Menjelang Pesta Demokrasi yang tinggal setahun lagi. Waktu yang seakan tidak terasa ditengah dinamika yang terjadi dalam pemerintahan negara ini.Â
Itu seolah partai-partai sedang bermain posisi bahkan sudah pasang 'kuda-kuda' untuk mempertahankan maupun mengambil 'ladang baru' dalam kontestasi politik.Â
Pada masa yang kaya akan bonus demografi seperti ini sejatinya politik juga musti semakin cerdas dan matang.Â
Politik itu sejatinya berbicara soal kebenaran, soal bagaimana memikirkan solusi dan juga memikirkan bagaimana eksistensi sebuah bangsa dan negara agar kedepannya lebih baik.Â
Hanya saja, yang menjadi masalah, belum selesai dengan perkara politik identitas dimana seringkali banyak tokoh atau elemen politik selalu menggaungkan bahwa dominasinya ialah yang benar dan kuat.
Bahkan narasi itu sudah mengarah pada 'personally' seseorang tentang status yang sudah melekat. Sementara negara kita dibangun atas keberagaman yang sejatinya musti bersatu.Â
Kini isu politik sudah mengarah pada populisme dimana kadarnya sudah over dan menghilangkan akal sehat ditengah rendahnya literasi bangsa tentang memahami sesuatu dinamika yang dirasa perlu sebuah kematangan, seperti politik.Â
Populisme dalam politik memang tidak salah, isu-isu yang sangat membantu dan menarik hati rakyat tidak salah karena semua bisa jadi muncul karena inisiatif kepedulian seseorang untuk murni membantu.Â
Namun kadang populisme yang terlalu over bisa berlebihan bahkan seolah tidak sehat. Seperti timbulnya narasi langit bahkan dari sebuah partai besar tentang isu yang sangat 'impossible' namun memang bisa menjual.Â
Sebagai contoh, SIM seumur hidup dan pajak motor dihapus dan baru saja ada janji sebuah partai tentang listrik dan pupuk gratis bagi petani sampai pada usul bahwa menghapus jabatan Gubernur.Â
Semua selalu mengeluarkan narasi kontradiktif bahwa apa yang terjadi selama ini tidak merakyat namun seringkali mereka lemah dalam argumentasi.
Narasi tersebut setidaknya bisa dilaksanakan secara bertahap melalui analisis paling tidak 5W+1H terkait isu tersebut mulai garis besar hingga pada kebijakan konkrit turunannya atau rencana aksinya baik dalam regulasi, bahkan modalnya seperti apa. Lantas apa semua sudah dipikirkan secara matang?
Ini menjadi pertanyaan besar guna menggugah nalar kritis tentang sebuah narasi yang rendah argumentasi.
 Apakah modal kajian itu sudah benar-benar diperhitungkan dengan matang sehingga tidak saling bertentangan, tidak konstitusional atau tidak mengawang-awang.Â
Saya rasa melalui fenomena ini memang sudah dirasa sangat tepat supaya Partai yang katanya merakyat tidak jadi 'beban rakyat'.Â
Membentuk Lembaga Think Tank atau Lembaga Pemikir seperti LSM atau Pusat Studi dari Universitas yang isinya juga sama-sama dari akademisi atau siapapun dari unsur kepakaran yang bisa menjadi dewan penasihat (diluar struktur resmi).
Untuk mengajak para elite yang sebenarnya juga kurang rasional dalam menentukan keputusan menanggapi atau merealisasikan sebuah isu yang berkembang di masyarakat.Â
Thinktank thinktank partai itu harus benar-benar diberikan ruang dan harus masif bergerak di masing-masing partai. Biasanya berikan semua kepada anak muda yang punya kepedulian pada garis atau nilai dasar atau visi partai yang semuanya berjalan dengan baik.Â
Namun selama ini yang menjadi masalah adalah pelaksanaan visi dalam sebuah narasi kebijakan atau alternatif ihwalnya sebuah partai yang selalu menyerap aspirasi dan juga memberikan respon dalam sebuah statement atau bahkan narasi politik yang tentunya menentukan sikap mereka terhadap dinamika tersebut.
Think tank bisa memberikan sebuah garis atau arahan yang benar, misalkan mereka bekerja dengan data, dengan informasi yang sahih dan semua bisa dipandang secara ilmiah berikut juga mereka bisa mengawal proses pendidikan politik dan kaderisasi di elemen parpol dengan harapan bahwa Partai juga bisa berpikir dan bertindak secara cerdas.Â
Pogram atau kebijakannya bisa berkembang secara berbobot bukan sekedar kuantitas melainkan kualitas.Â
Bukan hanya meraup banyak konstituen atau memperkuat eksistensi melainkan pada tujuan besar untuk mendorong dan juga ikut menginspirasi bangsa untuk bergerak bersama sesuai visi besar Parpol yang sebenarnya tidak bertentangan bahkan melengkapi garis besar Pancasila dan UUD 1945.Â
Jadi kuncinya demikian, menghindari kebijakan, narasi, bahkan sikap politik yang serampangan apalagi jika ini dijual ke masyarakat tentu harus berdasarkan kajian yang berbobot.
Dan itu musti bebas dari kepentingan yang menguntungkan sepihak selayaknya setiap apa yang diputuskan mengedepankan unsur ilmiah sekaligus membangun kolaborasi karena setiap apa yang diputuskan bukan bertujuan untuk saling menjatuhkan melainkan sebagai 'benteng' yang kuat dalam melengkapi sebuah politik konstruktif.Â
Apapun pandangannya, apapun modalnya semua demi kebaikan bersama. Baik koalisi Pemerintah maupun Oposisi, baik elite yang memutuskan maupun kalangan pemikir yang memberikan argumentasi, baik para politisi maupun elemen rakyat yang kritis dan rasional.Â
Kelak, tidak ada lagi narasi-narasi blunder dari politisi yang bukannya mengenyangkan perut, bukannya memberi inspirasi sebagai negarawan malah cuma menambah hiburan yang jelas hanya membuat terlena sesaat. Mari semangat berpolitik dengan cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H