Berita tentang Calon Wakil Presiden saat ini terus terang sangat menghangat di jagat media. Menjelang 2024 apalagi bulan-bulan ini sudah mendekat awal tahun 2023 dimana tahun politik tsb dimulai, koalisi ataupun partai sudah bersiap pada tahap 'memanaskan mesin' ibarat ingin lepas landas menaiki sebuah motor untuk sampai pada kerja yaitu Kontestasi Pilpres.Â
Variabel Wakil sangatlah menentukan arah kemana sebuah Pemerintahan itu akan diusung dan kedepannya dipromosikan kepada rakyat, bahkan bukan hanya sejak 2024.Â
Posisi Wakil sebenarnya sangat seksi di 2019 dimana yang kita sama-sama tahu cukup banyak juga bursanya untuk menjadi Calon Wakil untuk Petahana saat itu dan juga untuk posisi lawan juga tidak beda dari 2014.Â
Seperti yang kita tahu tidak ada poros ketiga mengulang 5 tahun sebelumnya, bahkan untuk posisi Wakil pun ada yang sudah ngebet bahkan sampai promosi di pinggir-pinggir jalan.Â
Suatu hal yang mungkin membingungkan, dimana-mana orang Promosi tidak pernah jadi nomor 2 selalu nomor 1. Ternyata usut punya usut jikalau ybs berhasil menduduki posisi Calon Wakil dan akhirnya menang. Bisa menjadi kansnya untuk maju sebagai papan 1 di 2024
Namun sepertinya kejadian ngebet jadi Wakil terulang kembali di 2024 nanti. Oke, belajar dari pengalaman yang sudah ada baru-baru ini. Memang baru 2 orang yang sudah declare untuk menjadi Capres yaitu Prabowo Subianto yang jelas didukung oleh Gerindra dan kebetulan Gerindra dan PKB sudah menjajaki koalisi yaitu Kebangkitan Indonesia Raya sambil terbuka peluang dengan partai lain.Â
Sedangkan yang satunya adalah Anies Baswedan yang diusung oleh Partai Nasdem sebagai Calon Presiden untuk 2024 setelah sebelumnya mereka berdalih sudah memilih 1 dari 3 calon yang beredar dan katanya usul DPW. Kini sedang intens dalam Koalisi Perubahan bersama 2 Partai Oposisi yaitu PKS dan Nasdem.Â
Dan sebentar lagi kita tidak tahu apakah Ganjar Pranowo akan diusung oleh PDIP bersama koalisi atau bagaimana. Namun terus terang yang saya tahu bisa jadi Pilpres 2024 nanti demi menghindari polarisasi semestinya lebih dari 2 paslon agar alternatif itu semakin terbuka tidak hanya dari sosok itu-itu saja.Â
Hanya saja kan memang Petahana juga tidak maju di Pilpres besok, bukan? Sehingga hawanya akan cenderung berbeda, kalaupun dari pure Pemerintahan bisa jadi hanya Prabowo karena jelas dia masih Menteri Pertahanan di era Presiden sekarang, Joko Widodo. Tapi kan Wapres sekarang KH Ma'ruf Amin tidak nyalon, meski katanya siapapun yang jadi Wapres Jokowi punya kans kuat untuk maju di 2024.Â
Ternyata itu juga yang menjadi alasan kenapa Kyai Ma'ruf yang dipilih barangkali saat itu. Bukannya Mahfud MD. Nah berarti kan untuk Bursa Cawapres tentunya heboh di 2 Calon yang declare yaitu siapa yang tepatnya jadi Wapresnya Prabowo atau jadi Wapresnya Anies. Ini juga menjadi sebuah tanda tanya? Mengapa?
Posisi seorang Calon Wakil Presiden saat ini sangatlah menjadi incaran bahkan menjadi deal yang konkrit dalam menentukan suatu Koalisi sebelum mereka akan mendaftar ke KPU.Â
Seperti postingan sebelumnya saya mengutip pernyataan pemilihan Calon Wakil ibarat Perjodohan yang bukan keinginan para penganten, hanya terang-terangan penganten cuma memberi usul dan semua harus disepakati dan merepresentasikan banyak pihak yang kelak bisa mendorong popularitas dan elektabilitas terutama pada variabel visi-misi atau arah Pemerintah kedepan yang ingin diusung.Â
Terus terang ada benarnya juga bahwa Posisi Cawapres butuh perenungan panjang, tidak bisa semata-mata dipilih karena ego mengingat jika salah pilih tentu menjadi beban elektoral bukan menjadi berkah elektoral yang bisa dinamakan sebagai Coattail dan Mutualisme. Yang mana, jika Cawapres dari golongan A maka golongan A akan pilih Capres tsb dan sebaliknya golongan A secara derajat dalam sosial kemasyarakatan juga akan terangkat atau disegani.Â
Karena jelas putra terbaik mereka bisa menjadi Papan 2. Walau cuma papan 2 lhoo. Belajar saja dari pengalaman bahwa pernah seorang Wapres dari suku Bugis, otomatis suku Bugis juga terangkat derajatnya (meski suku tsb juga memang sudah disegani sejak dahulu, hanya kalah populasi saja dengan Jawa) namun semakin disegani lagi karena tokohnya menjadi pucuk pimpinan di Bangsa dan Negara ini. Makanya jelas bahwa posisi Cawapres itu selalu ditentukan dengan saling mengamati lawan per lawan dan selalu last minute. Misalkan yang Petahana dulu diberi waktu tentukan Cawapres, kemudian lawan 1 baru lawan berikutnya. Intinya masing-masing nama selalu memberi kejutan.Â
Variabel menentukan Cawapres jika disimulasikan memang sangatlah kompleks, menentukan juga siapa yang akan disoroti untuk menjadi lumbung suara.Â
Seperti contoh jika seorang Presiden berasal dari Jawa (kalau variabel lelaki dan muslim sebagai contoh ideal sepertinya yang bertarung kedepan pasti lelaki dan muslim) kemudian dia seorang Militer, dan dia seorang yang berpartai dan masih menjabat dalam Pemerintahan sekarang, tentu harus mencari sosok yang pembeda bisa jadi sosok yang latar belakang arsitek, dia sebelumnya tidak berkecimpung di Pemerintahan Pusat, kemudian profesional non partisan kalau perlu representasi anak muda, dan tentunya non Jawa misalkan Sunda (yang tidak terlalu jauh dari Jawa).Â
Apa yang diharapkan? Dan ini juga bisa diturunkan ke visi-misi bahkan program teknis atau spesifikasi pembangunan yang akan diusung dalam Pemerintahan seperti apa berdasarkan pada tuntutan Global yang seperti apa?. Seperti jika Capresnya nya seorang Militer dia adalah sosok yang tangguh, Patriot, tegas dan umumnya Diplomatis, karena umumnya Jenderal itu punya kemampuan kolaborasi dengan negara lain kemudian Cawapres arsitek adalah tipe pemikir, visioner dan mampu mengkalkulasi segala kemungkinan dengan pilihan rasional lewat gagasan-gagasan ulungnya.Â
Itu baru 1 variabel profesi: Militer dan Arsitek belum Variabel 1nya seperti kesukuan : Jawa dan Sunda. Otomatis, basis suara dan kelak juga fokus pembangunan juga intens misalkan wilayah yang mayoritas Jawa dan Sunda akan allout memenangkan calon tsb dan tentunya Pembangunan fokus kesitu (ingat suku Jawa tidak hanya di Jatim dan Jateng or DIY, di Lampung mayoritas Jawa, bahkan Bengkulu dan Sumut juga). Jadi akan sangatlah kompleks sama halnya seperti Visi-Misi tadi. Tidak bisa ditentukan begitu sudah terbentuk Koalisi seperti KIB yang sebenarnya sudah pas baik Capres maupun Cawapres bisa ditentukan namun belum kunjung juga.Â
Padahal apa sih kehebatan seorang Wapres jikalau paslon tsb terpilih? Ini sebuah kesimpulan saja bahwa Wapres itu hanya dipakai sebagai alat pendorong Elektoral saja, dia sebagai tokoh utama berpasangan dengan Presiden namun dalam Pemerintahan tidak lebih dari sebuah bawahan bahkan perannya tidak semaksimal para Menteri. Wapres ketika masih Cawapres hanya dilihat masyarakat begitu masa kampanye sebagai bagian dari Capres itu sendiri, ketika Ma'ruf Amin dilihat meraup basis Nahdliyin dan juga Jusuf Kalla meraup basis Indonesia Timur (Iramasuka : Irian Maluku Sulawesi Kalimantan).Â
Dan nama mereka foto mereka terpampang di kertas suara, maka jika seseorang hanya melihat tokoh Wapresnya sudah dipaketkan juga bahwa mereka juga memilih Presiden nya, belajar dari Sulawesi Selatan 2014 menang Jokowi karena melihat JK, 2019 tidak ada orang Bugis yasudah tidak ada yang milih dan kalah.Â
Dalam kerja mereka bagaimana? Mereka satu bagian dengan Kepala Negara namun tidak berperan sebagai Eksekutor. Jatuhnya malah menjadi simbol bahkan ban serep secara seremoni mewakili Kepala Negara. Padahal tidak bisa berbuat apa-apa, paling tidak hanya memberi saran ataupun usul.Â
Makanya pernah baca juga dalam satu artikel bahwa Mantan Wapres Amerika Serikat pernah berkata bahwa posisi Wapres adalah "posisi tertinggi yang diraih dan tidak harus dipertanggungjawabkan" kasarnya lha wong tidak punya wewenang memiliki aturan bahkan tidak mempertanggungjawabkannya ke MPR kalau sidang tahunan hanya nonton saja tapi dianggap Pimpinan.Â
Hal ini juga diamini diperkuat dengan kata mantan Wapres Indonesia bahwa kekuatan Wapres itu bukan dari produk hukum, hanya dari dia mengikuti rapat dan menuliskan notulensinya untuk diusulkan dipertimbangkan lagi. Produk hukum seperti Peraturan hanya ada Presiden dan Menteri sama Kepala Daerah, mana ada Peraturan atau Keputusan Wakil Presiden. Jadi wajar saja Wapres pun dalam roda pemerintahan tidak bisa sepenuhnya disalahkan namun tidak bisa sepenuhnya diapresiasi karena mereka tidak punya kuasa eksekusi.Â
Justru malah lebih sibuk dalam urusan-urusan direktif Kepresidenan adalah para Menko dan juga dibebankan langsung kepada Menteri teknis. Kalaupun yang kita tahu bahwa, Wapres pernah punya kuasa yaitu adalah disposisi Rapat Kabinet dan tidak semua, hanya bidang-bidang yang misalkan saja diberikan secara tidak tertulis Presiden meminta untuk Wapres juga koordinir, namun usul dari Rapat tsb diserahkan lagi dalam Ratas Presiden, terus apa bedanya juga dengan Rakor di Kemenko langsung ke Presiden?Â
Kurang lebih Wapres bertanggung jawab juga (meski bukan eksekutor) dalam bidang seperti Penanggulangan Kemiskinan, Stunting, Otonomi Daerah, Papua, Olahraga Nasional, Pengendalian Inflasi, sama Ekonomi Syariah dan Reformasi Birokrasi, belum lagi bidang lainnya yang sebenarnya tak diatur spesifik dalam Keppres.Â
Jadi begitulah nasib seorang yang akan dan kelak menjadi Wakil Presiden. Dia juga musti paham bahwa dia adalah primadona karena merepresentasikan kepentingan sekaligus mampu meraih suara atas kepentingan yang dia emban. Namun, begitu halnya dia menjabat, ketokohan bahkan sinar cemerlangnya akan memudar oleh karena posisinya yang selalu selangkah dibelakang Presiden bahkan tidak berperan sama sekali dalam perumusan suatu kebijakan, karena semua ditentukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, tidak ubahnya Wakil lah yang menunjukkan simbol suatu negara. Bukan bekerjanya roda suatu (pemerintahan) negara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H