Mohon tunggu...
Reza P
Reza P Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Hubungan Internasional Universitas Diponegoro

Love to navigating the world through the words

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Masih Terjadi Diskriminasi Upah Antar Gender di Amerika Serikat?

7 Januari 2021   20:00 Diperbarui: 7 Januari 2021   20:13 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Naik ¢24 dari beberapa dekade sebelumnya. Tahun 2016, gaji perempuan setara dengan ¢79  setiap $1 upah pria untuk melakukan pekerjaan yang sama (Economic Policy Institute, 2016). Artinya, angka gaji tersebut cenderung fluktuakif tiap tahunnya, namun bagi penulis hal ini masih jauh dari hal kesetaraan upah.

Keadaan diskriminasi antara pekerja perempuan dan pria kerap terjadi di AS. Terdapatnya suatu stigma di wilayah perkantoran AS yang sangat melambangkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki – melansir pernyataan dari Hillary yang mengatakan “Jika anda pekerja pria dan telah berkeluarga, pajanglah foto keluarga anda di meja kerja anda. 

Dengan ini, anda akan di cap sebagai ayah yang bertanggung jawab. Namun jika anda adalah seorang perempuan dan berkeluarga, jangan pajang foto keluarga anda di meja kerja. Karena jika anda tetap memajang foto keluarga anda, maka anda dianggap tidak fokus melakukan pekerjaan.” (Explained, 2020).

Hal ini sejalan dengan penjelasan Hannah Riley Bowles, diskriminasi upah yang di alami para perempuan di AS karena stigma masyarakat yang masih menganggap bahwasannya tugas perempuan adalah mengurus anak dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya (Harvard Kennedy School, 2020). 

Lebih lanjut, Hannah menjelaskan bahwa para pekerja perempuan seringkali sulit untuk mengatur waktu bekerjanya dikarenakan harus berhadapan dengan fenomena time greediness - sebuah  fenomena yang dialami oleh pekerja perempuan pasca memiliki anak yang  berimbas terhadap pengaturan waktu kerja yang tidak fleksibel. 

Artinya, para pekerja perempuan tidak bisa sewaktu-waktu mengatur jam kerjanya secara bebas lantaran masih terkendala tanggung jawab untuk mengurus anak. 

Bagi Hannah, fenomena inilah yang membuat para pekerja perempuan kehilangan value nya dimata perusahaan dan menjadi alasan besar mengapa terjadinya diskriminasi upah antara pekerja perempuan dan pria hingga saat ini.

Menurut pengakuan beberapa pekerja perempuan yang telah memiliki anak, fenomena time greediness terpaksa mereka lakukan lantaran dianggap sebagai sebuah duty call atau keharusan mereka sebagai seorang ibu (CNBC, 2018). 

Hal ini senada dengan hasil penelitian tahun 2013 yang menyatakan bahwa rata-rata seorang ibu menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak 9 jam lebih lama di banding para suami setiap minggunya (Pew Research, 2015). 

Artinya, kontribusi para suami dalam mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga guna membantu para istri dapat dikatakan minim. Maka dari itu walaupun suami-istri yang berkarir memiliki latar belakang pendidikan sarjana - kesempatan istri untuk dipotong gajinya akan lebih besar jika telah memiliki anak, hal yang sebaliknya terjadi oleh para suami (The Status of Women in the States, 2015).

Hingga tahun 2020,  rata-rata nominal upah pekerja perempuan setara dengan ¢81 setiap $1 upah pekerja pria dalam melakukan pekerjaan yang sama (Payscale, 2020). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun