Belum lama saya mengamati narasi dan juga argumentasi seorang Budiman Sudjatmiko soal keluarnya ia dari PDIP, kemudian soal dukungan terhadap Prabowo Subianto dan terbaru perkara kekeliruan untuk mendukung Ganjar seolah flashback pada 2014 dimana kepemimpinan idealnya harus transformatif dimana ada inovasi alias perubahan yang sejalan dengan skala yang ingin didapat.Â
2014 saat itu adalah kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang sangat membumi dan turun kebawah seperti halnya seorang Joko Widodo yang notabene juga lahir dari bawah sebagai Walikota dan Gubernur, dimana ia memang belajar dan langsung naik begitu saja tanpa pengalaman di Nasional minimal untuk menjadi DPR RI.Â
So, pasti saat itu kebutuhan kepemimpinan lebih diutarakan pada antitesa terhadap kepemimpinan yang sebelumnya 2004-2014 yaitu Susilo Bambang Yudhoyono adalah sosok militer kalem dan lebih santun namun yang disayangkan sedikit banyak berjarak (flamboyan) sekaligus hanya terpaku dalam 'kekakuan' militer ditengah ketidakpastian sekalipun diawal memang kepemimpinan beliau bisa dilalui dengan baik mulai dari bencana nasional hingga krisis global, kelemahannya adalah ketidakstabilan politik sehingga perlu ada sosok yang lebih mampu menjawab dan merasakan maunya rakyat.Â
Saat itu dimiliki oleh Joko Widodo, dan euforianya jelas bahwa populisme sedang 'membara' kala itu. Budiman mengamini bahwa saat itu cara PDIP sudah benar.
Hanya 2024 tantangannya akan berbeda, krisis sekarang makin melebar bahkan perlu sebuah siasat yang lebih kreatif dan mungkin memang pendekatan ala kemiliteran musti dibutuhkan yaitu perlunya siasat strategis. Dimana komponen kepemimpinan yang pandai menjawab dan memahami isu globalisme sekaligus mampu berpaku pada diplomasi jaringan yang solid, paling tidak pada kemampuan 'dalaman' yang sudah sangat terasah dengan baik. Strategis dalam arti wawasan global dan wawasan nusantaranya juga sinkron dengan baik menunjukkan bahwa Indonesia punya nasionalisme yang tegas dan tidak gampang terpaku dengan arah.Â
Mengingat, proses menjawab tantangan ketidakpastian butuh sebuah kerja keras diatas yang lebih seimbang antara soft dan hard diplomacynya. Makanya wajar saja kenapa Prabowo Subianto bisa dipertimbangkan oleh Budiman. Kepemimpinan Strategis adalah mengacu pada proses tingkat tinggi yang tentu sangat rumit untuk dijawab. Bahkan terus terang Jokowi sendiri masih belajar namun memang ada progres peningkatan di periode kedua, mulai terlihat pada seni yang ditampilkan saat pandemi hingga pada usaha mendamaikan krisis Ukraina-Rusia dan G20 dimana Indonesia mulai semakin bersinar, Jokowi bisa menjawab itu semua.Â
Periode pertama, hampir urusan seperti ini menjadi ranah Wakil Presiden yang sekaligus 'manner teacher' yaitu Jusuf Kalla, dimana sejak masa SBY memang beliau yang selalu berdepan.Â
Budiman mengatakan bahwa padanan Stratejik-Populis sebagai sebuah keniscayaan. Ganjar Pranowo adalah Populisme murni dimana ia tampil dalam kesederhanaan serta kemampuan ia untuk turun dan menjawab solusi yang lebih mikro dengan pendekatan yang lebih fleksibel ala kulturalisme. Sebenarnya, tiada salah namun tidak elok untuk dipertentangkan dan menjadi keliru ketika 'Papan 1' dipimpin oleh yang cenderung sama dengan basic kepemimpinan 2014-2024 yaitu Joko Widodo, hanya saja menjadi rumit apabila 'Papan 1' dituntut lagi untuk menekankan pada 'manner' ala sisi yang mungkin lebih Nasional bahkan sekarang tuntutannya adalah Global sekalipun memang seorang Ganjar bisa mencari Wakil Presiden yang terkesan sama seperti halnya Prabowo Subianto namun kurang tepat saja pembawaannya. Lagian, sebenarnya Prabowo Subianto menurut Budiman memang basicnya adalah sosok yang hangat sekalipun ditengah pertentangan bahwa dia dulu terkenal arogan dan tempramental kini berubah menjadi 'rada alus' tapi memang Prabowo dikenal sangat bersahabat. Termasuk dengan siapapun yang pernah menjadi 'rivalnya' semua atas dasar Persatuan dan Merah Putih sebagai pencirian ia seorang Nasionalis Sejati, layaknya seorang Soekarnois. Intinya antara Ganjar dan Prabowo keduanya juga sangat mafhum atas nilai-nilai Soekarnois. Hanya dibedakan pada spektrum spesifik ideologisnya saja. Ganjar condong kekiri, Prabowo condong ketengahan.
Rakyat yang notabene kini didominasi oleh milenial yang kritis dahulu melihat Prabowo sebagai seorang patriotik namun punya beban masa lalu yaitu HAM bahkan diamini dahulu oleh Budiman. Sekarang sudah berubah dimana Prabowo terlihat sebagai seorang Menhan sangat 'istiqomah' belajar pada kesederhanaan dan keterbukaan sebagai seorang Pelayan bukan hanya seorang Pemimpin yang notabene berada di 'Menara Gading', memang sebenarnya Prabowo juga semakin Populis dan Ganjar juga bisa semakin Stratejik. Hanya saja kita melihat pada tantangan kedepan bahwa perlu ada sosok yang bisa amankan. Kurang lebih hal ini juga sebenarnya yang diharapkan oleh para 'lingkaran Jokowi' yang mungkin punya rasionalitas bahkan Prabowo juga berharap demikian.Â
Sebenarnya dalam hati kecil seorang Prabowo jelas membutuhkan pendamping muda yang bahkan bisa berjalan selayaknya Jokowi sekarang. Mengingat, Prabowo kini selain faktor usia dia juga tidak dalam passion untuk berusaha dalam konteks populisme alias dalam garis besar kepemimpinan yang mikro bukan makro yang lebih pada komunikasi tingkat tinggi.Â