menyatakan bahwa KPK sudah seharusnya berada di dalam konstitusi karena hal tersebut dapat meredam beragam upaya oknum yang ingin melemahkan kewenangan dan keberadaan KPK. 

Selain itu pendapat ini juga diperkuat oleh pendapat Jimly Asshidiqie, yang menyatakan bahwa KPK sudah seharusnya dimasukan kedalam konstitusi karena KPK harus dijadikan lembaga yang permanen, karena jika hanya dibentuk undang-undang, kedudukannya sangat rapuh dan seakan-akan hanya merupakan lembaga yang bersifat sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun