Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Evaluasi Pemilu 2024 tentang Kegagalan dan Perubahan Peta Politik

16 Februari 2024   10:40 Diperbarui: 16 Februari 2024   11:47 684
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barusan saya belum lama ini bertemu dengan dosen tamu waktu saya kuliah dulu dan senior saya waktu di kampus. Kira-kira kami membicarakan banyak hal seputaran Pilpres kemarin yang mana jelas sekali bahwa hasilnya 03 sendiri diluar dugaan, kalau 02 memang jelas kuat tapi diluar dugaan juga sebenernya karena dia bisa dapet suara sekuat itu, gitu juga 01 yang justru berhasil betul nyalip 03.

Padahal based on sejarah, 03 sempat kuat sekali sehabis ntu digerus sama 02 sampai akhirnya 01 nyalip, dulu masih di angka 40an persen terus turun ke 30an persen sampai di angka kurang dari 25 persen disalip ama 01, dan hasilnya bisa sampai 17 persen. Bahkan Prabowo yang kira2 cuma menang 51-52 persen pun bisa sampe hampir 60 persen, Anies pun ditahan maksimal 25 persen. Artinya apa, ada beberapa implikasi yang menjadi perhatian (ini juga jadi poin omongan kami rame-rame):

1. 03 makin hari makin hentam Presiden Jokowi, dia lupa bahwa selama ini kekuatan Jokowi bisa hebat karena rakyat sekalipun partainya sedikit.

Dia lupa bahwa sosok Jokowi sudah terlalu mengakar di masyarakat, alih2 Ganjar akan ulang histori sama justru makin jeblok 'dihukum oleh rakyat'. Ini juga salah dan pernah dijelasin ama Bambang Pacul bahwa berat melawan Presiden dengan kepuasan tertinggi disamping dia punya instrumen segalanya baik logistik maupun sumber daya. Buktinya di Jateng, Pacul bilang bahwa dapet suara 50 persen aja 03 udah mujizat, target TPN sama PDIP ketinggian kalo 65 persen, akhirnya Ganjar pun cuma dapet 33 persen berbanding Prabowo 56 persen.

Approval Rating Jokowi tertinggi disumbang Jateng dimana mencapai 94 persen warga Jateng. Mereka melihat PDIP itu Jokowi, makanya agak anomali suara PDIP tetap kuat tapi Capresnya tidak. Hal ini juga terjadi sebenarnya di hampir semua titik di Indonesia. Serang Jokowi = Ambrolkan suara. Udah salah di awal.

2. Kemudian hal ini juga banyak terjadi terutama di basis banteng. Percaya atau tidak: desa, kecamatan, kabupaten/kota sampai Provinsi yang selalu jadi lumbung suara PDIP/kandang banteng dimana secara kultur merah selalu menang pun bisa jebol betul. Bahkan ga kira-kira, bukan tipis tapi telak.

Jokowi sedang 'memainkan' betul caturnya dimana memang serangan ke 01 juga ada tapi sebatas 5x lipat dan jelas antitesa Jokowi Pasti ke Anies, cuma yang paling nyesek 10x serangan Jokowi langsung ke Ganjar. Seperti itu, bayangkan Militansi kader dan simpatisan PDIP yang sudah merumput sampai ke RT dan dusun pun dibuat tidak berkutik pada 'serangan' kepada psikologis elektoral pemilih.

Akhirnya caleg pun satu persatu bahkan di kandangnya sekalipun reduce frekuensi untuk kampanyekan Capres karena takut ambrol (jika maksain), Kader dibawah juga dengan keterbatasan yang ada, support dari atas ga sekuat support Pemerintah kepada PSI dan partai 02. Kader juga merasa kesal apalagi PDIP terus terang baik caleg maupun kader berjuang sendirian, andelin partai lain? Kekuatan mereka tidak sehebat partai lain bahkan sudah hampir bahkan memang di zona degradasi.

Alasannya klasik kenapa para pemilih PDIP ga coblos Ganjar? Karena PDIP dan Ganjar apalagi Mahfud terlalu kasar serang Jokowi, bukan serang Prabowo-nya hanya karena Gibran. Otomatis mereka paling cuma kasih suara ke Caleg, tapi Capres (mohon maaf) ke Prabowo.

3. Hal ini juga serupa dengan Anies dimana mereka terlalu menggantungkan isu isu segmented, Anies memang kita lihat adalah pelopor kampanye yang over demokratis (based on kondisi dan literasi politik serta demokratisasi yang ada di Indonesia yang masih belajar berjalan pasca Reformasi) terobosannya memang sekilas dikenal banyak di medsos sebagai 'tawaran perubahan' bayangkan sampai menjadi trendsetter di kalangan Capres bahkan Caleg dimana diskusi atau rembug 2 arah dimana terjadi tanya jawab bahkan adu argumen antara calon dan pemilih sangat masif.

Desak Anies kemudian Slepet Imin sampai 03 bikin Tabrak Prof sampai Tikar Ganjar, belum lagi lama di 02 ada Gimmick Gibran. Semua berusaha untuk jualan 2 arah, setidaknya ada perbaikan pendekatan demokrasi. Tapi tidak lantas laku, karena terlalu dininya demokratisasi di Indonesia menawarkan konsep seperti itu. Orang kita masih terlalu pragmatis dalam menentukan pilihan bahkan yang rasional dari sisi latar belakang pendidikan juga demikian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun