"Oh, beta pikir sonde jadi lai (lagi). Beta su (sudah) mau jual pi (kasih) orang."
"Ko su pesan na son (sonde) jadi kermana?"
Charles mengambil parang dari para-para dan menerima uang dari orang itu. Si Orang mengucapkan terima kasih dan berlalu.
"Kalau sedang sehat, berapa parang dan pisau yang Bapak hasilkan dalam satu hari?" saya merevisi kembali pertanyaan saya.
"Bisa dua puluh pisau," Charles menjawab. "Pisau sa (saja). Yah, itu artinya bisa dapat sepuluh parang."
"Bapak jual ke mana?"
"Kadang diambil sendiri sama orang. Kadang saya jual ke Kupang. Kadang juga saya bawa ke Pasar Baru, Kefa. Kadang ke Atambua."
Ia tersenyum dan mulai bekerja kembali. Bunga api memercik. Bayangan bahwa penampang gerinda itu bisa terlepas kapanpun dan menghantam wajah saya membuat saya bangun dan menjauh.Â
Saya belum pernah melihat pandai besi sebelumnya. Bayangan tentang orang yang berpandai-besi hanya datang dari film pendekar, di mana sang guru membuat pedang pusaka untuk muridnya.Â
Menumbuk, membakar besi dan mencelupkan ke dalam air, mengeluarkan bunyi wusss sebelum memukulnya dengan palu. Ada dua besi seukuran paha orang dewasa yang ditancapkan di ruangan itu, kelihatannya sebagai alas untuk memipihkan besi. Di bagian yang lain bertumpuk kayu-kayu bekas yang dipakai untuk membikin gagang.
"Darimana besi-besi ini Bapak dapatkan?" saya bertanya ketika ia berhenti menggerinda.