Dalam tananan praksis bagaimana menerapkannya dalam perusahaan dan organisasi? Noni Sri Ayati menjelaskan, Ambedixtrous adalah keseimbangan antara eksploitation dan exploration, antara kemampuan memanage persoalan yang tengah berlangsung dan kemampuan bergerak dan beradaptasi untuk masa depan. Dari berbagai aspek yang bisa dikembangkan, aspek yang menjadi fokus dalam situasi ini adalah tujuan strategik, mengoptimalkan operasi dalam pasar dan teknologi kemudian menemukan teknologi dan model pasar dan pemasaran yang cocok untuk masa depan dari sisi exploration. Sementara itu aspek metodologi, ambidexterity menekankan kemampuan beradaptasi pada sisi exploitation dan entrepreneurial pada sisi eksploratif.
Berbicar tentang kegagalan, senada dengan Noni dan Kevin,Jonathan Sidharta dalam versi lain mengatakan, tidak penting seberapa kali anda jatuh, namun seberapa banyak anda bangun dan berlari itulah yang membuat perbedaan. Lebih jauh dia  menegaskan, jangan pernah jatuh cinta dengan solusi yang anda ambil tapi jatuh cintalah pada setiap masalah yang timbul. Solusi tidak pernah cukup untuk setiap masalah bahkan untuk masalah yang sama dengan waktu dan tempat yang berbeda, bahkan dalam kata-kata penutup di sesinya, Jonathan kembali menggarisbawahi, hidup berbangsa dan bernegara termasuk kita di Indonesia, tidak lepas dari masalah dan pilihannya ada pada setiap anak bangsa, apakah kita hanya berdiri mengutuk dan menggerutu atas setiap masalah yang datang atau berada di tengah setiap masalah untuk memberikan solusi
Junanto Herdiawan dalam sesinya memaparkan hal yang sama, tidak ada jalan pintas untuk sebuah kesuksesan. Dia meyakini, tidak ada orang sukses di dunia ini yang tidak pernah gagal. Orang sukses melewati kegagalan demi kegagalan, melewati badai demi badai, krisis demi krisis. Mengutip sebuah aksara kanji Wei Chi, Junanto menjelaskan kedua aksara kanji itu jika digabung bermakna krisis, walaupun kata pertama berarti bahaya dan kata kedua berarti keberuntungan, artinya dalam setiap krisis selalu ada keberuntungan. Krisis juga berarti ketidakpastian dan nyatanya manusia selalu hidup dalam ketidakpastian, selalu hidup dalam ketegangan ambivelensi. Kegelapan akan selalu ada, apakah kita akan diam menggerutu atau bergerak menyalahkan lilin. Sementara bagi Noni, satu-satunya hal yang tidak pasti adalah kepastian itu sendiri.
Motivasi, Komunikasi dan Budaya.Â
Ki Hadjar Dewantoro, peletak gagasan kepemimpian asli bangsa ini, satu dari tiga prinsip kepemimpiannnya, Ing Madya Mangunkarsa, menekankan pentingnya kehadiaran pemimpin di tengah-tengah organisasi untuk memotoviasi, membangun budaya dan membangun pola komunikasi. Perkembangan teknologi yang begitu cepat tidak saja merubah pola komunikasi tapi juga membuat segementasi antar generasi dalam aspek kecepatan satu generasi beradaptasi. Generesi mana yang cocok  di tengah laju perkembangan teknolgi dan kebutuhan akan kelincahan beradaptasi dan juga keselaran antara eksploitation dan eksploratif? Bagi Junanto, setiap generasi mempunya sejarah dan ceritanya sendiri, tidak ada yang salah dengan generasi saat ini, mereka punya energi, kreatifitas dan kepintaran. Tugas kita sebagai pemimpin yang harus mengoptimalkan potensinya.
Kevin Aluwi, juga melihat dalam skala yang lebih luas, tentang gap antar generasi. Umur hanya sebuah angka, nilai sebenarnya terletak pada setiap individu, mentalitas dan kemauan untuk berubah dan bukan berusaha mempertahankan cara-cara lama karena keengganan untuk berubah. Kehadiaran Covid 19 menuntut pemimpin dalam organisasi harus secara cepat berubah termasuk di dalamnya adalah komunikasi. Diakui, pertemuan-pertemuan secara daring memberi dampak kelelahan pada setiap orang, dan mengusulkan sebuah metode baru yaitu budaya menulis dimana setiap orang yang terlibat dalam sebuah isu bisa menuliskan paparan, metode dan usulan perubahan dalam sebuah dokumen yang bisa dibagikan dalam organisasi untuk dikritisi sebelum meeting daring untuk membahas dan memutuskannya.
Budaya organisasi diyakini menjadi landasan dalam bertindak, sebagai penjaga dan pegangan moral ketika para pemimpin harus memutuskan keputusan-keputusan  penting apakah masih sejalan dengan budaya perusahaan. Junanto Herdyawan, yang lebih memandang dirinya sebagai filsuf ketimbang ekonom ( baginya filsuf adalah ekonom tapi ekonom belum tentu filsuf ), budaya adalah sebuah produk dari kebiasaan baik yang ditanamkan dari kecil yang bertransfomasi menjadi habitus yang pada akhirnya menjadi budaya. Jepang tempatnya menghabiskan 3 tahun penugasan menjadi contoh yang baik, bagaimana kebiasaan baik sudah ditanamkan kepada setiap anak sedini mungkin.
Unicorn-unicorn baru sering memulainya dengan fokus pada keuntungan, pertumbuhan, keberlanjutan dan melupakan pentingnya budaya perusahaan. Hal yang sama diakui oleh Kevin, Gojek juga sedikit terlambat menyadari pentingnya budaya perusahaan atau organisasi. Budaya bukanlah sesuatu yang hanya indah terpampang di plakat organisasi tapi harus merasuk dalam sendi-sendi organisasi dan para pemimpinlah yang berada di depan barisan untuk mengejawantahkan budaya organisasi tersebut.
Memandang masalah
Memulai usaha adalah sesuatu yang postif, jika punya hasrat dan tekad yang kuat. Kevin mengingatkan, jangan hanya ikut arus karena secara statistik, hanya sedikit start up yang mampu bertahan dan sukses. Reset yang kuat dan terus menerus akan masalah yang dihadapi oleh pelanggan, melahirkan solusi dan inovasi-inovasi yang unik dari Gojek.