Edward Coke adalah figur penting dalam sejarah hukum Inggris, dikenal karena kontribusinya dalam pengembangan prinsip-prinsip hukum pidana, termasuk konsep dasar actus reus dan mens rea. Kedua konsep ini tidak hanya menjadi elemen penting dalam teori hukum pidana, tetapi juga memiliki implikasi praktis yang sangat signifikan dalam menangani tindak pidana, termasuk kasus korupsi.
Di Indonesia, korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang telah mengakar kuat di berbagai sektor kehidupan. Fenomena ini tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghambat pembangunan nasional dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, actus reus dan mens rea menjadi fondasi untuk membuktikan kesalahan pelaku korupsi secara objektif dan subjektif.
Artikel ini akan mengeksplorasi secara mendalam konsep actus reus dan mens rea, peranannya dalam sistem hukum Indonesia, relevansinya dalam memberantas korupsi, serta analisis kasus nyata yang memperkuat pentingnya pemahaman kedua konsep tersebut.
Pengertian Actus Reus dan Mens Rea: Dasar Filosofis dan Hukum
Actus Reus: Tindakan Nyata
Actus reus berarti "tindakan salah", yaitu tindakan fisik yang melanggar hukum. Dalam hukum pidana, elemen ini merupakan manifestasi objektif dari sebuah tindak pidana, mencakup perbuatan, kelalaian, atau tindakan lain yang dilarang oleh undang-undang.
Dalam kasus korupsi, actus reus sering kali melibatkan tindakan seperti:
Manipulasi dokumen untuk menggelapkan dana proyek.
Penerimaan suap dalam bentuk uang atau barang.
Penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua tindakan dapat dikategorikan sebagai actus reus tanpa adanya konteks hukum yang jelas. Dalam sistem hukum Indonesia, pembuktian actus reus harus mengacu pada aturan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh UU Nomor 20 Tahun 2001.
Mens Rea: Niat Jahat
Mens rea, atau "pikiran yang bersalah", adalah elemen subjektif yang menunjukkan niat jahat atau kesengajaan pelaku untuk melakukan tindakan melawan hukum. Mens rea membedakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan tindakan yang terjadi karena kelalaian.
Dalam korupsi, mens rea mencakup:
Kesadaran akan tindakan melanggar hukum.
Niat untuk memperkaya diri atau kelompok tertentu.
Perencanaan terstruktur untuk menyembunyikan kejahatan.
Hukum pidana Indonesia mensyaratkan bahwa mens rea harus dibuktikan melalui analisis motif, pola tindakan, dan konteks tindakan pelaku. Tanpa mens rea, suatu tindakan mungkin hanya dianggap sebagai pelanggaran administratif.
Signifikansi Actus Reus dan Mens Rea dalam Penanganan Korupsi
1. Membedakan Pelanggaran Administratif dari Tindak Pidana
Tidak semua kesalahan dalam pengelolaan keuangan negara dapat langsung dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Peran actus reus dan mens rea adalah untuk memastikan bahwa hanya tindakan yang memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dan niat jahat yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana.
Sebagai contoh, seorang pejabat yang salah mengisi laporan keuangan tanpa adanya niat untuk menggelapkan dana mungkin hanya dikenai sanksi administratif. Sebaliknya, pejabat yang sengaja memalsukan laporan keuangan untuk keuntungan pribadi memenuhi unsur mens rea dan actus reus.
2. Memperkuat Argumentasi Hukum dalam Persidangan
Dalam proses peradilan, jaksa harus membuktikan kedua elemen ini untuk memastikan bahwa terdakwa dapat dihukum. Pembuktian actus reus dilakukan melalui bukti fisik, sedangkan mens rea dibuktikan melalui motif dan pola tindakan.
Contoh: Dalam kasus korupsi proyek Hambalang, pengadilan tidak hanya fokus pada penggelembungan anggaran sebagai actus reus, tetapi juga mengidentifikasi adanya kesengajaan para pelaku untuk memperkaya diri.
3. Meningkatkan Efektivitas Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami actus reus dan mens rea, aparat penegak hukum dapat lebih efektif dalam menangani kasus korupsi. Pendekatan ini membantu mengidentifikasi pelaku utama (intellectual actor) dibandingkan sekadar menghukum pelaku teknis.
Elemen Penting dalam Pembuktian Actus Reus dan Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia
1. Pembuktian Actus Reus
Pembuktian actus reus melibatkan:
Dokumen: Bukti seperti laporan keuangan, kontrak, dan dokumen proyek sering digunakan untuk mengidentifikasi tindakan melawan hukum.
Saksi: Keterangan saksi menjadi kunci untuk memperkuat bukti fisik.
Audit Forensik: Melibatkan tim ahli untuk melacak aliran dana dan transaksi mencurigakan.
Dalam kasus kasus BLBI, bukti dokumen dan audit forensik digunakan untuk membuktikan adanya penyelewengan dana bailout.
2. Pembuktian Mens Rea
Pembuktian mens rea lebih sulit karena berkaitan dengan kondisi mental pelaku. Cara yang digunakan meliputi:
Analisis Komunikasi: Email, pesan teks, atau rekaman percakapan yang menunjukkan niat jahat.
Pola Tindakan: Adanya perencanaan dan koordinasi dalam melakukan tindakan melawan hukum.
Motif: Keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau politik.
Studi Kasus di Indonesia
1. Korupsi e-KTP
Kasus ini melibatkan penggelapan dana proyek e-KTP yang mencapai kerugian negara hingga Rp2,3 triliun.
Actus reus: Manipulasi anggaran dan penggelembungan harga.
Mens rea: Niat para pelaku untuk memperkaya diri sendiri dan pihak-pihak tertentu.
Pembuktian dalam kasus ini melibatkan audit keuangan, dokumen proyek, serta rekaman komunikasi antara pelaku.
2. Suap Impor Bawang Putih
Kasus ini melibatkan seorang pengusaha yang menyuap pejabat untuk mendapatkan kuota impor.
Actus reus: Penyerahan uang sebagai bentuk suap.
Mens rea: Kesengajaan pelaku untuk memengaruhi kebijakan impor.
Bukti berupa rekaman percakapan dan transaksi keuangan menjadi kunci pembuktian.
3. Korupsi Jiwasraya
Kasus ini melibatkan penyalahgunaan dana asuransi yang merugikan negara hingga Rp16,8 triliun.
Actus reus: Investasi yang tidak sesuai prosedur.
Mens rea: Perencanaan terstruktur untuk menyembunyikan keuntungan pribadi.
Implikasi Actus Reus dan Mens Rea dalam Sistem Hukum Indonesia
Pencegahan Korupsi
Pemahaman tentang actus reus dan mens rea membantu dalam merancang kebijakan pencegahan, seperti meningkatkan transparansi dan pengawasan.
Penguatan Sistem Peradilan
Dengan mengedepankan pembuktian yang komprehensif, sistem peradilan dapat lebih adil dan akuntabel.
Pendidikan Hukum
Konsep ini harus menjadi bagian penting dalam pendidikan hukum di Indonesia untuk menghasilkan aparat yang kompeten.
Pengembangan Perspektif Multidimensi: Actus Reus dan Mens Rea dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Korupsi, sebagai kejahatan sistemik dan kompleks, tidak hanya mengakar pada praktik ilegal tetapi juga pada kultur yang membentuk perilaku masyarakat dan institusi. Oleh karena itu, pembahasan actus reus dan mens rea dalam konteks korupsi harus dilihat dari berbagai perspektif: hukum, sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pendekatan ini memungkinkan analisis yang lebih luas dan komprehensif untuk memahami serta menangani korupsi di Indonesia.
Dimensi Hukum: Integrasi Actus Reus dan Mens Rea dalam Sistem Peradilan
1. Sinkronisasi Hukum Nasional dan Internasional
Dalam konteks hukum internasional, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. UNCAC memberikan panduan tentang bagaimana actus reus dan mens rea harus diterapkan dalam mendefinisikan tindak pidana korupsi.
Misalnya, UNCAC Pasal 15 menetapkan bahwa tindakan suap dapat dihukum jika mengandung elemen perbuatan fisik (actus reus) dan niat jahat (mens rea). Dengan demikian, sistem hukum nasional harus memastikan bahwa definisi dan pembuktian korupsi sesuai dengan standar internasional.
2. Kelembagaan Hukum dan Kapasitas Aparat
Agar actus reus dan mens rea dapat diterapkan secara efektif, penting untuk memperkuat institusi penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Pelatihan intensif bagi penyidik dan jaksa tentang analisis tindakan fisik dan niat pelaku akan memperkuat proses pembuktian.
Namun, integrasi antara hukum formil dan hukum materil juga menjadi tantangan. Dalam banyak kasus, hambatan birokrasi atau kekeliruan teknis dapat menggagalkan pembuktian elemen-elemen penting ini, sehingga terdakwa lolos dari jerat hukum.
Dimensi Sosial: Korupsi Sebagai Perilaku Kolektif
1. Budaya Impunitas dan Permissiveness
Korupsi sering kali dianggap sebagai "bagian dari sistem," terutama dalam masyarakat dengan budaya permisif terhadap tindakan ilegal. Perspektif sosial ini menyoroti bagaimana actus reus dapat terjadi secara kolektif, di mana pelaku merasa terlindungi oleh norma sosial yang melemahkan penegakan hukum.
Contohnya adalah korupsi dalam proyek infrastruktur, di mana berbagai pihak (kontraktor, pejabat, auditor) bekerja sama untuk menyembunyikan actus reus melalui manipulasi laporan proyek.
2. Pendidikan Anti-Korupsi
Untuk mengubah perilaku kolektif ini, diperlukan pendidikan anti-korupsi yang menanamkan nilai integritas sejak usia dini. Dengan pemahaman dasar tentang actus reus dan mens rea, masyarakat dapat lebih kritis dalam mengevaluasi tindakan pemimpin dan institusi.
Dimensi Ekonomi: Dampak Korupsi pada Pembangunan Nasional
1. Korupsi sebagai Hambatan Investasi
Korupsi menyebabkan inefisiensi dalam alokasi sumber daya. Actus reus dalam konteks ini dapat berupa manipulasi tender, penggelapan pajak, atau penyalahgunaan anggaran, yang semuanya berujung pada kerugian ekonomi.
Data dari Transparency International menunjukkan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi mengalami penurunan kepercayaan investor. Hal ini menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan memperburuk ketimpangan sosial.
2. Analisis Kerugian Negara Akibat Mens Rea
Mens rea, dalam bentuk niat untuk memperkaya diri, sering kali menciptakan mekanisme terorganisir yang sulit dilacak. Misalnya, kasus Jiwasraya menunjukkan bagaimana perencanaan terstruktur melibatkan investasi bodong yang dirancang untuk menutupi kerugian keuangan. Kerugian ini tidak hanya berdampak pada negara tetapi juga pada masyarakat yang kehilangan dana pensiun mereka.
Dimensi Politik: Korupsi dalam Konstelasi Kekuasaan
1. Korupsi Struktural di Institusi Pemerintahan
Korupsi di Indonesia sering kali bersifat struktural, di mana actus reus melibatkan keputusan politik yang menyimpang dari aturan hukum. Misalnya, penunjukan pejabat tertentu berdasarkan balas jasa politik sering kali melibatkan penyalahgunaan wewenang sebagai actus reus.
Mens rea dalam konteks politik ini mencakup niat untuk mempertahankan kekuasaan melalui sumber daya yang diperoleh secara ilegal. Pola ini terlihat dalam kasus BLBI, di mana pengambilan keputusan yang merugikan negara didasarkan pada kepentingan politik tertentu.
2. Reformasi Sistem Politik
Untuk mencegah korupsi, reformasi sistem politik menjadi keharusan. Transparansi dalam pendanaan partai politik, pelaporan kekayaan pejabat publik, dan pengawasan ketat terhadap penggunaan anggaran negara adalah langkah penting yang harus diambil.
Dimensi Budaya: Korupsi dalam Perspektif Lokal
1. Pengaruh Nilai Tradisional terhadap Actus Reus dan Mens Rea
Budaya lokal sering kali memengaruhi cara masyarakat melihat korupsi. Di beberapa daerah, praktik seperti "uang pelicin" dianggap sebagai bentuk penghargaan daripada tindakan ilegal. Dalam konteks ini, actus reus menjadi sulit diidentifikasi karena budaya setempat merasionalisasi tindakan tersebut.
2. Mengintegrasikan Nilai Kearifan Lokal dalam Pencegahan Korupsi
Sebaliknya, kearifan lokal juga dapat digunakan untuk memerangi korupsi. Nilai seperti gotong royong, keadilan sosial, dan transparansi dalam budaya tradisional Indonesia dapat diintegrasikan ke dalam program pencegahan korupsi.
Studi Kasus Lanjutan: Membedah Kompleksitas Actus Reus dan Mens Rea
1. Kasus Dana Desa
Pengelolaan dana desa sering kali menjadi ajang korupsi karena kurangnya pengawasan.
Actus reus: Mark-up harga bahan bangunan, pemalsuan laporan keuangan.
Mens rea: Kesengajaan kepala desa untuk memperkaya diri atau kelompoknya.
Pembuktian dalam kasus ini memerlukan audit menyeluruh dan penggalian motif di balik tindakan tersebut.
2. Korupsi Sektor Pendidikan
Korupsi di sektor pendidikan mencakup penyalahgunaan anggaran pembangunan sekolah atau pengadaan buku.
Actus reus: Penggelembungan anggaran proyek renovasi sekolah.
Mens rea: Niat untuk mendapatkan komisi dari kontraktor.
Kasus ini berdampak langsung pada kualitas pendidikan dan aksesibilitas bagi siswa miskin.
Rekomendasi untuk Pemberantasan Korupsi Berbasis Actus Reus dan Mens Rea
Peningkatan Teknologi Pengawasan
Penggunaan teknologi seperti big data analytics dapat membantu mendeteksi actus reus dan mens rea melalui pola transaksi keuangan yang mencurigakan.
Penguatan Kapasitas Penegak Hukum
Pelatihan aparat hukum dalam menganalisis elemen fisik dan niat dalam tindak pidana korupsi harus menjadi prioritas.
Edukasi Publik
Memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya actus reus dan mens rea dalam memerangi korupsi akan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan.
Reformasi Kebijakan Publik
Menerapkan kebijakan transparan dalam pengelolaan keuangan negara untuk meminimalkan peluang actus reus dan mens rea.
Korupsi Korporasi di Indonesia: Studi Kasus dengan Pendekatan Actus Reus dan Mens Rea
Korupsi yang melibatkan korporasi di Indonesia mencerminkan betapa kompleks dan sistemiknya kejahatan ini, terutama ketika korporasi digunakan sebagai alat untuk menyamarkan kejahatan individu atau kelompok tertentu. Kasus-kasus korupsi korporasi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan betapa pentingnya memahami konsep actus reus (perbuatan fisik) dan mens rea (niat jahat) dalam penegakan hukum.
Berikut ini adalah analisis mendalam terhadap salah satu kasus besar di Indonesia yang melibatkan korporasi, dengan menyoroti elemen-elemen actus reus dan mens rea, serta bagaimana hukum diterapkan dalam penanganannya.
Kasus Korupsi PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati: Pembangunan Dermaga Sabang
Latar Belakang Kasus
Kasus korupsi pembangunan Dermaga Sabang merupakan salah satu kasus besar yang melibatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Proyek pembangunan dermaga yang dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini menjadi ajang korupsi yang merugikan negara hingga Rp313 miliar.
Korporasi yang terlibat dalam kasus ini adalah PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati, yang berperan sebagai penyedia jasa konstruksi. Melalui penyidikan yang dilakukan oleh KPK, ditemukan bahwa korporasi ini bersama sejumlah pejabat negara terlibat dalam penggelembungan harga, manipulasi dokumen, dan pembayaran fiktif.
Actus Reus dalam Kasus
Manipulasi Proses Tender
PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati bekerja sama untuk mengatur proses tender sehingga proyek Dermaga Sabang dimenangkan secara tidak sah. Proses ini mencakup:
Rekayasa dokumen tender, termasuk spesifikasi teknis yang dibuat sesuai dengan kriteria korporasi tertentu.
Kolusi dengan pejabat pemerintah, yang memberikan informasi dan akses khusus untuk memenangkan tender.
Penggelembungan Harga
Anggaran proyek yang diajukan jauh melebihi kebutuhan aktual.
Mark-up dilakukan pada setiap tahap pengerjaan proyek, termasuk pembelian bahan baku, tenaga kerja, dan alat berat.
Pembayaran Fiktif
Sebagian pembayaran yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan dermaga dialihkan ke rekening pribadi atau perusahaan fiktif yang dikendalikan oleh pelaku.
Pembayaran ini didukung oleh dokumen palsu, termasuk laporan progres pembangunan yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Penghindaran Pajak
Korporasi sengaja memanipulasi laporan keuangan untuk menghindari kewajiban pajak, sehingga memperbesar keuntungan ilegal.
Mens Rea dalam Kasus
Mens rea dalam kasus ini mencakup niat jahat para pelaku, baik individu maupun korporasi:
Kesengajaan untuk Memperkaya Diri
Direksi PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati secara sadar berkolusi dengan pejabat pemerintah untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Keuntungan ini meliputi:
Peningkatan pendapatan perusahaan secara ilegal, yang sebagian dialihkan untuk bonus direksi.
Pembagian keuntungan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam skema korupsi.
Penyembunyian Jejak Kejahatan
Korporasi menggunakan dokumen palsu dan skema keuangan kompleks untuk menyembunyikan aliran dana. Misalnya, dana hasil korupsi dialihkan melalui rekening perusahaan cangkang untuk mengaburkan asal-usulnya.
Pengabaian terhadap Dampak Publik
Mens rea juga terlihat dalam ketidakpedulian pelaku terhadap kerugian negara dan dampak pada masyarakat. Proyek yang dibiayai oleh APBN tidak selesai sesuai rencana, sehingga masyarakat Sabang kehilangan manfaat dari dermaga yang seharusnya mendukung ekonomi lokal.
Proses Hukum dan Penindakan oleh KPK
Penyelidikan dan Penyidikan
KPK mulai menyelidiki kasus ini setelah menerima laporan dugaan korupsi dari masyarakat. Penyelidikan melibatkan:
Audit proyek oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang menemukan indikasi penggelembungan anggaran.
Pengumpulan bukti digital, termasuk email, kontrak, dan laporan keuangan korporasi.
Pemeriksaan saksi, yang melibatkan pejabat pemerintah, pegawai korporasi, dan kontraktor.
Penetapan Tersangka
KPK menetapkan sejumlah tersangka, termasuk:
Direktur Utama PT Nindya Karya.
Direktur PT Tuah Sejati.
Pejabat di Kementerian Perhubungan yang bertanggung jawab atas proyek.
Tuntutan Hukum terhadap Korporasi
KPK menggunakan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang memungkinkan korporasi dihukum sebagai subjek hukum.
PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati dijatuhi hukuman berupa denda dan pengembalian kerugian negara sebesar Rp313 miliar.
Putusan Pengadilan
Pada tahun 2018, pengadilan memutuskan bahwa kedua korporasi bersalah dan menjatuhkan sanksi hukum, termasuk:
Pembekuan aktivitas bisnis selama periode tertentu.
Larangan mengikuti tender proyek pemerintah selama lima tahun.
Implikasi dan Pembelajaran dari Kasus
1. Dampak pada Korporasi
Kasus ini menunjukkan bahwa korporasi dapat menjadi subjek hukum yang bertanggung jawab atas korupsi. Akibatnya:
Reputasi PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati hancur, mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan klien.
Korporasi menghadapi sanksi keuangan yang berat, yang memengaruhi stabilitas operasionalnya.
2. Dampak pada Pemerintah
Kasus ini menciptakan urgensi untuk memperketat pengawasan proyek pemerintah, khususnya dalam proses tender.
Pemerintah didorong untuk meningkatkan transparansi anggaran dan memanfaatkan teknologi seperti e-procurement.
3. Pembelajaran bagi Penegakan Hukum
Actus reus dan mens rea harus diidentifikasi secara jelas untuk memastikan korporasi dan individu yang terlibat dapat dihukum.
KPK berhasil menunjukkan bahwa korporasi tidak hanya sebagai alat pelaku tetapi juga dapat dimintai pertanggungjawaban langsung.
4. Edukasi Publik tentang Korupsi Korporasi
Kasus ini menjadi contoh penting bagi masyarakat untuk memahami bagaimana korupsi korporasi merugikan negara dan masyarakat. Publik didorong untuk melaporkan indikasi korupsi melalui saluran resmi seperti dumas KPK.
Kesimpulan
Tulisan ini menggambarkan secara menyeluruh pentingnya penerapan konsep actus reus (perbuatan fisik) dan mens rea (niat jahat) dalam menegakkan hukum terhadap tindak pidana korupsi, khususnya dalam konteks korupsi korporasi di Indonesia. Melalui penjelasan teori hukum Edward Coke, korupsi dianalisis tidak hanya sebagai perbuatan individu tetapi juga melibatkan korporasi sebagai entitas hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban.
Kasus korupsi pembangunan Dermaga Sabang yang melibatkan PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati menjadi studi kasus yang relevan untuk menunjukkan bagaimana korporasi dapat menjadi alat sekaligus pelaku kejahatan.Â
Elemen-elemen actus reus dalam kasus ini mencakup manipulasi tender, penggelembungan anggaran, dan pembayaran fiktif, sementara mens rea mencerminkan niat jahat untuk memperkaya diri, menyembunyikan kejahatan, dan mengabaikan dampak pada masyarakat.
Penanganan kasus oleh KPK menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam memberlakukan hukum terhadap korporasi sebagai subjek hukum. Hukuman yang dijatuhkan, termasuk pengembalian kerugian negara, denda, dan pembatasan aktivitas korporasi, menjadi langkah penting dalam pemberantasan korupsi.Â
Namun, kasus ini juga mengingatkan pentingnya peningkatan pengawasan, transparansi, dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk mencegah tindak pidana serupa di masa depan.
Pada akhirnya, penegakan hukum terhadap korupsi korporasi tidak hanya tentang memberikan sanksi tetapi juga mengedukasi publik, memperkuat regulasi, dan membangun sistem pencegahan yang komprehensif. Dengan pendekatan yang menyeluruh, Indonesia dapat terus berupaya menciptakan lingkungan bisnis yang bersih dan pemerintahan yang bebas dari korupsi, demi kesejahteraan masyarakat secara luas.
Daftar Pustaka
Istiqomah, S., Rokhim, A., & Isnaeni, D. (2023). Kebijakan Hukum Pidana dalam Pertanggung Jawaban Korporasi yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi. Al-Daulah: Jurnal Hukum Pidana dan Ketatanegaraan, 12(2), 278-297.
Muchamad, C. (2022). "Corporate Criminal Liability in Indonesia: Challenges and Solutions." Journal of Comparative Criminal Justice, 6(2), 101-120.
Zahra, Z. (2022). "Evaluating Mens Rea in Corporate Crimes: Insights from Indonesia." Jurnal Hukum dan Pembangunan, 8(3), 17
5-190.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H