Mohon tunggu...
Nova Felistia
Nova Felistia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seniman

Hidupku harus berarti bagi orang lain, walau sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bercermin dari Dian Juni, Aparat Desa Harus Dibenahi

19 Januari 2016   11:04 Diperbarui: 19 Januari 2016   11:43 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekilas membaca riwayat hidup sosok seorang teroris yang mati di Sarinah Thamrin Jakarta bernama Dian Juni, terasa sangat disayangkan karena sebetulnya mewakili sejumlah nasib banyak remaja potensial yang seperti dia. Dian punya keahlian mesin yang cukup handal. Dan dari tutur cerita beberapa kawannya memiliki pribadi yang ramah, sopan dan supel, Dian Juni sangat suka dengan bidang keahliannya.

Dari kesaksian beberapa temannya, Dian diketahui senang merakit mesin, seperti sepeda motor dan peralatan lainnya. Kemampuannya dalam hal mesin dan kelistrikan diakui cukup bagus sehingga di perusahaan tempatnya dulu bekerja selalu mempercayakan kepadanya untuk memperbaiki truk dan peralatan lain yang rusak.

Lalu apa yang salah sehingga Dian Juni memilih mengakhiri jalan hidupnya yang tragis?

Bisa dilukiskan sebagai pemuda berpotensi yang mungkin merasa tak bernasib begitu baik dalam peruntungan di negeri sendiri, lalu dimanfaatkan kelompok jahat terorganisir yang mampu memberi kebutuhannya, baik dari segi financial, penyaluran bakatnya, serta mendapat apresiasi dan penghargaan yang sebelumnya tak pernah dia dapatkan.

Sosok pemuda/ remaja seperti Dian Juni pasti jumlahnya sangat banyak di negeri ini. Pemerintah harus lebih fokus mengurusi kehidupan pemuda dan remaja, seperti apa dan bagaimana yang berlangsung di pedesaan. Agar tidak lebih banyak lagi korban-korban pemuda Indonesia yang salah memilih jalan hidup ataupun mudah diperdaya oleh bujukkan pelaku kejahatan atau teroris.

Bukan sekedar bagaimana mengantisipasi teroris tapi seyognyanya peristiwa dan riwayat hidup Dian Juni ini menjadi inspirasi berbagai pihak untuk memikirkan lebih luas lagi tentang bagaimana menangani/mempersiapkan SDM Indonesia yang baik sekaligus memanusiakan warga negara Indonesia, khususnya bagi masyarakat golongan ekonomi melarat.

Perlu lebih banyak pihak yang dilibatkan, dari peran-peran beberapa kementerian dan harus lebih bersinergi dengan pejabat desa. Pejabat desa yang rata-rata pengetahuan dan pendidikannya minim tak bisa dibiarkan berkuasa sendiri.

Khusus menangani pelatihan/pendidikkan bagi pemuda-pemuda pengangguran/miskin tapi berbakat yang terdapat di desa-desa, mereka layak dapat perhatian khusus, dikawal hingga menjadi profesional, lalu disalurkan hingga mendapat pekerjaan.

Mempersiapkan seorang pemuda/remaja yang kelak terpaksa meninggalkan desanya mencari nafkah kekota-kota besar, dalam kondisi perkembangan saat ini maka sudah seharusnya dibekali tiga ilmu dasar. Mereka harus dilihat sebagai remaja yang masih sangat buta ibarat selembar kertas putih bersih.

Selain harus diasah dan ditingkatkan ilmu keahliannya, tapi mutlak pula harus dibekali ilmu akhlak dan pemahaman bela negara atau rasa cinta negeri sendiri.

Berkaitan dengan akhlak bangsa, maka peran aktif departemen Agama sudah sangat mendesak diperlukan dan sudah saatnya turun langsung memantau desa-desa. Negara harus memberi upah bagi para ustad-ustad atau guru agama yang berada di desa-desa terpencil agar mereka tidak mudah terima gajian atau bayaran dari pihak yang memiliki niat menyelundupkan ajaran radikal dan sesat.

Departemen Agama harus bertanggung jawab menguji kredibilitas seluruh ustad-ustad dan pemuka agama, memantau ajaran-ajaran apa yang diterapkan dimasyarakat, sesuai ajaran agama masing-masing.

Dan satu lagi, adalah ilmu pedoman tentang cinta negara, dalam hal ini fungsi pejabat RT, RW , lurah, camat harus mampu sebagai cermin dan mempraktekkan kehidupan berwarganegara yang baik dilingkungannya. Menjadi pejabat yang mengayomi dan melayani seluruh warganegara tanpa arogansi, sudah mutlak dijalani.

Aparat harus penuhi hak-hak seluruh warganegara Indonesia tanpa memandang status sosial, pejabat harus paham bahwa setiap warganegara minimalnya, seluruh rakyat berhak mendapat kemudahan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Bagi seorang pemuda desa yang berusia cukup dan ingin mendapatkan pekerjaan tapi miskin, harusnya ketika membuat status kependudukkan jangan lagi dibebani biaya yang memberatkan. Janganlah KTP dipatok tarif 120.000,- hingga 150 ribu plus jangka waktu pengurusan yang relatif lama- sekitar satu bulanan- dan dipersulit pula seperti yang baru saja dialami calon pegawai saya minggu ini.

Kalkulasi yang memberatkan mengingat kalau dijumlah jamleh, tawaran pekerjaan yang persyaratannya harus pula mengurus pembuatan SIM, belum lagi waktu yang dibutuhkan cukup panjang, bisa sangat memberatkan untuk pemenuhan sebuah kesempatan kerja yang telah datang didepan mata, kalau dituntut waktunya harus segera, mereka harus bagaimana? duit? mereka tak punya duit!

Harus diingat, kesulitan-kesulitan yang disebabkan kurang ‘peka’nya aparat desa sangat beresiko menghilangkan kesempatan kerja bagi yang bersangkutan. itulah salah satu dilema yang mungkin banyak dialami, menjadi sebuah ‘ganjalan atau sandungan’ nasib seorang pemuda miskin yang tanpa disadari oleh negara.

Bukankah KTP itu sudah menjadi hak seluruh bangsa yang paling mendasar? Manakala seorang warganegara miskin diusia 18-20 tahunan masih tidak memiliki KTP dengan alasan tak mampu saking miskinnya dan saking mahal dan sulitnya, maka keadaan ini sangatlah aneh diterapkan terus padahal negri ini sedang sibuk bebenah dan bersiap lebih maju.

Selayaknya aparat desa merasa bersyukur bila mendengar salah satu warganya mendapat kesempatan kerja. Dan sebagai bentuk syukur harusnya sigap membantu kelengkapan administrasi warganya yang miskin dengan hati riang gembira.

Tapi justru kesadaran itu tak sampai dan belum bersemayam di jiwa-jiwa banyak aparat di pedesaan. Kabar gembira warganya akan mendapatkan pekerjaan justru malah mengundang datangnya fiktor oknum aparat, dan diartikan malah sebagai peluang rejeki dadakan bagi oknum aparat itu sendiri.

Hingga jaman pemerintahan revolusi mental ini sedang bergulir, walau mulai terasa telah dilakukan petinggi-petinggi yang tentunya dimulai dari Presiden sebagai sang penggagas, dikalangan menteri-menteri, TNI bahkan kini sedang terasa mulai menulari kepolisian, dan ketika negarapun sudah mulai mengais pujian dari belahan dunia, tapi semangat merevolusi mental tersebut terasa adem ayem samasekali tidak menyentuh desa.

Sepertinya seruan dan perilaku pejabat-pejabat bersih masih diterjemahkan bukan bagian darinya bahkan mungkin samasekali belum bisa mereka pahami apa maksud tujuannya. Bagi mereka menyaksikan kiprah para pejabat bersih masih diibaratkan menonton perilaku makhluk-makhluk aneh luar angkasa yang tidak ada hubungan dan kaitannya dengan pemerintahan desa.

Hal-hal semacam ini sudah selayaknya perlu segera ditangani, sehingga perlakuan aparat tidaklah membuat seorang pemuda Indonesia tidak merasa dia ‘hanya’ dan ‘cuma’ remah-remah tak berarti di Republik yang seperti masih mirip kerajaan, yang efeknya melahirkan pemuda yang tidak percaya diri, tak cinta negeri, sehingga mudah termakan hasutan dari pihak-pihak yang ‘seolah-olah’ lebih menghargainya. Kondisi lemah ini jangan terus dibiarkan dan tidak lagi selalu menjadi alasan sebagai pintu –pintu masuk bagi organisani-organisasi jahat beraliran sesat dan paham radikal yang ingin mengancam negara.

Buah alam demokrasi semakin menjurus kejurang pemisahan antara warganegara dengan negerinya sendiri. Pilihan seorang warga untuk tak menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan UU negara menjadi syah-syah saja dan terabaikan manakala sudah menyangkut urusan perut dan terlukanya hargadiri seorang warganegara. Salah satu penyebabnya dari perilaku ceroboh abdi negara yang masih menganggap dirinya juragan dari warganya sendiri.

Barangkali banyak yang tak menyadari bahwa pedesaan sebagai ujung tombak tempat lahirnya bibit-bibit pemuda/buruh potensial yang nantinya akan mendatangi, berbaur dan memenuhi perkotaan. Perkotaan adalah tempatnya ajang pertempuran segala kehidupan berbau matrealistis, disanalah justru seseorang akan diuji akhlak dan kecintaannya pada negara. SDM tanpa dibekali ilmu yang cukup, maka kerugian akan berdampak ditanggung semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun