Hujan mengguyur kota Jakarta malam ini. Sudah hampir 5 tahun aku hidup sendiri dan ditinggalkan oleh suamiku yang dibunuh oleh tentara Jepang. Suamiku merupakan seorang pejuang Indonesia. Melihat penjajahan yang begitu kejam dan sadis, membuat suamiku ingin mempertahankan Hindia Belanda.Â
Walaupun penjajahan Jepang tidak bertahan lama namun apa yang mereka lakukan jauh dari kata wajar bahkan lebih kejam dibandingkan dengan sekutu yang menjajah selama 3.5 abad. Mereka memberlakukan kerja paksa hingga banyak yang meninggal.Â
Suamiku mengorbankan seluruh tenaga, jiwa, raga, dan pikiran hanya untuk Hindia Belanda. Akibat dari pengorbanannya aku harus kehilangan suamiku satu-satunya. Hancur sudah duniaku saat mengetahui suamiku terkapar tak berdaya, bercucuran darah.Â
Bahkan sampai sekarang aku tidak bisa menerima kenyataan yang ada. Aku sudah berusaha namun aku tak mampu membohongi hati kecilku. Aku tidak dapat menghilangkan rasa amarahku pada seluruh tentara Jepang.
Tokkk....tokkk.....
"Siapa yang mengetuk pintu di malam yang dingin ini? Sudah larut dan hujan masih saja datang berkunjung," kataku mengeluh. Aku tetap membukakan pintu, namun sesampainya di depan pintu aku tidak menemukan siapapun. Ketika aku ingin beranjak ke depan untuk melihat lebih jelas aku merasa ada sesuatu di kakiku. Saat aku melihat ke arah kakiku aku menemukan selembar kertas. Dengan segera aku mengambil kertas tersebut. Kututup pintu rumah dan kubawa kertas tersebut untuk kubaca isinya.
 PERMOHONAN MAAF," itulah kalimat pertama yang kulihat ketika aku membuka surat tersebut. Perlahan namun pasti aku mulai membaca surat itu kata demi kata. "Berkaitan dengan kejadian yang....." sebelum kulanjutkan bacaan tersebut, aku sudah mengetahui apa isi dari surat itu. Kepalaku mulai pusing dan semua memori lampau terputar jelas di otakku.
Flashback.......
"Bu, Bapak pergi dulu ya, Bapak harus memperjuangkan Hindia Belanda demi anak cucu kita nanti," ujar suamiku sesaat sebelum dia meninggalkanku ke medan perang. "Iya pak, bapak harus hati-hati disana, jaga diri baik-baik," balasku sebelum dia pergi. "Iya bu pasti, doakan bapak ya bu," ucapnya memohon restu dariku. "Selalu pak selalu..." jawabku dengan mantap.
Dorrrr.....
"MERUNDUK SEMUAAA, POSISI TIARAP," ucap komandan sekaligus suamiku. "Awas, pasukkan Jepang sudah mengetahui tempat persembunyian kita, kita harus lebih hati-hati."
"Bagaimana ini komandan, Jepang mendekattt, apa yang harus kita lakukann?" tanya salah satu prajurit. "Ayo cepat, kita harus pergi dari sini, kalian di depan biar saya yang di belakang," perintah suamiku pada bawahannya.
"Tapi komandan, bahaya sekali di belakang, Jepang sudah sangat dekat, lebih baik komandan jalan terlebih dahulu," ujar prajurit yang lain dengan nada cemas. "Tidak usah mengkhawatirkanku, sebagai komandan aku harus bertanggung jawab atas kalian semua cepat laksanakan perintahku," jawab suamiku dengan lantang.
Dorrrrr......
Sebuah tembakan besar dilancarkan. Ketika semua prajurit melihat ke arah belakang, komandan mereka sudah terkapar di tanah dengan darah bercucuran di dada. Seluruh prajurit siap dengan senjata mereka dan terjadi baku tembak dengan tentara Jepang.Â
Setelah baku tembak mereka semua berusaha menolong komandan dan memberi tahu aku, istrinya, bahwa komandan mereka terkulai lemas akibat tembakkan dari salah satu tentara Jepang.Â
Begitu mendengar keadaan suamiku, tubuhku lemas, air mata tiada henti mengalir. Aku paksakan kakiku untuk berlari menemui suamiku yang sudah terkapar dengan lemah. Kuangkat kepala suamiku dan kupeluk dia.
"Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu lebih lama lagi," itulah kata-kata terakhir yang dia sampaikan kepadaku sebelum dia menutup mata. Pecah tangisku begitu mendengar kata terakhir yang dia sampaikan. Belum sampai kami mempunyai anak, dia sudah mati di tangan tentara Jepang. Membela Hindia Belanda mati-matian. Sulit rasanya menerima kenyataan ini. Tapi apa boleh buat, aku akan mengantarkan suamiku ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Flashback off.....
Tetes demi tetes air keluar dari mataku. Tak kuasa aku menahan tangis mengingat seluruh kejadian yang menimpa suamiku. "Hanya ini yang bisa kami sampaikan, permintaan maaf yang kami yakin sulit diterima. Jangan khawatir kami sudah menyerahkan diri kami untuk dibunuh, kami tidak sanggup hidup dalam rasa bersalah. Mungkin ketika anda membaca surat ini kami sudah tidak ada, tetapi kami mohon maafkan kami atas apa yang telah kami perbuat pada suami anda," begitulah akhir dari surat ini.
Seketika itu juga tangisku pecah. Aku tidak sanggup lagi menahan air yang ada di pelupuk mataku. Setelah membaca surat tersebut pandanganku berubah. Akhirnya aku dapat melihat hal positif dari Nippon walau mereka membunuh banyak rakyat pribumi termasuk suamiku. Berkat penjajahan Jepang, Hindia Belanda semakin maju walau menderita. Banyak sekali ilmu yang diturunkan mereka pada kami warga pribumi.
Aku juga mulai menyadari selama ini aku hidup bersama dengan rasa dendamku. Melihat surat yang barusan kubaca, aku mulai membuka hati dan memaafkan para tentara Jepang. Aku juga sudah mulai menerima kenyataan yang ada, hidup tanpa adanya suami.Â
Aku yakin suamiku sudah hidup dengan tenang di alam sana. Dari dalam lubuk hatiku, aku memaafkan para tentara Jepang dan mengikhlaskan kepergian suamiku. Aku berdoa agar para tentara Jepang dapat hidup dengan tenang dimanapun mereka berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H