Barusan saya belum lama ini bertemu dengan dosen tamu waktu saya kuliah dulu dan senior saya waktu di kampus. Kira-kira kami membicarakan banyak hal seputaran Pilpres kemarin yang mana jelas sekali bahwa hasilnya 03 sendiri diluar dugaan, kalau 02 memang jelas kuat tapi diluar dugaan juga sebenernya karena dia bisa dapet suara sekuat itu, gitu juga 01 yang justru berhasil betul nyalip 03.
Padahal based on sejarah, 03 sempat kuat sekali sehabis ntu digerus sama 02 sampai akhirnya 01 nyalip, dulu masih di angka 40an persen terus turun ke 30an persen sampai di angka kurang dari 25 persen disalip ama 01, dan hasilnya bisa sampai 17 persen. Bahkan Prabowo yang kira2 cuma menang 51-52 persen pun bisa sampe hampir 60 persen, Anies pun ditahan maksimal 25 persen. Artinya apa, ada beberapa implikasi yang menjadi perhatian (ini juga jadi poin omongan kami rame-rame):
1. 03 makin hari makin hentam Presiden Jokowi, dia lupa bahwa selama ini kekuatan Jokowi bisa hebat karena rakyat sekalipun partainya sedikit.
Dia lupa bahwa sosok Jokowi sudah terlalu mengakar di masyarakat, alih2 Ganjar akan ulang histori sama justru makin jeblok 'dihukum oleh rakyat'. Ini juga salah dan pernah dijelasin ama Bambang Pacul bahwa berat melawan Presiden dengan kepuasan tertinggi disamping dia punya instrumen segalanya baik logistik maupun sumber daya. Buktinya di Jateng, Pacul bilang bahwa dapet suara 50 persen aja 03 udah mujizat, target TPN sama PDIP ketinggian kalo 65 persen, akhirnya Ganjar pun cuma dapet 33 persen berbanding Prabowo 56 persen.
Approval Rating Jokowi tertinggi disumbang Jateng dimana mencapai 94 persen warga Jateng. Mereka melihat PDIP itu Jokowi, makanya agak anomali suara PDIP tetap kuat tapi Capresnya tidak. Hal ini juga terjadi sebenarnya di hampir semua titik di Indonesia. Serang Jokowi = Ambrolkan suara. Udah salah di awal.
2. Kemudian hal ini juga banyak terjadi terutama di basis banteng. Percaya atau tidak: desa, kecamatan, kabupaten/kota sampai Provinsi yang selalu jadi lumbung suara PDIP/kandang banteng dimana secara kultur merah selalu menang pun bisa jebol betul. Bahkan ga kira-kira, bukan tipis tapi telak.
Jokowi sedang 'memainkan' betul caturnya dimana memang serangan ke 01 juga ada tapi sebatas 5x lipat dan jelas antitesa Jokowi Pasti ke Anies, cuma yang paling nyesek 10x serangan Jokowi langsung ke Ganjar. Seperti itu, bayangkan Militansi kader dan simpatisan PDIP yang sudah merumput sampai ke RT dan dusun pun dibuat tidak berkutik pada 'serangan' kepada psikologis elektoral pemilih.
Akhirnya caleg pun satu persatu bahkan di kandangnya sekalipun reduce frekuensi untuk kampanyekan Capres karena takut ambrol (jika maksain), Kader dibawah juga dengan keterbatasan yang ada, support dari atas ga sekuat support Pemerintah kepada PSI dan partai 02. Kader juga merasa kesal apalagi PDIP terus terang baik caleg maupun kader berjuang sendirian, andelin partai lain? Kekuatan mereka tidak sehebat partai lain bahkan sudah hampir bahkan memang di zona degradasi.
Alasannya klasik kenapa para pemilih PDIP ga coblos Ganjar? Karena PDIP dan Ganjar apalagi Mahfud terlalu kasar serang Jokowi, bukan serang Prabowo-nya hanya karena Gibran. Otomatis mereka paling cuma kasih suara ke Caleg, tapi Capres (mohon maaf) ke Prabowo.
3. Hal ini juga serupa dengan Anies dimana mereka terlalu menggantungkan isu isu segmented, Anies memang kita lihat adalah pelopor kampanye yang over demokratis (based on kondisi dan literasi politik serta demokratisasi yang ada di Indonesia yang masih belajar berjalan pasca Reformasi) terobosannya memang sekilas dikenal banyak di medsos sebagai 'tawaran perubahan' bayangkan sampai menjadi trendsetter di kalangan Capres bahkan Caleg dimana diskusi atau rembug 2 arah dimana terjadi tanya jawab bahkan adu argumen antara calon dan pemilih sangat masif.
Desak Anies kemudian Slepet Imin sampai 03 bikin Tabrak Prof sampai Tikar Ganjar, belum lagi lama di 02 ada Gimmick Gibran. Semua berusaha untuk jualan 2 arah, setidaknya ada perbaikan pendekatan demokrasi. Tapi tidak lantas laku, karena terlalu dininya demokratisasi di Indonesia menawarkan konsep seperti itu. Orang kita masih terlalu pragmatis dalam menentukan pilihan bahkan yang rasional dari sisi latar belakang pendidikan juga demikian.
Nyatanya di basis pemilih muda dan pendidikan tinggi juga rerata banyak ke 02. Brarti asumsi ramainya Desak Anies ini tidak berhasil raup pemilih. Pemilih-pemilih yang kabarnya jadi silent majority (mereka juga swing) dimana Litbang Kompas pernah sampaikan 27 persen, itu labuhkan hati di 14/02 ke Prabowo-Gibran. Itulah fakta yang terjadi, mungkin karena politik gimik yang sudah mengakar sampai generasi berikutnya efek Tiktok.
4. Masalah pendukung juga terjadi di 01 yang mana kalangan pendukung yang mungkin jadi penghalang. Dimana mereka lah yang selama ini jualan pol-iden alias politik identitas yang mana menghalangi Swing Voters untuk beralih (mayoritas Swing Voters berdasarkan survey yang ada ialah militan Jokowers sejak lama dimana mereka berasal dari Gen Milenial yang coblos Jokowi sejak 2014 dulu).
Pendukung 01 juga gemanya hanya di medsos dan terlalu menjual intelektualitas tinggi seorang Anies padahal politik itu konsepnya membumi bukan melangit. Kalo memperbandingkan itu rasional tapi kalo sampe melecehkan pilihan orang karena disana terlalu gimmick-able. Itu berbahaya, karena terus terang aja Demokrasi itu bukan hanya mencari suara 'orang pintar' saja melainkan suara semua orang mau pintar maupun bodoh, baik kaya maupun miskin dan tua maupun muda. Jadi hati-hati dalam memainkan narasi wabil khusus timses atau pendukungnya.
Jokowi dimenangkan oleh mayoritas lulusan SMA ke bawah tapi tanpa disadari Prabowo sendiri kini dimenangkan semua basis segmentasi pendidikan sampai S3 sekalipun coblos Prabowo. Sehingga hipotesisnya sangat meleset.
Kalo ditanya rasionalitas, mereka juga punya argumen dan begitu diserang justru reaksinya akan sangat keras. Anies menang atas Pesta Demokrasi terburuk, Pilkada DKI 2017 adalah Pemilihan langsung terburuk sesuai sejarah, jadi itulah penghalangnya serta gema yang mendukungnya itu benar-benar membebani sekali.Â
Akhirnya dari 4 fakta yang telah kami diskusikan pada malam itu, kami berkesimpulan bahwa harus ada penyesuaian dan pendalaman serta perbaikan mengenai beberapa hal antara lain:
Perubahan total strategi tata kelola kepartaian yang ada. Semisal PDIP yang mana harus ada positioning yang mana sebagai partai militan yaitu kepengurusan Pusat yang harus banyak berubah. Memang harus seekstrem itu, karena kepemimpinan Megawati Soekarnoputri tidak bisa banyak sepenuhnya ditolong oleh seorang Hasto Kristiyanto, minimal Sekjen itu harus diganti kemudian perlu ada posisi Ketua Harian dimana harus sosok kader senior yang tidak kalah mumpuni yang bisa turun kebawah sebagaimana di Gerindra, yang mana kemenangan Prabowo terus terang juga banyak ditolong oleh tim yang lebih proper dibawah kepemimpinan Sufmi Dasco Ahmad. Jika 'nahkoda' diubah, maka tentunya tangan-tangan sampai pada cara-cara juga akan banyak berubah, minimal ada perbaikan. So pasti, PDIP begitu juga partai-partai kalah harus konsisten sebagai Oposisi agar bisa sukses. Oposisi yang konstruktif dan berbasis rasionalitas, dimana seperti era SBY, PDIP memimpin Oposisi di Parlemen dengan suara yang kuat, tapi juga elegan dengan alternatif yang tidak sekedar 'asal beda' atau 'mencari kesalahan' tapi tawarkan narasi-narasi perbaikan dan tentunya lebih pada menjaga demokratisasi hingga kebawah. Bisa galak asal tetap cerdas.
Evaluasi total kaderisasi dibawah utamanya akar rumput. Setelah konsolidasi after Kongres 2024 yang rencananya akan berlangsung pertengahan tahun ini. PDIP sebagai Partai Oposisi Utama dimana kursi dan suaranya justru terkuat secara Nasional belum lagi dia juga cukup banyak memenangkan kursi di DPRD. Harus bisa anggap ini sebagai opportunity untuk mencalonkan kader terbaiknya. Strategi era SBY di 2009 harus digalakkan dimana kesuksesan Kota Surabaya juga dimana ada Risma, Solo karena Jokowi (harus dipungkiri) karena DPP mendengar suara akar rumput untuk menentukan siapa yang akan cocok menghadapi Pilkada 2024 besok. Masih ada 27 November 2024 dimana Pilkada Serentak ini akan menjadi Pilkada pertama di era Kepresidenan yang baru, PDIP harus bisa jalin komunikasi yang profesional kepada Partai-Partai oposan (non KIM lain) seperti Nasdem, PKB dan PKS dan PPP (jika memang lolos) untuk bagaimana membangun kekuatan yaitu memastikan kader-kader terbaiknya sesuai pada usulan mayoritas dari bawah. Jika memang DPP semua sepakat mencalonkan, apalagi tentu sosok-sosok membumi ini kapabilitasnya tidak diragukan belum lagi 'jam terbang' maka harus didorong betul. Karena, dengan harapan jika kader-kader Oposisi banyak berperan di Pemerintahan lokal bahkan bisa perform tanpa bantuan dari Pusat sekalipun, akan mengundang banyak simpatik karena sekalipun Partai-Partai tersebut harus terlempar dari kekuasaan, namun mereka ibarat 'Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti'. Sekali mereka jatuh, lahirlah kaderisasi yang baru untuk tampil.
Perlu pencerdasan dalam narasi politik di samping keterbukaan secara mendalam menyesuaikan pada tantangan zaman. Maksudnya adalah strategi dari partai-partai oposisi ini yang sudah istiqomah bersikap, dimana mereka harus pintar-pintar juga memanfaatkan kondisi Pemerintah yang ada dimana konsolidasi dari kubu mereka. Mereka harus menghindari politik kebencian namun murni bermain gagasan, tapi harus ada bau-bau menaikkan popularitas juga, terus terang mereka juga perlu banyak belajar dari 02 dimana mereka sukses menjual popularitas media yang mana berhasil menghilangkan rasionalitas. Oposisi harus bisa membuktikan bahwa mereka bisa menerjemahkan 'perjuangan' mereka agar sampai pada narasi rakyat. Ingat, pemerintahan siapapun itu tidaklah sempurna pasti ada saja kebijakan atau kondisi yang tidak menyenangkan. Oposisi hadir dengan santun, tidak lantas menyerang tapi bisa menawarkan sesuatu yang lebih elegan. Mungkin bisa pula dari komitmen kepemimpinan di daerah yang dipimpin para oposan.
Pemilu memang selalu membangun perpecahan. Sikap ksatria dari Oposisi untuk mengakui salah dan jadi agen persatuan. Oposisi yang tentu mau mengakui kekalahan dan berusaha untuk bersatu tapi tidak lantas main 'asal terima' melainkan harus berperan sebagai teman berpikir yang baik dan itu harus dinarasikan pada bahasa-bahasa rakyat. Oposisi juga harus turun langsung menjadi agen persatuan di kalangan, mereka bukan lantas pada narasi ingin Pemerintah jatuh, melainkan secara logis Pemerintahan harus tetap stabil namun ada yang mengingatkan secara elegan. Intinya mengulang seperti kondisi PDIP di era SBY sudah bisa menjadi contoh oposan yang baik, PKS pun harus bisa belajar, wabil khusus Nasdem dan PKB yang baru 'nyemplung'. Dukunglah jika memang mereka bisa mendengar, tapi ingatkan bila mereka kurang. Ciptakan dan pastikan suasana demokrasi tetap terbangun, kalau memang dari golongan sebelah terkesan menggerus Demokrasi. Pastikan Oposisi menjadi yang terdepan mengawal dan memperbaiki itu. Ruang itu harus terus dibuka, dan kesan dari Anies Baswedan itu sudah sepenuhnya benar : Negara harus hadir untuk semua tidak lantas mengatur pikiran masyarakat karena kebebasan bagi siapapun harus dijunjung tinggi, tapi disatu sisi perlu diingat jika menyentuh klausul pelanggaran hukum maka harus ditindak sesuai hukum siapapun itu tanpa pandang bulu. Jika oposisi salah, tidak mesti dibela jika memang secara etik dan konkritnya tidak berkenan secara hukum (menjadi tidak kondusif).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H