Alih-alih boosting dalam tax ratio atau mungkin rasio penerimaan secara maksimal. Lebih baik fokus mendorong tatakelola penerimaan itu agar maksimal dan tidak terjadi kebocoran, maka demikian celahnya harus dipotong juga melalui program-program yang sebenarnya bisa diefisienkan dan tetap optimal serta fokus pada konsepsi cepat dan unggul.Â
Maksudnya, Pemerintahan Ganjar-Mahfud tidak dalam konteks menambah beban, justru beban yang sudah ada warisan Presiden Jokowi akan dirasionalkan dengan cara-cara yang lebih terbaharui dan juga mengoptimalkan semuanya dengan paradigma yang lebih efektif lagi. Maka demikian, demi mewujudkannya memang perlu juga seperti yang ditegaskan dalam debat adalah upaya menurunkan ICOR hingga 4 persen demi Pertumbuhan Ekonomi 7 persen, apalagi memanfaatkan pula momentum jika skenario booming economy jadi.
Semisal dalam rangka mewujudkan 17 juta lapangan kerja maka butuh sebuah terobosan efisiensi Ekonomi. Karena sebenarnya sekali lagi kuncinya bukan bagaimana kita fokus dalam mengelola sebagaimana tangan-tangan para pemangku kepentingan dan pelaksana, namun seberapa efektif tangan-tangan tersebut mampu melaksanakan arahan-arahan yang sebenarnya sudah terkoridor secara betul. Maka demikian, dari siratan narasi yang dilancarkan oleh Prof Mahfud dalam debat bukan sekedar bagaimana hilirisasinya, teknologinya dan juga investasinya dan pertumbuhan industrinya.Â
Namun soal keberlanjutan dan kepastiannya sehingga hari demi hari semakin maksimal. Sehingga secara konkrit, yang terjadi investasi semakin bertumbuh bukan lantas sekali saja datang namun selesai begitu saja. Tapi hari demi hari, mereka akan banyak menyerap tenaga kerja secara formal bahkan bisa bersinergi dengan masyarakat lokal semisal dalam berbagai dukungan operasional penguatan investasi itu sendiri. Bahkan tenaga kerja yang direkrut pun juga akan berkualitas, makanya ada program 1 Keluarga Miskin 1 Sarjana dan Sekolah dapat gaji lulus langsung kerja dimana ini adalah penguatan dari program SMKN Jateng yang bahkan menjadi percontohan oleh Presiden Jokowi selain apresiasi.
Larinya juga pada narasi soal ICOR atau Rasio Pertumbuhan Modal terhadap Investasi, seperti yang dijelaskan apabila berhasil ditekan rendah maka akan terjadi multiplier effect. Efeknya adalah jika cost yang inefisien seperti birokrasi berbelit bahkan menimbulkan celah korupsi bahkan yang selama ini menjadi kearifan lokal tidak lantas ditekan. Maka, investasi juga tidak akan maksimal pada pertumbuhan pembangunan di wilayah tersebut. Bahasa kasarnya, sudah habis duluan uangnya dimakan jin. Mungkin seperti yang dikatakan oleh Gus Muhaimin di Kabupaten yang kaya akan industri, rakyatnya bisa miskin.
Ya karena ICOR tinggi itu dimana daya beli turun, banyak masyarakat tidak terakses pekerjaan, serta perputaran uang habis untuk usaha-usaha yang inefisiensi tadi. Maka demikian, pengawasan dan penegakan kedaulatan hukumnya musti maksimal dan salah satunya berkorelasi pula pada gagasan KTP Sakti dimana sebenarnya adalah 1 data yang terintegrasi dan sudah terpusat sehingga tidak ada lagi ego sektoral bahkan ruang celah manipulatif yang berkorelasi pada upaya-upaya koruptif.Â
Dimana semua sudah berjalan secara jelas dan transparan. Imbasnya akan lebih kompleks, semisal akan ada kemudahan mekanisme untuk perizinan sehingga banyak usaha-usaha baru terbuka. Jika izin juga mudah, otomatis banyak masyarakat juga berwirausaha disamping berkolaborasi dengan Investasi asing agar sama-sama memperkuat sinergi membangun daerah dan Nasional.
Sebagian yang digagas disini juga adalah program-program yang berkaitan dengan Kesehatan dan Stunting. Mungkin korelatif dengan tugas Wapres yang kelak jika Mahfud MD akan menjabat akan menjadi portofolio yang harus diurai. Serta sebenarnya ada aspek penegakan hukum dan lebih terpusatnya berbanding dengan program kompetitor yang dengan anggaran besar sekalipun 400 Triliun Rupiah itu dibagi-bagi kepada UMKM dan sampai pada tingkat sekolah. Namun, kompleksitas isu yang mendukung proses program tersebut juga harus diperhatikan semisal logistik, dan juga kepastian dari bahan pangan yang alih-alih memberatkan fiskal lebih baik fokus pada penegasan diawal.Â
Bahwa stunting juga bukan masalah anak usia sekolah, tapi ibu yang bahkan masih usia remaja dan belum menikah agar mereka juga tetap bernutrisi, berlanjut pula pada 1000 hari Hari Pertama Kehidupan berarti sejak masa kandungan juga lebih penting, dan itu perlu sebuah penyuluhan sejak dini tidak hanya sekedar anak tersebut lahir dan usia sekolah saja. Maka jelas perlu ada kader posyandu yang berasal dari keluarga per keluarga dan itu digaji dengan layak, karena mereka adalah garda terdepan dalam proses sosialisasi.
Selain juga 1 Puskesmas 1 Desa 1 Nakes. Spesifiknya ke Puskesmas Pembantu harus ada Dokter yang melayani dan ini merupakan Investasi yang lebih relevan bahkan dari segi fiskal sebenarnya tidak lebih membebani dibandingkan makan siang gratis yang menghabiskan dana setara biaya bangun IKN.Â
Pernah dibahas tim pakar TPN Ganjar-Mahfud bahwa inovasi yang ada sebenarnya bisa diurai pada Birokrasi, Insentif, dan Kolaborasi. Birokrasi yang harus dipangkas menjadi penting karena jangan sampai ada mekanisme berbelit-belit dalam menumbuhkan tenaga kesehatan baru baik mantri kesehatan maupun dokter umum atau dokter spesialisasi kedokteran keluarga layanan primer yang memperkuat Puskesmas.Â