"Berapa ini mau Bapak jual?" saya bertanya.
"Ah, itu pesanan orang," ia menjawab. "Kalau yang itu seratus sa," ia menunjuk kelewang yang lain.
"Parang itu?" saya menunjuk sebuah parang kebun.
"75."
"Pisau ini?" saya menunjuk pisau yang berserakan di tanah.
"50 sa."
"Bapak bisa hidup ya dengan semua ini?" saya bertanya.
"Yah... Beginilah hidup," ia menjawab lalu menyambungnya dengan tawa.
"Saya punya tiga anak," ia berkata kemudian. "Yang pertama lulus dari Undana. Sekarang kerja di bank, di sorong. Saya baru pulang dari sana tiga minggu yang lalu." Ia berhenti sejenak dan tersenyum dengan bangga. "Yang kedua masih kuliah di Bandung. Kakak lihat alat itu?" Ia menunjuk sebuah benda di samping saya.Â
"Itu alat untuk kipas api. Waktu saya ke Bandung, kunjungi anak saya, saya lihat kok orang-orang di Bandung pakai itu. Ya saya beli. Dulu saya pakai ini untuk kipas api (ia menunjuk alat lain yang terbuat dari roda). Susah pakai ini. Kita harus punya karyawan yang bertugas memutarnya."