Muka Ahmad merah padam. Ia menelan kata-kata makiannya. Percuma membuang waktu dengan cecunguk kurus ini. Ia tidak boleh terlambat. Dan waktunya kian mendekat.
Ia kembali memutar arah mobilnya. Rasa frustrasi mulai menguasai dirinya. Ia melirik jam tangannya. 15 menit lagi waktu tersisa. Sudah dua jalan paling dekat ke arah tujuannya yang ditutup. Ia kembali mengendarai mobilnya, mencari jalan alternatif, menjajal peruntungannya.
Jalan tampak lengang. Ia memacu mobil lebih cepat. Kali ini tidak boleh salah, desisnya. Waktuku sebentar lagi.
Namun kira-kira 500 meter dari tujuanya, plang itu kembali terlihat. Ada Sholat Jumat Dilarang Melintas. Ahmad membelalakkan matanya. Ini mustahil! Makinya. Aku tidak bisa terlambat. Rasa gusar dan kemarahannya memuncak. Ia menginjak terus pedal gasnya abai pada tanda-tanda. Seorang bocah kurus berbalutkan sarung tiba-tiba berlari dari tepi jalan, berusaha menghalangi mobil Ahmad yang terus melaju.
Decit suara rem yang diinjak terngiang panjang. Plang pengumuman rebah ke jalan. Sosok tubuh kurus itu rebah di jalan. Ahmad turun dari mobilnya dengan kepanikan luar biasa memeriksa tubuh itu.
Bangun, sialan! Bangun! Kenapa kamu tiba-tiba muncul seperti hantu?
Sejurus kemudian, ia merasa lega karena dada bocah itu bergerak naik turun. Ia memeriksa tubuh anak itu dengan seksama. Tak ada luka apapun. Tapi mukanya mengkeret seperti cemas.
Buka matamu! Kamu tidak apa apa kan?
“Bapak ini keterlaluan ya! Sengaja menabrak plang dan anak yang menjaga!”
“Siapa orang ini, jahanam betul, berani-beraninya melanggar jalan yang disterilkan untuk ibadah”
“Mau tabrak lari ya, jangan coba-coba ya!”