Posisi seorang Calon Wakil Presiden saat ini sangatlah menjadi incaran bahkan menjadi deal yang konkrit dalam menentukan suatu Koalisi sebelum mereka akan mendaftar ke KPU.Â
Seperti postingan sebelumnya saya mengutip pernyataan pemilihan Calon Wakil ibarat Perjodohan yang bukan keinginan para penganten, hanya terang-terangan penganten cuma memberi usul dan semua harus disepakati dan merepresentasikan banyak pihak yang kelak bisa mendorong popularitas dan elektabilitas terutama pada variabel visi-misi atau arah Pemerintah kedepan yang ingin diusung.Â
Terus terang ada benarnya juga bahwa Posisi Cawapres butuh perenungan panjang, tidak bisa semata-mata dipilih karena ego mengingat jika salah pilih tentu menjadi beban elektoral bukan menjadi berkah elektoral yang bisa dinamakan sebagai Coattail dan Mutualisme. Yang mana, jika Cawapres dari golongan A maka golongan A akan pilih Capres tsb dan sebaliknya golongan A secara derajat dalam sosial kemasyarakatan juga akan terangkat atau disegani.Â
Karena jelas putra terbaik mereka bisa menjadi Papan 2. Walau cuma papan 2 lhoo. Belajar saja dari pengalaman bahwa pernah seorang Wapres dari suku Bugis, otomatis suku Bugis juga terangkat derajatnya (meski suku tsb juga memang sudah disegani sejak dahulu, hanya kalah populasi saja dengan Jawa) namun semakin disegani lagi karena tokohnya menjadi pucuk pimpinan di Bangsa dan Negara ini. Makanya jelas bahwa posisi Cawapres itu selalu ditentukan dengan saling mengamati lawan per lawan dan selalu last minute. Misalkan yang Petahana dulu diberi waktu tentukan Cawapres, kemudian lawan 1 baru lawan berikutnya. Intinya masing-masing nama selalu memberi kejutan.Â
Variabel menentukan Cawapres jika disimulasikan memang sangatlah kompleks, menentukan juga siapa yang akan disoroti untuk menjadi lumbung suara.Â
Seperti contoh jika seorang Presiden berasal dari Jawa (kalau variabel lelaki dan muslim sebagai contoh ideal sepertinya yang bertarung kedepan pasti lelaki dan muslim) kemudian dia seorang Militer, dan dia seorang yang berpartai dan masih menjabat dalam Pemerintahan sekarang, tentu harus mencari sosok yang pembeda bisa jadi sosok yang latar belakang arsitek, dia sebelumnya tidak berkecimpung di Pemerintahan Pusat, kemudian profesional non partisan kalau perlu representasi anak muda, dan tentunya non Jawa misalkan Sunda (yang tidak terlalu jauh dari Jawa).Â
Apa yang diharapkan? Dan ini juga bisa diturunkan ke visi-misi bahkan program teknis atau spesifikasi pembangunan yang akan diusung dalam Pemerintahan seperti apa berdasarkan pada tuntutan Global yang seperti apa?. Seperti jika Capresnya nya seorang Militer dia adalah sosok yang tangguh, Patriot, tegas dan umumnya Diplomatis, karena umumnya Jenderal itu punya kemampuan kolaborasi dengan negara lain kemudian Cawapres arsitek adalah tipe pemikir, visioner dan mampu mengkalkulasi segala kemungkinan dengan pilihan rasional lewat gagasan-gagasan ulungnya.Â
Itu baru 1 variabel profesi: Militer dan Arsitek belum Variabel 1nya seperti kesukuan : Jawa dan Sunda. Otomatis, basis suara dan kelak juga fokus pembangunan juga intens misalkan wilayah yang mayoritas Jawa dan Sunda akan allout memenangkan calon tsb dan tentunya Pembangunan fokus kesitu (ingat suku Jawa tidak hanya di Jatim dan Jateng or DIY, di Lampung mayoritas Jawa, bahkan Bengkulu dan Sumut juga). Jadi akan sangatlah kompleks sama halnya seperti Visi-Misi tadi. Tidak bisa ditentukan begitu sudah terbentuk Koalisi seperti KIB yang sebenarnya sudah pas baik Capres maupun Cawapres bisa ditentukan namun belum kunjung juga.Â
Padahal apa sih kehebatan seorang Wapres jikalau paslon tsb terpilih? Ini sebuah kesimpulan saja bahwa Wapres itu hanya dipakai sebagai alat pendorong Elektoral saja, dia sebagai tokoh utama berpasangan dengan Presiden namun dalam Pemerintahan tidak lebih dari sebuah bawahan bahkan perannya tidak semaksimal para Menteri. Wapres ketika masih Cawapres hanya dilihat masyarakat begitu masa kampanye sebagai bagian dari Capres itu sendiri, ketika Ma'ruf Amin dilihat meraup basis Nahdliyin dan juga Jusuf Kalla meraup basis Indonesia Timur (Iramasuka : Irian Maluku Sulawesi Kalimantan).Â
Dan nama mereka foto mereka terpampang di kertas suara, maka jika seseorang hanya melihat tokoh Wapresnya sudah dipaketkan juga bahwa mereka juga memilih Presiden nya, belajar dari Sulawesi Selatan 2014 menang Jokowi karena melihat JK, 2019 tidak ada orang Bugis yasudah tidak ada yang milih dan kalah.Â
Dalam kerja mereka bagaimana? Mereka satu bagian dengan Kepala Negara namun tidak berperan sebagai Eksekutor. Jatuhnya malah menjadi simbol bahkan ban serep secara seremoni mewakili Kepala Negara. Padahal tidak bisa berbuat apa-apa, paling tidak hanya memberi saran ataupun usul.Â