Kepemimpinan Aristotelian adalah model yang sangat relevan dalam dunia modern, terutama dalam konteks etika dan kebijaksanaan praktis yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan di bawah tekanan.Â
Kepemimpinan yang baik, dalam pandangan Aristoteles, bukanlah tentang kekuatan atau pengaruh semata, tetapi lebih tentang kemampuan untuk melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat, dengan mempertimbangkan kesejahteraan kolektif dan keseimbangan moral. Ini adalah bentuk kepemimpinan yang berbasis nilai yang mampu menghadapi tantangan kompleks dunia modern, baik di bidang bisnis, politik, maupun pendidikan.
1. Keseimbangan Kebajikan (Doctrine of the Mean): Prinsip Moral Utama
Aristoteles mendefinisikan kebajikan sebagai titik tengah antara dua ekstrem: kekurangan dan kelebihan. Dalam konteks kepemimpinan, kebajikan ini tidak hanya berarti penghindaran dari ekstrem perilaku, tetapi juga pengelolaan diri dan keseimbangan tindakan yang didasarkan pada situasi. Pemimpin yang efektif harus menyesuaikan responsnya berdasarkan kebutuhan spesifik dari setiap situasi.
Contoh Praktis di Dunia Bisnis
Mari kita lihat kebajikan temperance atau kesederhanaan, yang terletak di antara pengejaran kesenangan tanpa kendali (kelebihan) dan ketidakmampuan untuk menikmati kesenangan apapun (kekurangan).Â
Di dunia korporat, pemimpin yang menerapkan temperance dalam konteks bisnis, seperti CEO perusahaan teknologi, dapat menjaga keseimbangan antara mengejar inovasi dan keuntungan tanpa merugikan kesejahteraan karyawan atau merusak lingkungan. Seorang pemimpin seperti Tim Cook, CEO Apple, menunjukkan temperance dalam menjaga nilai-nilai inti Apple sambil terus mendorong batas inovasi teknologi.
Kebijaksanaan Dalam Menghadapi Kemarahan (Anger)
Kebajikan patience (kesabaran) adalah contoh lain dari doctrine of the mean. Dalam memimpin sebuah organisasi, kemampuan untuk mengelola emosi, terutama kemarahan, sangat penting. Aristoteles menempatkan kebajikan ini di antara dua ekstrem: irasibility (mudah marah) dan insensibility (acuh tak acuh terhadap ketidakadilan). Pemimpin yang baik harus bisa marah pada waktu yang tepat, dengan alasan yang tepat, dan terhadap objek yang tepat.
Misalnya, Jack Ma, pendiri Alibaba, dikenal sebagai pemimpin yang mampu mengelola emosinya dengan baik. Saat menghadapi tantangan eksternal dan internal, dia tetap tenang, menghindari reaksi yang terlalu emosional atau impulsif, namun juga tidak ragu untuk menegaskan pendiriannya ketika diperlukan.
2. Phronesis: Kebijaksanaan Praktis sebagai Inti Kepemimpinan