Departemen Agama harus bertanggung jawab menguji kredibilitas seluruh ustad-ustad dan pemuka agama, memantau ajaran-ajaran apa yang diterapkan dimasyarakat, sesuai ajaran agama masing-masing.
Dan satu lagi, adalah ilmu pedoman tentang cinta negara, dalam hal ini fungsi pejabat RT, RW , lurah, camat harus mampu sebagai cermin dan mempraktekkan kehidupan berwarganegara yang baik dilingkungannya. Menjadi pejabat yang mengayomi dan melayani seluruh warganegara tanpa arogansi, sudah mutlak dijalani.
Aparat harus penuhi hak-hak seluruh warganegara Indonesia tanpa memandang status sosial, pejabat harus paham bahwa setiap warganegara minimalnya, seluruh rakyat berhak mendapat kemudahan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Bagi seorang pemuda desa yang berusia cukup dan ingin mendapatkan pekerjaan tapi miskin, harusnya ketika membuat status kependudukkan jangan lagi dibebani biaya yang memberatkan. Janganlah KTP dipatok tarif 120.000,- hingga 150 ribu plus jangka waktu pengurusan yang relatif lama- sekitar satu bulanan- dan dipersulit pula seperti yang baru saja dialami calon pegawai saya minggu ini.
Kalkulasi yang memberatkan mengingat kalau dijumlah jamleh, tawaran pekerjaan yang persyaratannya harus pula mengurus pembuatan SIM, belum lagi waktu yang dibutuhkan cukup panjang, bisa sangat memberatkan untuk pemenuhan sebuah kesempatan kerja yang telah datang didepan mata, kalau dituntut waktunya harus segera, mereka harus bagaimana? duit? mereka tak punya duit!
Harus diingat, kesulitan-kesulitan yang disebabkan kurang ‘peka’nya aparat desa sangat beresiko menghilangkan kesempatan kerja bagi yang bersangkutan. itulah salah satu dilema yang mungkin banyak dialami, menjadi sebuah ‘ganjalan atau sandungan’ nasib seorang pemuda miskin yang tanpa disadari oleh negara.
Bukankah KTP itu sudah menjadi hak seluruh bangsa yang paling mendasar? Manakala seorang warganegara miskin diusia 18-20 tahunan masih tidak memiliki KTP dengan alasan tak mampu saking miskinnya dan saking mahal dan sulitnya, maka keadaan ini sangatlah aneh diterapkan terus padahal negri ini sedang sibuk bebenah dan bersiap lebih maju.
Selayaknya aparat desa merasa bersyukur bila mendengar salah satu warganya mendapat kesempatan kerja. Dan sebagai bentuk syukur harusnya sigap membantu kelengkapan administrasi warganya yang miskin dengan hati riang gembira.
Tapi justru kesadaran itu tak sampai dan belum bersemayam di jiwa-jiwa banyak aparat di pedesaan. Kabar gembira warganya akan mendapatkan pekerjaan justru malah mengundang datangnya fiktor oknum aparat, dan diartikan malah sebagai peluang rejeki dadakan bagi oknum aparat itu sendiri.
Hingga jaman pemerintahan revolusi mental ini sedang bergulir, walau mulai terasa telah dilakukan petinggi-petinggi yang tentunya dimulai dari Presiden sebagai sang penggagas, dikalangan menteri-menteri, TNI bahkan kini sedang terasa mulai menulari kepolisian, dan ketika negarapun sudah mulai mengais pujian dari belahan dunia, tapi semangat merevolusi mental tersebut terasa adem ayem samasekali tidak menyentuh desa.
Sepertinya seruan dan perilaku pejabat-pejabat bersih masih diterjemahkan bukan bagian darinya bahkan mungkin samasekali belum bisa mereka pahami apa maksud tujuannya. Bagi mereka menyaksikan kiprah para pejabat bersih masih diibaratkan menonton perilaku makhluk-makhluk aneh luar angkasa yang tidak ada hubungan dan kaitannya dengan pemerintahan desa.