Tentu sangatlah miris, apalagi penduduk di negara berkembang sangatlah banyak sementara negara maju sangatlah ramping. WHO sebenarnya juga cenderung inkonsisten, terkesan sebagai himbauan saja biar kelihatan manusiawi (pandangan orang mungkin). Padahal bayangkan saja, dari sekian banyak negara yang memproduksi vaksin sekalipun, yang benar-benar disetujui adalah cuma segelintir seperti Pfizer dan Astrazeneca. Sedangkan vaksin lain? Yang nyatanya terbukti aman. Malah belum, berarti WHO juga cenderung manut terhadap kepentingan vaksin globalis yang sebenarnya sama-sama belum teruji keabsahannya, seolah ada kecenderungan permainan mengingat WHO adalah badan PBB dan PBB sendiri adalah bagian dari Negara Kapitalis seperti Amerika Serikat.
Salah satu yang saya ingat juga dari Rawls adalah bagaimana dia mencirikan konsepsi perbedaan yang ada dalam dunia sebagai sebuah esensi penting mewujudkan keadilan, singkatnya adalah bagaimana perbedaan melahirkan sebuah keterbukaan dalam arti pula kesetaraan kepada siapa saja untuk peluang hidup yang lebih baik meskipun pada akhirnya ada pihak yang merasa tidak mendapatkan sebuah keuntungan (bukan kerugian). Ini adalah soal opportunity bagaimana tiap individu atau tiap negara punya kesempatan minimal akses untuk hidup lebih baik, haknya sama sekali tidak dikurangi. Walaupun dengan proses pengurangan terhadap siapapun yang merasa berlebih untuk mau berbagi peluang atau kebutuhan terhadap yang lebih rendah atau tertindas untuk survive menuju lebih baik. (Rawls, 1971:75).
Semua harus mampu menyesuaikan pada kaidah aturan berlaku, sama rata sama rasa seperti layaknya pandangan Marx terhadap Sosialisme, namun bila berkaca pada situasi ini bisa ditarik lurus menuju aspek yang lebih humanistik bilamana situasi darurat seperti ini seharusnya pula siapapun yang kuat juga harus mau menopang yang lemah demi kebaikan secara bersama. Hal ini yang sama sekali masih jauh dari dambaan untuk Penanganan Covid-19 Global kedepan utamanya soal Vaksin.
To The Point saja, berkaca pada penanganan Pandemi dan juga upaya Vaksinasi di Indonesia. Semua selalu berlandaskan pada keadilan, namun akankah semua sudah berlangsung secara adil? Atau lagi-lagi Negara masih saja dihadapkan pada situasi untung dan rugi, sehingga harus melihat aspek keekonomiannya dulu dimana mereka harus mendahulukan siapa saja yang punya privilege karena kontribusi mereka seperti mereka-mereka yang mampu membayar lebih untuk itu?
Saya rasa tidak keduanya, namun ketidakadilan pun masih saja terjadi. Seolah pemerintah pun lepas tangan, bukan berarti melakukan melainkan membiarkan proses ini berjalan begitu saja. Layaknya sebuah Negara yang cenderung kapitalistik dimana Otoritas yang seharusnya masih punya andil untuk kondisi tertentu malah melepaskan tangan layaknya Invisible Hand. Mekanisme pasar berlaku, dimana siapapun yang beruntung maka akan mendapatkan sesuai dengan hasilnya, meskipun Pemerintah sendiri berpegang teguh bahwa “Vaksin untuk Semua” alias semua bisa mengakses Vaksin tanpa terkecuali mengingat hal ini adalah sesuatu yang Basic apalagi Darurat yang melanda sejauh ini.
Sungguh sesuatu yang sangatlah dilematis. Apalagi saya juga cukup mengkritisi bagaimana langkah Negara akhirnya menyerahkan sebagian wewenang vaksinasi terhadap swasta melalui Vaksinasi Gotong-Royong atau Mandiri dimana Korporasi berperan layaknya Negara menjalankan proses vaksinasi terhadap mitra kerjanya baik karyawan dan keluarga atau siapapun yang berhubungan dengan Korporasi tersebut, rencananya gratis mengingat dari pihak Perusahaan sendiri menanggung dengan biaya CSR dan dinilai mencukupi, Ini sebagai opsi tanpa harus menghilangkan Vaksinasi Gratis Program Pemerintah
Disisi lain saya jadi mengingat bagaimana Rawls sendiri mengkritisi pandangan soal Demokrasi Liberal yang kembali lagi mengacu pada aspek keadilan, kurang lebih intinya adalah mengacu soal keragaman yang terjadi sekarang ini, konteksnya adalah pilihan vaksin.
Demokrasi Liberal sendiri mengisyaratkan kebebasan terhadap setiap pihak untuk menentukan pandangan atau nasibnya kedepan dan kurang lebih mirip seperti aspek Pluralisme yang digagas oleh Dahl soal kesamaan untuk menentukan pilihan yang tepat sesuai keadaan (Dahl, 1985). Melainkan yang menjadi pertimbangan serius adalah bagaimana pilihan itu harus melalui kajian mendalam yang kesannya adalah kepentingan dari yang dominan saja dalam arti Pemerintah dan Korporasi yang ingin sama-sama cari untung. Tentu yang lemah juga akan kalah dalam hal ini.
Jadi haruslah terbuka dan sama-sama menerima kembali lagi untuk situasi yang kesannya tidak menguntungkan sekalipun. Yaitu kembali lagi konsisten pada program utama yaitu Vaksinasi Gratis utamanya bagi kalangan prioritas seperti Tenaga Kesehatan, Pelayanan Publik hingga Lansia yang punya tanggungan sekitar 40 juta jiwa. Sementara prosesnya kini berjalan melamban baik dalam sosialisasi hingga berhitung soal jumlah dihadapi. Kalau mau adil, seharusnya Negara berani untuk bersikap, menangguhkan proses Vaksinasi Mandiri sebelum opsi Gratis dan Prioritas terlampaui. Sebenarnya baik namun kesannya tidak melihat situasi, berbeda sekali dengan Negara Maju yang sudah sangatlah maksimal dalam proses vaksinasinya.
Tidak neko-neko pada dikotomi antara Kesehatan dan Ekonomi yang selalu dijawab oleh Pemerintah bahwa mereka sudah punya gambaran tentang itu dengan analogi gas dan rem. Seharusnya juga berbicara soal keadilan adalah mengacu pada aspek kemanusiaan yaitu kesehatannya sendiri. Vaksinasi janganlah dijadikan sebagai ajang adu politis dan ekonomi terhadap kalangan elite-elite bukan sekedar Dunia namun Indonesia sendiri.
Karena masih sangat banyak yang membutuhkan uluran tangan umpamanya Negara untuk menuntaskan ini dengan baik. Bahkan menurut saya, saya berpandangan apabila Kesehatan secara Fisik kita mampu hadapi dan pulihkan dengan baik, otomatis aspek lain akan secara multiplier effect mengiringi seperti Ekonomi, Sosial, Politik, Pendidikan, Olahraga, dan lainnya.