Finlandia yang terletak di Skandinavia, Eropa Utara merupakan negara yang secara subyektif maupun obyektif bisa dikatakan perfect karena mentalitas sumber daya manusia mereka yang jempolan sekalipun mereka demokratis dan juga sekuleris alias bebas dari pengaruh agama maupun kebudayaan yang kaku/tradisional.Â
Mereka bergerak dengan kemampuan generasi penerus mereka yang dikelola dengan baik sehingga muaranya bukan sekedar negara tersebut berbicara soal kemakmurannya saja dalam segi potensi namun kebahagiaan yang didasari pada cara hidup masyarakat nya yang benar-benar berkualitas.Â
Yang tentu ditunjang oleh Sistem atau Kurikulum Pendidikan Finlandia yang dikenal terbaik bahkan menjadi role model utamanya negara-negara berkembang dalam memastikan agenda  pembangunan berkelanjutan (SDGs) itu bisa tercapai, tidak terkecuali Indonesia yang sekarang sedang menggarap Kurikulum Merdeka Belajar yang lahir sebagai pembaharu menjawab tantangan dunia hari demi hari yang sarat akan ketatnya persaingan.Â
Dibutuhkan cara belajar yang lebih fleksibel dan menyentuh pada fokus akan dunia kerja. Bukan sekedar teoritik yang monoton dan membuat jenuh dimana muaranya justru tidak memberi rasa ketangguhan mereka dalam merespon sesuatu. Kurang lebih bisa terlihat dalam Infografis diatas keunggulan atau fakta dari Pendidikan di Finlandia.Â
Semua diselaraskan dengan asas Evidence Based Policy yang mana Rational Choicenya adalah mengacu pada fleksibilitas dan juga menghargai segenap potensi dan juga kekurangan yang ada agar kelak semua disikapi dengan evaluatif. Bukan terkesan kaku dan kencang mendorong banyak aspek namun sejatinya tidak relevan karena tidak banyak terpakai. Seolah disayangkan, dan uniknya adalah Finlandia sendiri justru belajar dari Indonesia.Â
Benar sekali, bahwa pada medio 1970-1980an dan berlangsung simultan selama 20 tahunan mereka belajar bukan sekedar membaca namun mencoba mengaplikasikan skema gagasan dari Taman Siswa yang dipopulerkan oleh Bapak Pendidikan Nasional, yaitu Ki Hajar Dewantara. Bukan sekedar diilhami namun benar-benar dijalankan sehingga berhasil. Kita patut berbangga namun sedikit banyak berintrospeksi. Mengapa mereka bisa dan kita tidak?
Ini juga sebagai kritik bagi Kebijakan dan juga Respon Negara menghadapi investasi sumber daya manusia yang suka berubah-ubah bahkan seolah bukan makin maju malah makin mundur. Ganti Menteri Ganti Kurikulum seolah menjadi momok dalam rangka memastikan bahwa pendidikan kita kunjung membaik.Â
Sedih bukan ketika kita tahu kita di peringkat 60an bahkan disalip oleh negara-negara tetangga termasuk Malaysia yang dahulu pernah impor guru dari kita karena dinilai kita mumpuni. Lebih-lebih di masa Orba hingga Kurtilas, menurut subyektifitas saya yang didasari opini banyak orang. Pola belajar anak dituntut untuk bisa multitasking dan multitalenta tanpa memastikan bahwa itu dilaksanakan dengan serius bahkan seringkali bertentangan dengan bidang yang dicapai. Muaranya kita lihat bahwa spesifikasi sumber daya alias usia produktif kita tidak sejalan dengan pasar kerja. Makanya ini yang perlu dituntun dalam sebuah 'cetak biru' yang baru yaitu Regulasi atau Kurikulum yang lebih 'Merdeka'. Bayangkan saja, bagaimana pendidikan bisa menjadi ramah ketika aspek kebahagiaan dan kesejahteraan tidak diakomodir.Â
Memang materi juga menjadi masalah namun soal substansi karya yang mana guru-guru sendiri orienrasinya malah menjadi pegawai yang pada akhirnya mereka pun malah condong komersil bukan tanggungjawab sosial lagi. Toh kerjaan mereka juga bukan lagi fokus mendidik apalagi di sekolah Negeri yang mana sebagai Pegawai Negara mereka dituntut tugas-tugas administrasi. Bagaimana mereka ingin berinovasi dalam cara belajar mereka agar bisa sesuai dengan perkembangan zaman. Ujungnya mereka pun malah termakan waktu untuk bekerja sebagai pegawai tersebut.Â
Belum lagi kesejahteraan yang relatif belum memadai, ditambah kesenjangan antara prasarana atau fasilitas yang dibutuhkan dalam pengajaran yang compatible di masa depan. Pokoknya complicated, dan pandemi mengajarkan kita bahwa narasi itu tidak bisa dengan mudah dijawab oleh narasi. Harus dengan kerja panjang dan kolaboratif yang mana tidak bisa Instan melainkan simultan. Jujur kita banyak tertinggal
Rendahnya literasi menjadi sebuah momok mengingat literasi adalah kunci dimana kita sangat tertinggal. Secara asumsi mempengaruhi pula dari segi rata-rata IQ maupun pada kompabilitas atas ethos kerja. Dimana karena asumsi masyarakat Indonesia baik dalam media teknologi maupun dalam karya tulis dan baca sangat rendah apalagi bicara numerasi atau penghitungan. Rata-rata IQ kita pun serendah itu di angka 78.Â
Dibawah 100 yang menunjukkan bahwa banyak potensi yang tidak biaa digarap dan kompleksitas masalahnya menggerus nilai kompetensi dari manusia kita. Ya kalau bicara perbandingan ethos, semisal di Finlandia kemampuan lulusan Sarjana bahkan Magister kita pun tidak lebih baik daripada seorang Diploma I bahkan SMA sekalipun.Â
Saking memang 'bobrok' cara mendidik Negara kita terhadap masyarakatnya karena ini adalah Tujuan Negara dalam Konstitusi. Terkesan bahwa kita hanya terbuai dalam kata-kata makanya lulusan kita lebih banyak pada pekerjaan yang lebih banyak berbicara bukan yang mendorong keahlian yang terpadu.Â
Kita hanya bisa terima jadi bahkan terkesan 'diperbudak' atas dasar zona nyaman tanpa mau berusaha turun serta menciptakan zona nyaman kita yang mana kita sendiri musti berani dan tangguh dengan kemampuan kita. Mental kita bukan mental pencipta melainkan mental pekerja, sehingga dari pendidikan dari kurikulumhya bisa ketahuan bahwa kita hanya diajak untuk mempelajari bukan sekedar mencipta maupun mengembangkan konsensus yang ada supaya lebih aplikatif.Â
Semua dituntut untuk pintar namun tidak dituntut untuk bisa bergerak. Maka demikian Kurikulum kita sekarang ini sudah jauh dari nilai-nilai Ki Hajar Dewantara yang berorientasi pada kesetaraan, untuk tidak standarisasi atau pemeringkatan melainkan tempat belajar harus menjadi tempat yang nyaman untuk semua berekspresi sesuai kemampuan mereka dengan harapan tercipta generasi yang sejatinya bisa rasional dan kritis tanpa mengesampingkan adanya perbedaan.Â
Melainkan sejatinya tempat belajar itu semuanya punya motivasi yang sama adalah berlomba-lomba menjadi manfaat bukan sekedar memetik sebuah manfaat. Dimana prinsip N3, yaitu Niteni, Nirokake, Nambahi. Niteni berarti adalah kemampuan secara cermat untuk mengenali dan menangkap makna dari suatu objek. Lebih ke  proses kognitif yang berusaha untuk mencari kebenaran akan sesuatu. Sedangkan Nirkokake dan Nambahi berarti meniru dan mengembangkan. Dalam hal ini, objek didikan harus mau untuk mengembangkan pikirannya, menerima perbedaan dan membuat sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Intinya adalah seperti itu. Saya berharap banyak dengan segudang inovasi dari Menteri Pendidikan sekarang yang diluar dunia Pendidikan. Memang terlepas banyak kontroversi dan dia merupakan didikan barat bukan murni ketimuran seperti kita. Hanya saja melalui Kurikulum Merdeka Belajar dan sebenarnya beliau juga ingin mengusungnya dalam Revisi UU Sisdiknas (Omnibus Law Pendidikan) yang muaranya adalah Efektivitas dan Efisiensi. Hanya saja saya masih punya 'suara' bahwa pendidikan yang nyaman dan bersahabat untuk semua bisa bereksplorasi dengan dunianya bukan hanya dikelas melainkan di masyarakat bisa tercapai. Tentu keseimbangan antara akhlak dan kemajuan teknologi diselaraskan dengan Kearifan lokal untuk menyeimbangkan generasi untuk lebih secara batiniah bisa menyikapi tantangan kedepan. Yaitu mental yang siap untuk Dunia Karir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H