ibu menatap lekat foto yang masih ada di meja. Foto seorang lelaki berseragam, tersenyum bangga, dengan sorot mata yang begitu hangat.
Malam itu sunyi. Angin berembus pelan, menyelinap di antara dinding rumah sederhana. Di sudut ruangan, seorangSebuah nama terukir di dada bajunya. Nama yang selalu mereka sebut dalam doa. Nama yang selalu membuat hati mereka perih dalam rindu.
"Yah... kami rinduuu sekali," bisik ibu dalam hati, menahan air mata yang sudah terlalu sering jatuh.
Sejak kepergian ayah, rumah ini tak pernah lagi sama. Kehilangan bukan sekadar soal merelakan kepergian seseorang, tapi juga tentang menyesuaikan diri dengan kekosongan yang ia tinggalkan. Namun, hidup harus terus berjalan. Sebab, air mata tak akan bisa mengembalikan waktu, tapi usaha dan doa bisa membuka jalan baru.
Kia, si sulung, tahu bahwa ia harus menjadi contoh bagi adik-adiknya. Saat teman-teman kuliahnya menikmati waktu luang, ia menempuh perjalanan hampir empat jam pulang pergi dengan motor seadanya. Setiap hari, terik dan hujan bukan alasan baginya untuk berhenti belajar.
"Bu, Kia berangkat ya," katanya setiap pagi, sebelum pergi ke kampus.
Setelah kuliah usai, Kia pun tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri mengajar les privat untuk anak-anak sekolah. Ia tak ingin terlalu membebani ibu. Meski ia mendapat beasiswa karena kecerdasannya, ia tahu bahwa masih banyak kebutuhan yang harus dipenuhi seperti bensin, fotokopi, tugas kuliah, dan yang lainnya. Kia memilih untuk berjuang sendiri, seperti yang ayah dan ibu ajarkan.
Dan kini, Kia telah diwisuda. Jubah kebesarannya ia kenakan bukan sekadar untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk ibu, untuk ayah yang selalu dirindukannya, dan untuk adik-adiknya yang masih berjuang.
Sementara Nina, putri kedua, ia punya mimpi besar ingin melanjutkan perjuangan ayah sebagai abdi negara. Namun, jalan yang ia tempuh tidaklah mudah.
Tak berselang lama dari kepergian ayah, ia langsung mendaftar tes seleksi. Namun, hasilnya jauh dari harapan. Gagal. Lalu mencoba lagi. Gagal lagi.
Setiap kegagalan adalah pukulan yang menyakitkan, tapi tidak sekali pun ia berpikir untuk menyerah. "Mungkin belum waktunya," ucapnya, menenangkan hati.