Di sekitarnya berserakan pisau, parang kebun, maupun kelewang yang baru saja diasah. Bagian pangkalnya telah ditajamkan dan dicocokkan ke dalam gagang kayu yang belum dihaluskan.
"Saya tidak pernah memasang target harus bikin berapa dalam satu hari," begitu katanya saat saya bertanya tentang berapa banyak pisau dan parang yang ia hasilkan setiap hari. "Ini pekerjaan milik saya sendiri. Saya tidak mempunyai bos. Tidak ada yang memerintah. Ini saya kerja saya punya e. Jadi kalau capek, ya saya masuk ke rumah dan beristirahat, tidur-tidur."
Apakah Bapak pernah mempunyai bos? Saya bertanya lagi. Kebanggaan di nada suaranya saat menyebut dirinya sebagai tuan atas dirinya sendiri membuat saya tertarik kepada masa lalunya.
"Saya pernah menjadi tukang bangunan," katanya.
Itu sekitar tahun 1986 sampai 1988, demikian ia berkisah. Ia pergi ke Kupang dan diperkerjakan oleh seseorang yang berasal dari Bali.
"Kakak tahu gedung di Undana yang ada perahu di atas tu, ko?" ia bertanya kepada saya. Saya mengangguk meski belum pernah melihat gedung itu. "Itu kami yang bikin,"katanya dengan bangga.
"Itu adalah masa-masa yang sulit," katanya. "Banyak perempuan yang ikut bekerja juga. Bikin campuran, pikul pasir... Kami dibayar 1500 rupiah per hari."
"Beta pu pesanan mana, Om?"
"Pesanan apa?" Charles balik bertanya.
"Ko parang kemarin tu?"