Kaget sembari heran dan juga bereaksi keras. Itulah sikap yang menjadi opini pribadi saya setelah mendengar bahwa moda transportasi andalan saya jika bepergian pada akhirnya akan diwacanakan naik.Â
Memang sudah sekian lama saya hidup di Jakarta utamanya pada usia sekolah hingga sekarang. Transjakarta memang tak jauh dari hidup saya.Â
Tiketnya yang murah baik sejak zaman masih pakai karcis hingga sekarang lewat kartu e-money bahkan berbagai bank saya miliki entah BCA pernah, BNI, Mandiri bahkan BRI.Â
Bahkan melalui aplikasi 2 tahun terakhir yaitu terkoneksi dengan e-Wallet juga, Transjakarta pernah menerapkan yaitu melalui LinkAja dan pernah saya nikmati tinggal scan QR Code dari HP saya. Tapi memang belakangan sudah tidak berlaku lagi, kembali ke optimalisasi sistem kartu saja.
Saya tidak tahu mungkin karena kompatibilitas terhadap jaringan penyedia kartu dengan prasarana yang dimiliki yaitu gate yang tidak sinkron sehingga cenderung lamban jika membaca.Â
Setidaknya pahit dan manis Transjakarta sudah saya lalui mulai dari masa Transjakarta masih memakai moda bus yang 'abal-abal' kemudian Transjakarta juga bertransformasi sampai pada Bus keluaran Eropa, kemudian penambahan koridor yang berbentuk layang juga saya pernah nikmati.Â
Bahkan hidup saya mungkin hampir separuh identik dengan Transjakarta. Ibarat istilah sekarang kalau lagi 'gabut' atau bosan di rumah. Wisata 'murahan' ya dengan naik Transjakarta bisa kemanapun dan kapanpun. Bahkan kalau lebih pagi bisa sampai biaya termurah yaitu sekitar 2000 rupiah.Â
Mantap bukan?Â
Ibaratnya masa jaya Transjakarta pernah saya nikmati dimana akhirnya Transjakarta mampu memastikan headwaynya juga semakin stabil kurang lebih sekitar 2016-2019 lalu dimana Transjakarta terintegrasi dengan aplikasi Trafi yang mana mampu menghitung akurasi kedatangan dan posisi Transjakarta secara solid.Â
Kemudian halte yang perlahan tapi pasti direvitalisasi walau sebagian juga karena imbas terkena proyek. Pokoknya armada juga sedang banyak-banyaknya utamanya sudah sampai menyasar non BRT dimana saat itu Pemprov juga gencar 'memberantas' Bus rongsok seperti Kopaja, Metromini, dll berubah menjadi Minitrans dan Metrotrans, dimana tarifnya tidak semahal Kopaja dan Metromini, tidak ugal-ugalan, cukup 3500 sama dengan Reguler bisa nyaman dengan AC plus aman karena ada CCTV dan GPS yang bisa tracking dengan mudah.Â
Halte non reguler juga diperbaiki untuk menyesuaikan, kemudian transformasi tersebut juga menyasar ke Angkot yang belakangan berubah menjadi Mikrotrans Jaklingko, bahkan tarifnya 0 rupiah bisa kemana saja.Â
Tidak terasa memang waktu sudah berjalan berputar. Transjakarta sudah berusia 19 tahun sejak beroperasi di 2004. Kemudian Transjakarta resmi dikelola PT semenjak tidak lagi dilayani oleh BLUD dibawah Dinas Perhubungan DKI sejak 2014 lalu dimana Operator-operator yang terpisah dalam suatu koridor berbasis kemitraan berubah dalam 1 bendera yaitu dalam PT Transportasi Jakarta.Â
Dimana soal perjalanan tiket, 2007 lalu atau tepat 16 tahun lalu. Gubernur DKI Jakarta saat itu yaitu Fauzi Bowo menaikkan tarif menjadi 3500 rupiah yang patokannya setara dengan Patas AC reguler atau Bus AKDP kalau di daerah non Jabodetabek pada masa itu.Â
Sekarang nilai segitu sudah setara dengan 7800 rupiah bahkan tarif bus yang menjadi benchmarking Transjakarta di masa itu sudah berada di atas kisaran 10 ribu rupiah.Â
Benar sekali argumentasi DTKJ atau Dewan Transportasi Kota Jakarta yang sebagai Advisory Council dari Pemprov DKI memang mengatakan sudah seharusnya naik bahkan secara asumsi mustinya sejak 10 tahun lalu sudah naik ke angka 4000-5000 rupiah.Â
Semisal seperti usul sekarang, 4000 untuk jam non sibuk sementara 5000 untuk jam sibuk. Justru ini yang tidak masuk logika, karena namanya disinsentif kalau pada akhirnya jam sibuk diberi tarif mahal.Â
2013 lalu Gubernur DKI yang kini jadi Presiden, yaitu Joko Widodo juga sempat mewacanakan kenaikan tarif menjadi 4000-5000 rupiah tentu sesuai usulan dan kajian dari DTKJ.Â
Singkat cerita batal karena TJ saja berantakan, harus dibenahi dan Transformasi secara besar-besaran saat itu agar tidak membebani Pemda secara saat itu ramai juga kisruh soal korupsi pengadaan bus yang terungkap di masa itu yang mana 'kebobrokan' tersebut sudah lama terjadi seolah menjadi perilaku korupsi yang sistematis yaitu di kalangan birokrat sehingga pengelolaan Transportasi harus diorientasikan pada profesionalisme ala bisnis namun tetap dengan jaminan Pemerintah karena ini adalah layanan publik.Â
Justru Pemprov malah semakin menambah PSO yang sebelumnya sekitar 400 M akhirnya menjadi 1 Triliun bahkan kini saja sudah mencapai 2 Triliun guna mendorong adanya perubahan sistem tatakelola dan peningkatan layanan Transjakarta.Â
Puncaknya di 2019 ketika akhirnya Transjakarta mencapai 269 juta pelanggan kemudian dilayani 247 rute terintegrasi dengan KRL, LRT dan MRT dengan 4000 lebih hingga detik ini armada yang melayani baik single bus reguler, articulated atau gandeng, kemudian bus medium seperti minitrans (¾) maupun metrotrans yaitu low deck hingga Mikrotrans alias mikrobus setara van. Kemudian mampu beroperasi hingga 24 jam di beberapa titiknya seperti yang dinamakan Amari (Angkutan Malam Hari) maupun Andini (Angkutan Dini Hari)
Kejayaan itu sirna setelah hasil yang berbuah dan meraih penghargaan di 2020-2022 tidak berlangsung lama. Setelah PPKM akhirnya mulai mereda lebih tepatnya akhir 2021 sudah mulai adanya penurunan layanan dan puncaknya yang terjadi di tahun 2023 ini seolah bertolak belakang dengan rencana kenaikan.Â
Opini pribadi saya mengatakan bahwa sebenarnya ini bukan hal yang bagus. Kalaupun terjadi kenaikan kenapa harus momennya sekarang dimasa kepemimpinan transisi yang dipimpin oleh Pj?Â
Seharusnya kalaupun memang dinaikkan apa tidak menunggu kepemimpinan baru saja yaitu disaat Gubernur definitif hasil Pilkada 2024 nanti sudah menjabat.Â
Sekitar 2025 dan 2026 nanti atau tepat 18-19 tahun sejak kenaikan harga atau 10 tahun sejak Transjakarta sudah menjadi PT. Lagian, kalau pakai penilaian awam saya, transformasi Transjakarta baik sarana dan prasarana hingga kualitas layanan belum sepenuhnya selesai.Â
Bahkan jeleknya justru belum selesai pekerjaan, hasil yang sebagian sudah dikerjakan secara simultan malah tumpul alias berantakan. Bayangkan saja soal kecelakaan Bus yang terjadi, kemudian pengaturan armada yang sembarang berikut imbasnya pada tingginya headway yang mengakibatkan desak-desakan.Â
Kemudian informasi publik yang serampangan mengakibatkan disinformasi yang membuat berantakan, belum lagi ketimpangan layanan antara Koridor Kota dan Pinggiran belum selesai berikut dengan kepastian sterilisasi jalanan.Â
Lebih parah lagi integrasi layanan yang berantakan koelasinya dengan tap in dan tap out yang berantakan, belum lagi layanan feeder seperti Mikrotrans yang menuai masalah seperti sumber daya yang ugal-ugalan mengakibatkan ketidak nyamanan.Â
Intinya masih banyak pula PR yang harus diberesi, antara menuntaskan Transformasi dengan memperbaiki yang sudah ada dan sebelumnya ditransformasikan.Â
Masih ada 2 tahun hingga Gubernur definitif terpilih dilantik. Waktu lebih dari cukup sebenernya, mohon para pemangku kepentingan. Pertimbangkan ini lebih dalam. Semoga saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H