Mohon tunggu...
Felicia Evelyne Soesilo
Felicia Evelyne Soesilo Mohon Tunggu... Diplomat - Siswa SMA Dian Harapan

Felicia Evelyne's Blog

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sejarah | Permohonan Maaf

5 November 2018   09:12 Diperbarui: 5 November 2018   09:16 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bagaimana ini komandan, Jepang mendekattt, apa yang harus kita lakukann?" tanya salah satu prajurit. "Ayo cepat, kita harus pergi dari sini, kalian di depan biar saya yang di belakang," perintah suamiku pada bawahannya.

"Tapi komandan, bahaya sekali di belakang, Jepang sudah sangat dekat, lebih baik komandan jalan terlebih dahulu," ujar prajurit yang lain dengan nada cemas. "Tidak usah mengkhawatirkanku, sebagai komandan aku harus bertanggung jawab atas kalian semua cepat laksanakan perintahku," jawab suamiku dengan lantang.

Dorrrrr......

Sebuah tembakan besar dilancarkan. Ketika semua prajurit melihat ke arah belakang, komandan mereka sudah terkapar di tanah dengan darah bercucuran di dada. Seluruh prajurit siap dengan senjata mereka dan terjadi baku tembak dengan tentara Jepang. 

Setelah baku tembak mereka semua berusaha menolong komandan dan memberi tahu aku, istrinya, bahwa komandan mereka terkulai lemas akibat tembakkan dari salah satu tentara Jepang. 

Begitu mendengar keadaan suamiku, tubuhku lemas, air mata tiada henti mengalir. Aku paksakan kakiku untuk berlari menemui suamiku yang sudah terkapar dengan lemah. Kuangkat kepala suamiku dan kupeluk dia.

"Maafkan aku yang tidak bisa menjagamu lebih lama lagi," itulah kata-kata terakhir yang dia sampaikan kepadaku sebelum dia menutup mata. Pecah tangisku begitu mendengar kata terakhir yang dia sampaikan. Belum sampai kami mempunyai anak, dia sudah mati di tangan tentara Jepang. Membela Hindia Belanda mati-matian. Sulit rasanya menerima kenyataan ini. Tapi apa boleh buat, aku akan mengantarkan suamiku ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Flashback off.....

Tetes demi tetes air keluar dari mataku. Tak kuasa aku menahan tangis mengingat seluruh kejadian yang menimpa suamiku. "Hanya ini yang bisa kami sampaikan, permintaan maaf yang kami yakin sulit diterima. Jangan khawatir kami sudah menyerahkan diri kami untuk dibunuh, kami tidak sanggup hidup dalam rasa bersalah. Mungkin ketika anda membaca surat ini kami sudah tidak ada, tetapi kami mohon maafkan kami atas apa yang telah kami perbuat pada suami anda," begitulah akhir dari surat ini.

Seketika itu juga tangisku pecah. Aku tidak sanggup lagi menahan air yang ada di pelupuk mataku. Setelah membaca surat tersebut pandanganku berubah. Akhirnya aku dapat melihat hal positif dari Nippon walau mereka membunuh banyak rakyat pribumi termasuk suamiku. Berkat penjajahan Jepang, Hindia Belanda semakin maju walau menderita. Banyak sekali ilmu yang diturunkan mereka pada kami warga pribumi.

Aku juga mulai menyadari selama ini aku hidup bersama dengan rasa dendamku. Melihat surat yang barusan kubaca, aku mulai membuka hati dan memaafkan para tentara Jepang. Aku juga sudah mulai menerima kenyataan yang ada, hidup tanpa adanya suami. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun