Mohon tunggu...
Reza P
Reza P Mohon Tunggu... Freelancer - Sarjana Hubungan Internasional Universitas Diponegoro

Love to navigating the world through the words

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Masih Terjadi Diskriminasi Upah Antar Gender di Amerika Serikat?

7 Januari 2021   20:00 Diperbarui: 7 Januari 2021   20:13 971
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dewasa ini, perempuan adalah sosok yang dapat diperhitungkan eksistensi nya dalam dunia internasional, dapat dikatakan perkembangan akan kesetaraan gender antara pria dan perempuan semakin baik tiap tahunnya. 

Menilik data, 56% dari total lulusan universitas di Amerika Serikat seluruhnya di duduki oleh kaum perempuan (National Center for Educational Statistics, 2019);  80% profesi guru, perawat, sekretaris, dan tenaga kesehatan di jabat oleh kaum perempuan di AS (The Economist, 2017). 

Tetapi ‘kesetaraan gender’ yang terlihat mulai membaik lantaran kaum perempuan dapat bekerja secara pilihan karir nya dengan jumlah yang besar sesungguhnya hanyalah ilusi semata, meminjam kalimat Chintya Enloe yang mengibaratkan ilusi tersebut merupakan ‘fenomena dibalik karpet’ (Mohamad Rosyidin, 179:2020) – dari tampak sampul luar terlihat seperti normal dan baik-baik saja namun di sampul dalamnya terlihat segala macam tipu muslihatnya beserta kebobrokannya.

Fenomena dibalik karpet Enloe terjadi akibat persepsi definisi kesetaraan gender di Amerika Serikat masih dipandang sebagai isu yang elusif atau sukar untuk di mengerti. 

Jika kita menilik sejarahnya, kesetaraan gender di AS pernah berjaya suatu ketika pada masa Perang Dunia II (History 101, 2020) – pada saat itu, sebagian perempuan mengerjakan pekerjaan kasar seperti menjadi teknisi mekanik, turut berkontribusi dalam pembuatan senjata, perakitan kapal dan pesawat terbang, menjadi supir bis, hingga menjadi penebang pohon yang dikenal dengan sebutan lumber jill. 

Namun ketika Perang Dunia II usai, para militer AS yang sebagian besar personilnya merupakan pria, telah kembali ke tanah air dari medan perang. Di tahap inilah masalah mengenai diskriminasi upah antar gender mulai timbul.

Ketika Perang Dunia II usai, mayoritas perempuan kembali mengerjakan pekerjaan rumah tangga  sedangkan para pria bekerja mencari nafkah di luar. Hillary Clinton menceritakan bahwa sekitar dekade ’50-‘60an tidak banyak tenaga kerja perempuan yang berkarir di AS karena beberapa faktor yang diantaranya adalah pendidikan rendah dan terdapatnya stigma bahwa wanita ditakdirkan untuk mengurus anak dirumah (Explained, 2020). Maka dari itu pada dekade ’50-’60an di AS, perempuan hanya digaji sekitar ¢60 per $1 gaji pria untuk melakukan pekerjaan yang sama.

Rilisnya tulisan Bety Friedan yang bertajuk Femine Mystique pada tahun 1963, turut merubah persepsi perempuan AS mengenai gerakan feminisme. Bety melewati tulisannya berbicara mengenai ketidakbahagiaan senyap dari mayoritas ibu-ibu yang hanya mengurus pekerjaan rumah tangganya – ia menyakinkan bahwa para ibu-ibu tidak sendirian dalam menghadapi ketidakbahagiaan senyap tersebut. 

Tren cara pandang feminisme melonjak pasca rilisnya Femine Mystique sehingga hal ini turut memotivasi sosok aktivis buruh, Esther Peterson untuk mendorong Presiden John Kennedy agar mengesahkan Equal Pay Act 1963 – sebuah UU yang mengesahkan kesetaraan gaji, bonus, lembur, cuti, dan asuransi bagi tenaga kerja pria dan perempuan di AS (History, 2018). 

Pasca disahkannya Equal Pay Act 1963, Pemerintah AS mulai memberikan perhatiannya terhadap isu kesetaraan gender dengan mengesahkan UU yang mengakomodir kesetaraan gender, diantaranya ;Educational Amandment of 1972 (melarang diskriminasi berbasis gender); Pregnancy Discrimination Act 1978 (melindungi hak wanita hamil di tempat kerja); Family Leave Act (melindungi hak pria dan wanita dalam hal ketenagakerjaan).

Namun, apakah seluruh UU yang mengakomodir kesataraan gender diatas dapat membantu memperkecil tingkat diskriminasi upah di AS?. Mari kita lihat data tahun 2004, gaji perempuan setara dengan ¢84 setiap $1 gaji pria dalam melakukan pekerjaan yang sama (Explained, 2020).

Naik ¢24 dari beberapa dekade sebelumnya. Tahun 2016, gaji perempuan setara dengan ¢79  setiap $1 upah pria untuk melakukan pekerjaan yang sama (Economic Policy Institute, 2016). Artinya, angka gaji tersebut cenderung fluktuakif tiap tahunnya, namun bagi penulis hal ini masih jauh dari hal kesetaraan upah.

Keadaan diskriminasi antara pekerja perempuan dan pria kerap terjadi di AS. Terdapatnya suatu stigma di wilayah perkantoran AS yang sangat melambangkan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki – melansir pernyataan dari Hillary yang mengatakan “Jika anda pekerja pria dan telah berkeluarga, pajanglah foto keluarga anda di meja kerja anda. 

Dengan ini, anda akan di cap sebagai ayah yang bertanggung jawab. Namun jika anda adalah seorang perempuan dan berkeluarga, jangan pajang foto keluarga anda di meja kerja. Karena jika anda tetap memajang foto keluarga anda, maka anda dianggap tidak fokus melakukan pekerjaan.” (Explained, 2020).

Hal ini sejalan dengan penjelasan Hannah Riley Bowles, diskriminasi upah yang di alami para perempuan di AS karena stigma masyarakat yang masih menganggap bahwasannya tugas perempuan adalah mengurus anak dan mengerjakan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya (Harvard Kennedy School, 2020). 

Lebih lanjut, Hannah menjelaskan bahwa para pekerja perempuan seringkali sulit untuk mengatur waktu bekerjanya dikarenakan harus berhadapan dengan fenomena time greediness - sebuah  fenomena yang dialami oleh pekerja perempuan pasca memiliki anak yang  berimbas terhadap pengaturan waktu kerja yang tidak fleksibel. 

Artinya, para pekerja perempuan tidak bisa sewaktu-waktu mengatur jam kerjanya secara bebas lantaran masih terkendala tanggung jawab untuk mengurus anak. 

Bagi Hannah, fenomena inilah yang membuat para pekerja perempuan kehilangan value nya dimata perusahaan dan menjadi alasan besar mengapa terjadinya diskriminasi upah antara pekerja perempuan dan pria hingga saat ini.

Menurut pengakuan beberapa pekerja perempuan yang telah memiliki anak, fenomena time greediness terpaksa mereka lakukan lantaran dianggap sebagai sebuah duty call atau keharusan mereka sebagai seorang ibu (CNBC, 2018). 

Hal ini senada dengan hasil penelitian tahun 2013 yang menyatakan bahwa rata-rata seorang ibu menghabiskan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak 9 jam lebih lama di banding para suami setiap minggunya (Pew Research, 2015). 

Artinya, kontribusi para suami dalam mengurus anak dan melakukan pekerjaan rumah tangga guna membantu para istri dapat dikatakan minim. Maka dari itu walaupun suami-istri yang berkarir memiliki latar belakang pendidikan sarjana - kesempatan istri untuk dipotong gajinya akan lebih besar jika telah memiliki anak, hal yang sebaliknya terjadi oleh para suami (The Status of Women in the States, 2015).

Hingga tahun 2020,  rata-rata nominal upah pekerja perempuan setara dengan ¢81 setiap $1 upah pekerja pria dalam melakukan pekerjaan yang sama (Payscale, 2020). 

Harus diakui, walaupun angka diskriminasi upah kian mengecil antara upah pria dan perempuan di AS, namun hal ini adalah masalah besar yang melambangkan ketidaksetaraan gender di AS. Lantas dari segala permasalahan diatas, bagaimana respon pemerintah AS menanggapi diksriminasi upah yang masih terjadi hingga kini?. 

Wakil Presiden AS yang baru terpilih Kamala Harris turut membahas isu ini di suatu acara debat, dirinya mengupayakan untuk membrantas diskriminasi upah di AS dengan mewajibkan perusahaan menegaskan di situs web mereka terkait jaminan akan keseteraan upah antara pekerja pria dan perempuan (Now This News, 2019). 

Lebih lanjut, Harris mengatakan akan ada konsekuensi apabila perusahaan tidak mematuhi kewajiban tersebut yakni dengan memberikan denda dengan nominal tertentu oleh perusahaaan yang tetap memberlakukan diskriminasi upah kepada pekerjanya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun