Mohon tunggu...
Fedro Septian Dwi Putra
Fedro Septian Dwi Putra Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Universitas Bengkulu

Hello! My name is Fedro Septian Dwi Putra, I am an International Class student Majoring in Accounting, University of Bengkulu. I made this article assignment to complete the Mid-term Exam for the Economic and Business Law subject which was taught by our beloved lecturer, Dr.E Novita Sari, S.E.,M.Si.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Di Kala New Normal Belanja Online Kian Diminati, Siapa yang Terkhianati?

19 November 2020   09:59 Diperbarui: 23 November 2020   16:03 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Era new normal sebagai penanda transisi lockdown menuju kenormalan baru sehabis covid-19 ini tampaknya masyarakat semakin hari kian menunjukan suatu perubahan sesuai dengan slogan masyarkat dewasa ini yaitu new normal, new life

Kian hari banyak masyarakat yang melakukan berbagai macam aktifitas layaknya menjalankan aktifitas normal kembali seperti dalam bidang pendidikan, religius, sosial dan tak terkecuali dalam bidang berbisnis.

Di masa new normal ini, salah satu perubahan yang dirasakan oleh masyarakat yaitu belanja online. Jika sebelumnya masyarakat banyak menggunakan metode tradisional, kini mereka lebih mengadopsi metode digital.

Belanja online saat ini menjadi trend baru yang semakin digeluti oleh masyarakat karena masyarakat tidak perlu keluar rumah untuk membeli sesuatu mengingat penyebaran covid-19 yang sangat massive saat ini, sehingga masyarakat tidak perlu datang bersusah payah mendatangi toko yang mereka inginkan untuk membeli barang yang mereka butuhkan. Mereka cukup dengan berselancar menggunakan berbagai macam aplikasi e-commerce saja  yang mana penjual dan pembeli tidak perlu tatap muka untuk melakukan transaksi. Pembeli tinggal memesan barang yang diinginkan, kemudian untuk pembayarannya dapat dilakukan dengan transfer melalui supermarket, bank atau credit-card. Setelah itu, barang akan dikirimkan ke alamat sesuai keinginan pembeli.

Menurut laporan dari Tinjauan Big Data 2020 oleh BPS, penjualan daring di Indonesia pada Februari-Juli 2020 meningkat tajam, yakni melonjak 320 persen di Maret 2020 dan 480 persen di April 2020, dibandingkan Januari 2020.

Selain itu berdasarkan  data dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mencatat bahwa kenaikan masyarakat dalam berbelanja online mencapai 400%.

Hal ini juga diungkapkan Asisten Gubernur dan Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Filianingsih Hendarta dalam webinar seputar sistem pembayaran digital yang diadakan CNBC Indonesia. Filianingsih mengatakan saat ini belanja online dan pembayaran digital menjadi primadona di tengah pandemi.

"Transaksi UE (uang elektronik), digital banking, dan e-commerce meningkat. Ini mencerminkan perilaku manusia yang mulai beradaptasi pada digital. Yang tadinya tidak pernah belanja online, tidak pernah menggunakan digital payment terpaksa mereka melakukan itu," kata Filianingsih.

Yang mana peningkatan tersebut berdasarkan data yang dilakukan oleh BI. Tercatat bahwa dikuartal pertama pada tahun 2020, transaksi di dalam e-commerce yaitu mencapai 275,8 juta kali dengan nominal Rp.58,8 trilliun.

Para pakar juga banyak mengatakan bahwa  COVID-19 ini mungkin sangat mempengaruhi dan membunuh perekonomian global termasuk indonesia namun, pandemi COVID-19 ini juga menjadi berkah yang tersembunyi karena bisa mendorong transformasi dan adopsi digital di Tanah Air.

Dengan meningkatnya perubahan perubahan metode masyarakat didalam berbelanja tersebut ternyata bukan hanya berdampak positif saja melainkan juga terdapat dampak negatif yaitu khususnya apabila kita berbicara mengenai hukum mengenai e-commerce tersebut. 

Dengan  ditandai banyaknya permintaan masyarakat dalam berbelanja online, maka para seller dadakkan pun bermuculan yang siap memenuhi permintaan besar masyarakat tersebut. Banyak sekali para produsen yang dirugikan, yaitu mulai dari masalah mengenai hak cipta hingga branding yang menyelimut e-commerce tersebut. Pasalnya, banyak sekali sekarang ini e-commerce yang masih menjajal mulai dari barang yang menjual barang KW/ palsu, dan menjual barang yang melanggar hak cipta seperti memperdagangkan buku palsu hingga menjual kaset bajakan dan sebagainnya.

Source image : shopee.co.id
Source image : shopee.co.id

Bayangkan seperti yang kita ketahui harga tas Louis Voitton (LV), GUCCI, Hermes yang harganya puluhan hingga ratusan juta, di salah satu lapak e-commerce hanya dibanderol dengan harga ratusan ribu saja yang mana hal tersebut tidak bisa dipungkiri lagi sudah jelas bahwa barang tersebut hanyalah barang imitasi atau KW. 

Menurut data yang dikeluarkan MIAP, dalam kurun waktu 5 tahun, jumlah pemalsuan produk tercatat meningkat hingga 1,5 kali lipat. Jika pada tahun 2010 lalu kerugian negara akibat aksi pemalsuan mencapai Rp43 triliun, pada tahun 2014 hingga 2015 kerugian diperkirakan meningkat mencapai angka Rp65,1 triliun.

Dari hasil penelitian MIAP, pasar barang palsu yang terseba luas di Indonesia adalah tinta printer. Pasarnya mencapai setengah dari total pangsa pasar tinta printer atau 49,4%. Selain itu, pakaian palsu juga menjadi salah satu yang banyak membanjiri pasar dalam negeri. Dari total pakaian yang dijual di pasar, sekitar 38,9% diantarnya diduga palsu atau imitasi. Selain itu juga, terdapat barang-barang kulit yang palsu. Persentasenya menurut MIAP mencapai 37,2%. Diikuti oleh peranti lunak atau programming palsu yang pasarnya mencapai 33,5%. Kemudian, ada juga produk kosmetik palsu yang mencapai 12,6%.

Tak hanya barang tersier atau yang berkaitan dengan gaya hidup, barang primer, seperti makanan dan minuman kerap dipalsukan dan dapat ditemui di Indonesia. Survei MIAP menunjukkan, makanan dan minuman palsu ini mencapai 8,5%. Ironisnya, salah satu produk palsu yang beredar di dalam negeri adalah obat-obatan dengan persentase mencapai 3,8% dari all out pasar obat di Indonesia. Kenyataan ini tentu sangat berisiko bagi kesehatan penggunanya.

Menurut Sekjen MIAP Justisiari P. Kusumah, barang KW adalah barang-barang palsu atau barang-barang yang menggunakan merek-merek orang lain tanpa persetujuan atau sepengetahuan pemilik merek yang sebenarnya. Diakuinya, kehadiran MIAP sendiri tercetus akibat adanya fenomena barang palsu di pasaran yang sudah sejak lama terjadi.

Namun, apabila kita berbicara mengenai Hak Kekayaan dan Intelektual atas barang branded tersebut pasti telah dilindungi secara hukum, lantas mengapa barang replika tersebut masih beredar luas di e-commerce yang mana apabila kita berbicara mengenai hukum, jelas barang kw tersebut melanggar hukum dan merugikan banyak pihak. Bayangkan, seperti kita seperti produk  LV, GUCCI, Hermes kw tersebut sekarang ini dimaklumi oleh masyarakat walaupun sebenarnya ada norma yang tak sengaja atau mungkin sengaja mereka langgar.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”). Mengenai perdagangan dan penyebaran barang replika/ KW  yang mana didalam pasal 100 – 102 UU MIG mengatur tentang tindak pidana mengenai merek.

Pasal 100 UU MIG

Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).


Pasal 101 UU MIG

Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap Orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 102 UU MIG

Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, hanya dapat ditindak jika ada aduan dari pihak yang dirugikan. Hal ini dapat dilihat dari perumusan Pasal 103 UU MIG.(https://dgip.go.id/peraturan-terkait-ki)

Dengan aturan-aturan hukum mengenai merek yang telah dikeluarkan oleh HKI tersebut, jelas bahwa perdagangan produk kw atau imitasi tersebut sangat melanggar hukum selain itu banyak sekali pihak - pihak yang dirugikan terutama bagi para pihak produsen yang mana mereka jelas memproduksi produk tanpa mengantongi izin hak cipta selain itu tidak ada pemenuhan pembayaran hak royalti kepada designer produk tersebut. Akan tetapi mengapa hingga saat ini produk kw di berbagai aplikasi e-commerce tersebut tetap eksis bahkan terus meningkat di negeri kita tercinta ini?

Namun, sejauh ini pemerintah belum terlihat serius dalam menangani beredarnya produk-produk kw atau replika tesebut. Hal tersebut tercermin dari kurangnya penegakan hukum dan lemahnya sanksi bagi para penjual dan pembeli barang kw tersebut. Lantas mengapa undang-undang tersebut dicipakan kalau malas untuk di tegakkan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun