"Intinya transisi menuju energi hijau itu harus super hati-hati. Jangan sampai malah membebankan R&D; yang mahal, proses transisi yangg mahal ini kepada masyarakat, kepada rakyat kecil."
Untung saja saat itu Mahfud MD (mungkin karena waktunya tidak cukup). Jika dia menangkap saja masalah ini, akan larinya kepada masalah Kendaraan Listrik yang serampangan dan Hilirisasi yang ugal-ugalan.
Jika katanya transisi dan R&D yang memberatkan. Justru bisa saja singgungannya lari kepada transisi listrik nikel pada kendaraan. Dimana transisi yang super hati-hati justru harusnya ditujukan kepada Menteri-Menteri yang sekarang getol sama ekosistem energi hijau tapi kurang ancang-ancang jadi rada memaksa dan orientasinya kepada bisnis. Justru malahan sekarang apa yang namanya energi hijau terlalu eksploitatif dan malahan justru ditunjukkan oleh kubunya sendiri.
Mungkin disitu pula makanya Mahfud malas menanggapi karena sepertinya memang terlihat Gibran juga tidak akan banyak mengetahui, malah ujungnya akan seperti kasus CCS kemarin atau Tax Ratio yang melantur kemana-mana. Makanya, begitu saat Gibran ditanya oleh Mahfud, kelihatan sekali bahwa Gibran tidak lebih baik bahkan dari seorang Jokowi sekalipun. Apa itu?
Manakala Mahfud menunjukkan data-data soal importasi pangan sembako yang mana justru menunjukkan kenaikan. Mahfud menyinggung debat 2019 dimana data impor bahan pangan Indonesia. Impor beras, misalnya, disebut Mahfud mencapai 2,8 juta ton, kedelai mencapai 2 juta ton serta gula pasir mencapai 4 juta ton.Â
Padahal Jokowi klaim bahwa dia tidak akan impor bahkan meminimalisir secara total apalagi disinggung pula soal Food Estate bagaimana korelasi keberhasilannya. Yang mana, ini selalu digaungkan oleh 02, bahwa soal impor akan semakin berkurang justru bukan hanya volume tonasenya semakin bertambah, malahan justru komoditasnya pula yang semakin diimpor.Â
Terlepas pula situasi El Nino yang terjadi nyatanya impor sudah masif terjadi sejak awal periode Jokowi yang kedua. Imbasnya disinggung Mahfud malahan justru sarat akan mafia kartel dan tengkulak ditandai pada tetap mahalnya harga diakibatkan pada permainan mafia tersebut.Â
Justru, yang ada petani dan peternak bahkan nelayan alias produsen dari bahan pangan semakin tercekik pula akibat pupuk yang mahal. Sehingga imbasnya, Mahfud juga ingin bertanya bagaimana pandangan Gibran dimana beliau adalah eks kader PDIP dan keluarga Jokowi adalah Soekarnois, konsep Trisakti Bung Karno pandangannya yaitu pada poin berdikari ekonomi yang diejawantahkan pada kemandirian pangan?
Tentunya, Gibran berkelit pada momen ini, senada dengan debat lalu soal Tax Ratio dimana Gibran malah memakai analogi dan ujungnya mutar kemana-mana. Gibran, malah menyangka bahwa pertanyaan ini terkesan menakut-nakuti masyarakat dimana Food Estate adalah program gagal dan justru dia terkesan sangat membela program ini tanpa mau sedikitpun menarasikan bahwa ada yang perlu direfleksi pada paradigma yang terjadi.Â
Alih-alih dia berusaha dengan argumen yang rada cerdas, 'jurus berputarnya' dilakukan dengan menarasikan soal El Nino makanya soal beras terpaksa Indonesia impor lagi, sekalipun volume yang diimpor justru melebihi kekurangannya. Jika kurang 1,5 ton malah diimpor lebih dari 4 ton. Ini juga kurang tepat.Â
Kemudian, Gibran lagi-lagi menarasikan bahwa Indonesia pernah swasembada beras, padahal ayah beliau yaitu Presiden Joko Widodo sekalipun saat Indonesia pernah dapat penghargaan FAO di 2022 karena sejak 2019 swasembada, nyatanya hanya beras konsumsi saja. Beras Produksi untuk olahan atau industri? Tetap saja impor.Â