Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Finlandia Bikin Insecure namun Indonesia Jadi Inspirasi, What's Wrong?

11 Maret 2023   17:40 Diperbarui: 11 Maret 2023   17:48 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rendahnya literasi menjadi sebuah momok mengingat literasi adalah kunci dimana kita sangat tertinggal. Secara asumsi mempengaruhi pula dari segi rata-rata IQ maupun pada kompabilitas atas ethos kerja. Dimana karena asumsi masyarakat Indonesia baik dalam media teknologi maupun dalam karya tulis dan baca sangat rendah apalagi bicara numerasi atau penghitungan. Rata-rata IQ kita pun serendah itu di angka 78. 

Dibawah 100 yang menunjukkan bahwa banyak potensi yang tidak biaa digarap dan kompleksitas masalahnya menggerus nilai kompetensi dari manusia kita. Ya kalau bicara perbandingan ethos, semisal di Finlandia kemampuan lulusan Sarjana bahkan Magister kita pun tidak lebih baik daripada seorang Diploma I bahkan SMA sekalipun. 

Saking memang 'bobrok' cara mendidik Negara kita terhadap masyarakatnya karena ini adalah Tujuan Negara dalam Konstitusi. Terkesan bahwa kita hanya terbuai dalam kata-kata makanya lulusan kita lebih banyak pada pekerjaan yang lebih banyak berbicara bukan yang mendorong keahlian yang terpadu. 

Kita hanya bisa terima jadi bahkan terkesan 'diperbudak' atas dasar zona nyaman tanpa mau berusaha turun serta menciptakan zona nyaman kita yang mana kita sendiri musti berani dan tangguh dengan kemampuan kita. Mental kita bukan mental pencipta melainkan mental pekerja, sehingga dari pendidikan dari kurikulumhya bisa ketahuan bahwa kita hanya diajak untuk mempelajari bukan sekedar mencipta maupun mengembangkan konsensus yang ada supaya lebih aplikatif. 

Semua dituntut untuk pintar namun tidak dituntut untuk bisa bergerak. Maka demikian Kurikulum kita sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai Ki Hajar Dewantara yang berorientasi pada kesetaraan, untuk tidak standarisasi atau pemeringkatan melainkan tempat belajar harus menjadi tempat yang nyaman untuk semua berekspresi sesuai kemampuan mereka dengan harapan tercipta generasi yang sejatinya bisa rasional dan kritis tanpa mengesampingkan adanya perbedaan. 

Melainkan sejatinya tempat belajar itu semuanya punya motivasi yang sama adalah berlomba-lomba menjadi manfaat bukan sekedar memetik sebuah manfaat. Dimana prinsip N3, yaitu Niteni, Nirokake, Nambahi. Niteni berarti adalah kemampuan secara cermat untuk mengenali dan menangkap makna dari suatu objek. Lebih ke  proses kognitif yang berusaha untuk mencari kebenaran akan sesuatu. Sedangkan Nirkokake dan Nambahi berarti meniru dan mengembangkan. Dalam hal ini, objek didikan harus mau untuk mengembangkan pikirannya, menerima perbedaan dan membuat sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.

Intinya adalah seperti itu. Saya berharap banyak dengan segudang inovasi dari Menteri Pendidikan sekarang yang diluar dunia Pendidikan. Memang terlepas banyak kontroversi dan dia merupakan didikan barat bukan murni ketimuran seperti kita. Hanya saja melalui Kurikulum Merdeka Belajar dan sebenarnya beliau juga ingin mengusungnya dalam Revisi UU Sisdiknas (Omnibus Law Pendidikan) yang muaranya adalah Efektivitas dan Efisiensi. Hanya saja saya masih punya 'suara' bahwa pendidikan yang nyaman dan bersahabat untuk semua bisa bereksplorasi dengan dunianya bukan hanya dikelas melainkan di masyarakat bisa tercapai. Tentu keseimbangan antara akhlak dan kemajuan teknologi diselaraskan dengan Kearifan lokal untuk menyeimbangkan generasi untuk lebih secara batiniah bisa menyikapi tantangan kedepan. Yaitu mental yang siap untuk Dunia Karir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun