Mohon tunggu...
Felicia Hanna Serevin
Felicia Hanna Serevin Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

XI IPS 1 - 12

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Adik Ipar

21 November 2020   19:54 Diperbarui: 17 Maret 2022   17:56 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            Drrt drrt drrt drrt drrt

Handphoneku yang kuletakkan di atas nakas samping tempat tidur bergetar hebat di pukul setengah 5 pagi. Aku segera bangun dan meraih benda yang berisik itu karena penasaran mengapa. Bisa saja bos yang menghubungi, menjawab pesannya atau mengangkat teleponnya wajib hukumnya.

Oh, bukan bosku, ternyata adik-adikku.

            "Sistah bangun sistah, tengok lah dulu status WA si Uli ini, sudah jengkel awak melihatnya," kata Ros, adikku yang keempat memang rajin memulai topik untuk membahas Uli, adik iparku.

            "Ya ampun masih pagi sudah buat kesal saja status WA si Uli," sahut Susan si anak keempat yang aktif merespon Ros si anak kelima. Mungkin karena usia mereka tidak terlalu jauh jadi mereka akrab.

            "Selamat pagi. Eeh, tidak selesai-selesai si Uli dan si Beni bertengkar. Pasti karena si Uli lagi," tukas Arin si anak kedua yang mulai membalas agak panjang.

            "Kayaknya kita tegor aja lah si Uli, sebelum bapak mamak sudah lancar buka status WA. Takutnya jadi bahan pikiran mereka," saran Caca si anak bungsu.

            "Itulah, mau ku reply statusnya, gak bisa dibiarin dia ini. Gimana menurutmu Kak Er?" tanya Ros meminta pendapatku.

Aku yang baru bangun masih mencerna apa yang terjadi. Sambil membuka screenshots status WhatsApp yang Ros kirim di grup "family" kami. Ya, grup keluarga yang satu ini berbeda. Hanya anak-anak perempuan bapak dan mamak yang bisa masuk grup ini untuk membahas Uli dan apa yang ia unggah di status WA. Bapak dan mamak tidak kami masukkan di grup ini karena pasti mereka tidak suka bergunjing, apalagi mengenai satu-satunya menantu perempuan mereka.

            "Sabar dulu, biarlah, itu urusan mereka berdua. Jangan ikut campur dulu," jawabku sebagai anak sulung yang tentunya tidak boleh gegabah dan tersulut emosi juga. Aku akui status WA tersebut menjengkelkan. Perdebatan dengan pasangan memang biasa, tapi haruskah diekspos di sosial media? Apa dia tidak malu dengan itu?

            "Oke lah kak Erny. Aku siap-siap berangkat dulu ya, aku dinas pagi," respon Arin sekaligus mengakhiri pergosipan pagi kami yang ditandai dengan semua sudah membalas dadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun